Udin dan adik perempuannya, Fatimah yang masih kelas satu SD, sebelum pukul tujuh pagi, sudah berangkat ke sekolah. Udin, Fatimah dan Fahmi, selalu berangkat ke sekolah bersama, karena sekolah mereka sama.
"Ada apa, Fahmi?" tanya Udin dari atas rumahnya. Fahmi yang berada di bawah tangga rumah Udin, tampak sedang gusar.
"Ada sampah lagi di pinggir sungai," jawab Fahmi.
"Apa? Sampah lagi?" tanya Udin tidak percaya.
"Iya. Ayo kita lihat bersama, supaya kamu percaya."
"Baiklah. Sebentar ya, aku ngasi tahu emak. Nanti kecarian emak, kalau aku tidak bilang," ujar Udin sembari masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Udin menuruni tangga rumahnya. Ia sekalian membawa sabun dan sikat gigi. Juga handuk.
"Aku sekalian mau mandi ke sungai, sudah jam enam pagi lewat lima belas menit," kata Udin.
"Iya, aku juga. Handuk, sabun dan sikat gigi kutinggal di batu pinggir sungai," celetuk Fahmi.
Keduanya berjalan tergesa menuju sungai. Melewati lorong sempit, Â yang hanya muat untuk dilewati satu orang saja. Jika berjalan berdua, bertiga atau ramai-ramai, harus berbaris. Kirii dan kanan lorong sempit itu dilapisi seng. Seng-seng itu, adalah dinding-dinding rumah warga. Lorong sempit itu merupakan satu-satunya jalan bagi warga setempat atau orang luar untuk menuju ke sungai.
"Mana sampahnya?" tanya Udin, setelah sampai di pinggir sungai.
"Itu..!" tunjuk Fahmi ke sebuah plastik hitam besar di pinggiran sungai.