Berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dilakukannya sertifikasi guru dan dosen adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, dimana diharapkan peningkatan pendapatan guru dan dosen mampu mendorong pada peningkatan kualitas dan profesionalisme guru dan dosen yang kemudian berdampak pada peningkatan kualitas anak didik.
Namun ironinya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mae Chu Chang (UPI, 17 Oktober 2012) tentang “Finding and Lessons from Teacher Reform in Indonesia” diperoleh salah satu hasil bahwa tidak ada perbedaan kompetensi antara guru tetap yang bersertifikasi dengan guru tetap yang tidak bersertifikasi, artinya tidak ada dampak antara peningkatan pendapatan guru, berupa pendapatan profesional (yang setara dengan satu kali gaji) terhadap peningkatan kualitas anak didik. Dengan kata lain, kebijakan sertifikasi guru selama ini telah gagal dalam meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya kualitas guru, baik dari sisi penguasaan materi keilmuan dan metode pengajaran menghasilkan siswa-siswa yang hanya menerima pelajaran sebatas hafalan yang akan keluar dalam ujian, tanpa berefek pada pola sikap dan pola pikir anak didik. Kesalahan metode pembelajaran dan kurikulum sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dalam bidang-bidang ilmu yang dipelajari, memberi dampak pada output didik yang hanya pintar secara teori namun rusak secara karakter dan tidak mampu memecahkan permasalahan kehidupan. Sebagai contoh Ujian Nasional yang menerapkan”one size fits all” telah mematikan daya berpikir kritis dan kreatif peserta didik (Tilaar: KONASPI 7, 2012). Infrastruktur pendidikan yang tidak memadai dan rusak cukup memperparah kondisi yang ada.
Tentunya dosen dan Perguruan Tinggi Pendidikan sebagai pencetak para guru memiliki andil dalam rendahnya kualitas kompetensi guru. Kurangnya kedalaman ilmu dan kesibukan aktivitas di luar -entah untuk proyek maupun eksistensi diri- telah melalaikan Dosen dalam proses pengajaran, sehingga menghasilkan lulusan yang tidak memiliki bekal cukup sebagai pendidik. Di Indonesia, sejak Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) berubah menjadi universitas pada tahun 2000 berefek pada kematian lembaga yang menghasilkan guru profesional. Fakultas Ilmu Pendidikan bukannya lebih maju, tetapi semakin dipinggirkan di dalam proses metamorfosa IKIP menjadi Universitas (Tilaar: KONASPI, 2012). Pendidikan Tinggi gagal dalam mencetak para guru berkualitas.
Sistem Kapitalisme Sekulerisme sebagai Akar Masalah
Sistem kapitalisme telah menciptakan sistem pendidikan yang sekuler dan materialistis.Pendidikan semata-mata berorientasi materi yaitu pemenuhan lapangan pekerjaan, dan sekuler yaitu memisahkan nilai-nilai agama dalam proses pembelajaran. Pengembangan soft skill seperti minat, bakat, dan sebagainya semata-mata untuk memenuhi keinginan dunia kerja. Sebagaimana ungkapan Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan, “Karena kesempatan untuk maju di dunia kerja, lebih 80 persen ditentukan oleh soft skills ini” (KONASPI 7 Yogyakarta, 31/10/2012).
Pendidikan yang semata berorientasi materi dan berasaskan sekulerisme ini tak pelak menjadikan sebagian orang memilih profesi guru sebatas agar mendapat jaminan hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Tingginya biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi diharapkan mampu tergantikan saat kelak menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Kebijakan pemerintah dalam Sistem Pendidikan yang lebih berorientasi pada materi ternyata tak lepas dari permintaan asing. Semenjak Indonesia bergabung dalam World Trade Organization (WTO), telah diterbitkan UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut, Indonesia makin terbuka terhadap segala produk asing termasuk produk pendidikan. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya.
Target Pemerintah, dalam hal ini Diknas dalam jargon “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045” pun ternyata tidak lepas dengan target memenuhi tantangan dunia kerja yang mengacu pada Free Trade Area. Hal tersebut agaknya menjadi bukti bahwa Indonesia selama ini masih dijajah!
Islam sebagai solusi
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Besarnya perhatian terhadap pendidikan ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika menetapkan tebusan bagi tawanan perang Badar dengan mengajar membaca sepuluh anak Muslim. Islam sebagai ideologi yang sempurna memiliki aturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk salah satunya sistem pendidikan.
Dalam Islam, nash-nash syariah telah menetapkan bahwa pendidikan merupakan hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat. Diantara nash-nash syari’ah yang menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah adalah sabda Nabi saw.:
“Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta pepohonan yang sangat banyak. Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan ternaknya. Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan. Demikianlah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus” (HR. Bukhari & Muslim).
Di dalam hadits ini dituturkan bahwa penerimaan dan penolakan manusia terhadap hidayah dan ilmu diidentikan dengan sebidang tanah dan air hujan. Air hujan termasuk hajah asasiyyah bagi manusia, yang kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kebinasaan bagi manusia. Pengidentikan ilmu dan hidayah dengan air hujan menunjukkan bahwa ilmu dan hidayah merupakan hajah asasiyyah sebagaimana air hujan.
Di dalam kitab Al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan berada di tangan negara.
Atas dasar itu, Negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan terjangkau bahkan gratis di berbagai jenjang pendidikan bukan sebatas sekolah menengah akhir. Negara juga wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., beliau pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gr emas). Luar biasa. Ketika kesejahteraan guru telah terjamin, tentu tidak ada lagi alasan untuk tidak profesional dalam bekerja dan ketika pendidikan bisa diperoleh dengan gratis maka tidak akan lahir lagi generasi-generasi materialistis seperti dalam sistem kapitalisme. Pendidikan sepenuhnya ditujukan untuk menimba ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Berbicara tentang sistem pendidikan tidak akan terlepas dari sistem dan kebijakan ekonomi-politik suatu negara. Islam telah mengatur bahwa sumber pembiayaan pendidikan dapat diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam di tangan negara bukan diserahkan kepada pihak swasta dan asing. Seperti kita ketahui, saat ini berbagai kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh asing, contohnya: eksplorasi Migas hampir 90% dikuasai asing dan swasta yakni Chevron 45% (AS), Total 10% (Perancis), Conaco 8% (AS) dan Medco 6%. Tambang emas dan tembaga sebagian besar dikuasai oleh PT Freeport (AS) dan PT Newmont Nusa Tenggara (AS).
Seandainya kekayaan alam Indonesia dikelola berdasarkan aturan Islam yakni dikelola sepenuhnya oleh negara, maka pendidikan gratis di berbagai jenjang pendidikan pun bukanlah hal yang utopis. Begitulah Islam mampu mensejahterakan guru dan menciptakan iklim pendidikan yang ideal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H