Mohon tunggu...
Anita Godjali
Anita Godjali Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru dan ibu rumah tangga

Potensiku ada pada diriku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pria Cepak itu Membuntutiku (13 Mei 1998)

16 Mei 2014   22:07 Diperbarui: 8 Mei 2018   11:52 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusuhan mei/ Kompasiana(kompas.com/Arbain Rambey)

Tulisan ini seharusnya publish tanggal 13 Mei yang lalu, tetapi karena adanya maintenence Blog Kompasiana akhirnya baru bisa saya publish hari ini.

Enam belas tahun berlalu. ternyata sebuah peristiwa yang cukup membuat jantung berdegub itu tidak dengan mudah kulupakan. Seketika pikiran ini melayang ketika membaca tulisan peristiwa Tri Sakti,  seolah sebuah slide itu kembali tayang dalam ingatanku.

Obrolan Pagi

Pagi itu sesampai di kampus beberapa teman sedang bergerombol sambil mengobrol menyebut-nyebut nama empat orang mahasiswa Tri Sakti. Empat orang tersebut adalah Hery, Elang, Hendriawan, dan Hafidhin. Mereka menceritakan bahwa empat orang teman ini telah menjadi korban penembakan pada aksi demonstrasi 12 Mei 1998. Melalui diskusi pagi itu melahirkan kesepakatan, bahwa setelah selesai kuliah kami akan pergi melayat ke kampus Tri Sakti.

Kebetulan di kampus kami tidak banyak mahasiswa perempuan, tetapi mereka tetap menawarkan keikutsertaan kami. Hari itu kebetulan hanya saya dengan seorang mahasiswa perempuan lain yang masuk. Ada beberapa mahasiswa yang juga berkuliah di kampus itu sengaja sudah tidak masuk kuliah karena memang situasi sudah kurang kondusif menurutnya.

Melayat

Selesai kuliah sekitar pukul sembilan saya dan seorang teman perempuan yang kebetulan sedang hamil tujuh bulan  bersama lima orang mahasiswa bermaksud melayat ke Tri Sakti. Pada mulanya ada seorang teman yang menawarkan kendaraan untuk transportasi, tetapi kami tolak dengan alasan keamanan. “Jangan bawa mobil, kita akan lebih aman naik kendaraan umum karena kalau terjadi sesuatu kita bisa keluar lebih cepat”, begitu ucapan salah satu teman yang masih saya ingat. 

Alhasil pergilah kami bertujuh dari kampus kami di Jembatan Serong yang berlokasi di Jakarta Pusat menuju  Kampus Tri Sakti. Kami pergi dengan mengendarai bus umum. Sesampai di sana kami berdoa dan tentunya masih mendengarkan beberapa orasi sebagai perwujudan bela sungkawa dan solodaritas sesama mahasiswa.

Sampai menjelang makan siang, orasi dan kegiatan solidaritas sebagai bentuk  duka cita masih berlangsung. Namun, teman-teman saya kebetulan mahasiswa yang tinggal di asrama harus cepat kembali. Hal ini dilakukan karena sesuai aturan,  teman-teman tadi harus makan siang di asrama kecuali ada izin khusus dari pembimbing. Alhasil kami keluar dari kampus Tri Sakti melalui pintu utara.

Sesampai di gerbang teman saya, sebut saja Maria yang sedang hamil tujuh bulan tadi merasa sudah lapar. Ia ingin makan sementara teman yang lain harus kembali ke asrama. Akhirnya saya mengambil jalan tengah, menemani Maria makan dan mempersilakan teman-teman pria untuk segera kembali ke asrama supaya tidak tertinggal makan siang. Pada awalnya mereka cukup ragu untuk meninggalkan kami berdua apalagi mengingat kondisi teman saya. Akan tetapi saya berusaha meyakinkan mereka kalau saya sanggup menemani dengan alasan situasi cukup kondusif. 

Makan Ketoprak.

Ternyata menu ketoprak lah yang membuat Maria tidak mau pulang bersama teman-teman mahasiswa. Alasan klasik orang hamil yang sering harus dituruti keinginannya. Singkat cerita,  Maria memesan  satu porsi ketoprak dan dengan lahap menyantapnya. Sementara saya tidak berminat untuk makan, jadi hanya menunggu sambil menikmati sebotol teh manis keluaran pabrikan.

Maria pun rupanya sangat menikmati ketoprak yang pedas, hingga keringat bercucuran. Maka, ia pun kembali memesan sebotol minuman dingin untuk menghilangkan rasa pedas. Sambil masih menghabiskan makanan dan minumnya saya menyelesaikan tagihan pembayaran makanan tersebut. Pada saat itulah peristiwa mencekam itu dimulai.

Tembakan

Dor…dor…dor…dor…. suara dan kepulan asap terdengar dan terlihat dari arah jembatan Grogol dan mulai orang berlarian. Para pedagang berteriak, “tembakan…tembakan….tembakan……”, dan tidak lebih dari lima menit lokasi itu langsung lengang, semua pedagang sudah raib melarikan diri. Tinggallah beberapa mahasiswa yang baru keluar dari kampus Tri Sakti. Suasana begitu mencekam dan tak lagi nampak kendaraan yang berlalu lalang.

Pada saat kami dalam kebingungan muncullah sebuah metromini 91 jurusan Tanah Abang-Batusari yang sarat penumpang. Kami mencoba menghentikan untuk naik tetapi sempat mendapat penolakan. Akhirnya kami boleh naik, tetapi baru melaju beberapa meter mobil harus berhenti dan berbalik arah karena ternyata sepasukan polisi sudah menghadang. Saat itu justru seluruh penumpang harus turun tak terkecuali kami berdua.

