Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya dengan tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK. Dengan itu, diharapkan kasus-kasus kelas kakap seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, Century dan lainnya, segera tuntas dan negeri ini bisa bebas dari korupsi.
Harapan bebas dari korupsi sebenarnya hanya bisa terealisasi jika pemberantasannya dilakukan menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor pemicu utama muncul dan langgengnya korupsi di negeri ini.
Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan Syariah Islam secara totalitas. Hal itu mengingat: Pertama, dasar akidah Islam mampu melahirkan kesadaran bahwa setiap gerak-gerik kita senantiasa diawasi oleh Allah SWT sehingga melahirkan ketakwaan pada diri masing-masing.
Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidaklah mahal. Sehingga tidak akan muncul persekongkolan untuk mengembalikan modal yang digunakan sewaktu menikuti pemilihan.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tersandera oleh kepentingan parpol, sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amarmakruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.
Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan Khalifah, sehingga ketakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Faktor absennya peran kepemimpinan bisa dihindari, berbeda dengan fakta yang ada sekarang.
Kelima, sanksi bagi pelaku korupsi mampu memberikan efek cegah dan jera. Bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, bisa disita seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, atau tasyhîr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati.
Pemberantasan korupsi saat ini diibaratkan bak mimpi disiang bolong karena beberapa faktor, diantaranya: Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan dan bernegara, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari masyarakat khususnya dalam ranah politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri masyarakat, politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semua tidak jauh berbeda bahkan sama saja. Di sisi lain, hukum juga tumpul, aturan hukum yang ada mudah direkayasa dan sanksi bagi yang terbukti bersalah pun sangat ringan.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Maka cara singkat untuk mengembalikan modal secara cepat adalah dengan korupsi.
Ketiga, korupsi telah begitu berurat dan mengakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Laporan BPK menyatakan telah terjadi penyimpangan pada instansi pemerintah pusat dan daerah di semester I tahun 2012 yakni sebanyak 13.105 kasus. Potensi kerugian negara mencapai Rp 12,48 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 3.976 kasus senilai Rp 8,92 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan negara. Sisanya sebanyak 9.129 kasus senilai Rp 3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, serta Sistem Pengendali Intern (SPI).
Keempat, dalam sistem politik yang ada saat ini, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal amat berpengaruh.
Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Ketegangan KPK vs Polri jilid II adalah bukti paling akhir. Ketegangan ini dipengaruhi dua faktor yakni: faktor pertama, antar lembaga tinggi posisinya sejajar dan tidak di bawah satu kepemimpinan. KPK adalah lembaga independen. Jikalau KPK lemot, tidak bisa serta merta diakselerasi oleh presiden ataupun DPR. Sebaliknya, jika KPK dapat “hambatan” dari instansi atau aparat lain, KPK tidak mudah meminggirkan halangan itu sebab berbeda jalur. Faktor kedua, absennya peran kepemimpinan. Ketidakpaduan polri dengan KPK mestinya tak terjadi, andai sejak awal presiden memerintahkan Polri harus berjalan padu dengan KPK atau ketika Polri tidak patuh segera ditegur dan diluruskan. Peran pemimpin tidaklah seperti wasit tinju, setelah baku hantam dan berdarah-darah baru menghentikan dan memutuskan. Peran pemimpin seharusnya memimpin, mengarahkan dan memadukan gerak sehingga semua berjalan harmonis.
Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor yang telah dihukum pun tidak jera untuk kembali melakukan korupsi.
Karena itu wajar jika harapan untuk bebas dari korupsi dengan sistem seperti sekarang ini akan terus menjadi mimpi. Aksi pemberantasan korupsi yang sedang berjalan hanya akan menjadi pelipur lara dan drama yang tak berkesudahan. Wallaahu a’lam.
*Tulisan diatas telah dipublikasikan oleh Inilah Koran pada tanggal 19 Oktober 2012 pada kolom OPINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H