Dalam kepanikan saya pun berlari sambil menarik teman dan orang yang saya tarik pun mengikutiku. Namun, ….saya mendengar orang memanggil-manggil nama saya. Astaga…. ternyata saya telah salah menarik orang. Teman saya yang ibu hamil tadi ternyata masih tertinggal jauh di belakang. Ia menangis  sambil berlari berusaha mengejar saya. Tentu setelah menyadari saya kembali kecemasan dan kebimbangan pun belum berakhir.  Kami harus berlari dan harus menuju ke seberang jalan.

Ternyata untuk sampai di seberang jalan pun harus berjuang melompati pagar pembatas jalan. Tentu bagi kami berdua menjadi suatu usaha yang tidak mudah. Kami mencoba mencari kendaraan umum yang masih melaju di jalan itu.

Rupanya usaha kami agak sulit, karena setiap kendaraan yang melaju mulai dari bajaj sampai taksi tidak ada lagi yang kosong. Dor…dor…dor…dor… kembali suara tembakan terdengar dan suara teriakan orang dari berbagai arah kian terdengar. Alhasil kami mampu mencapai seberang jalan dan bisa bergabung dengan kerumunan orang di depan kantor polisi tepat di depan terminal Grogol.

Puluhan polisi sedang mengokang senjata juga bersiap dan berjaga di depan kantor tersebut. Rasa khawatir dan cemas mulai merambat dalam hati saya. Walau masih banyak orang bergerombol tetapi saya memilih mengajak teman untuk segera meninggalkan tempat dan berjalan menghindari tempat tersebut. Sekitar 100 meter dari tempat itu kami menemukan sebuah bus yang kosong karena akan kembali ke pool. Saya mencoba menawar agar boleh ikut karena tak lagi ada taksi kosong melaju di situ. Rupanya karena rasa kasihan kami boleh naik dan kami turun di samping Hotel Menara Peninsula Slipi karena bus itu akan menuju Cileduk.

Tiga Pria Cepak

Kami harus ke bawah jembatan layang Slipi untuk menuju arah jalan Gatot Subroto, karena tujuan kami Jakarta Timur. Dalam perjalanan melalui bawah jembatan layang Slipi, perasaan saya tidak tenteram. Saya mencoba menengok ke belakang dan ada tiga orang pria berambut cepak berjalan mengikuti. Namun, tiba-tiba ia berhenti begitu saya menegok. 

“Sepertinya orang itu mengikuti kita”, komentar saya agak berbisik. Mendengar itu, Maria segera menegok dan memastikan ucapan saya. Saat dia menengok tiga orang itu kembali berhenti. Kecurigaan saya semakin kuat, karena ketika jalanan itu sepi orang itu justru terlihat berusaha menyususl kami. 

Gelagat tidak beres semakin terbaca dan kami segera berlari untuk mencari perlindungan. Untunglah, ternyata persis di depan Hotel masih banyak orang menunggu kendaraan. Saat kami berada dalam kerumunan itu tiga orang itu tak lagi mengikuti kami tetapi ia berbalik dan kembali ke arah atas jalan layang yang memang cukup sepi.

Penjarahan di Mana-mana

Singkat cerita, kami dapat menemukan kendaraan untuk pulang. Kaki gemetar dan lemas baru terasa ketika sudah bisa berada dalam kendaraan. Namun, rupanya kekhawatiran dan ketakutan itu belum berakhir.

Di sepanjang perjalanan kami melalui beberapa pusat perbelanjaan dan banyak sekali orang memanggul berbagai barang lektronik maupun pakaian tetapi tidak satu pun yang menggunakan kantong layaknya orang selesai belanja. Rupanya, aksi penjarahan siang itu sedang terjadi. Kami menyaksikan penjarahan dan pembakaran di beberapa tempat.

Penjarahan pertama kami saksikan di Hero Megaria, kemudian pembakaran Show Room mobil di jalan Salemba, dan terakhir penjarahan dan pembakaran di Jatinegara Plaza. Tak henti-hentinya doa meluncur dari hati dan mulut kami. Puji Tuhan akhirnya sampailah kami  di rumah masing-masing dengan selamat.

Beberapa Bulan Berikutnya

Dalam sebuah pertemuan Solidaritas Perempuan, muncul kesaksian-kesaksian yang cukup mengagetkan.  Ternyata peristiwa memilukan dan menjadi traumatik terjadi saat kerusuhan Mei tersebut. Kesaksian para korban dan relawan kerusuhan Mei 1998 menjadi bukti. Beberapa narasumber hadir dalam pertemuan tersebut dan memberikan kesaksian tentang terjadinya penculikan, tindak pelecehan,seksual, dan penganiayaan terhadap etnis tertentu.  

Berdasarkan kesaksian tersebut, ternyata ada beberapa korban yang mengaku menjadi korban penculikan di Slipi. Tepatnya mereka diculik di depan Slipi Jaya dan sekitar Hotel Menara Peninsula. Nah, mendengar kesaksian ini mendadak kaki saya pun gemetar mengenang peristiwa tiga  lelaki berambut cepak yang membuntuti kami. Itulah sepenggal catatan kelam kisah negeri kita tercinta ini.

Semoga mimpi buruk itu tak akan pernah terjadi kembali. Terus terang peristiwa itu  sering terbayang  kembali ketika membaca berita peristiwa Tri Sakti. Semoga ini peristiwa terakhir yang pernah terjadi dan anak cucu kita tak akanpernah mengalaminya. Semoga-13 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun