Mohon tunggu...
Anita Ulandari
Anita Ulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Kesehatan Masyarakat

Universitas Lambung Mangkurat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adat Batimung Pengantin Banjar dan Manfaatnya bagi Kesehatan

1 November 2021   23:54 Diperbarui: 2 November 2021   15:16 6685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   Sumber foto: Pinterest

Anita Ulandari / 2010912220022

Radiatul Isnaniah / 2010912220017

Siti Assyifa / 2010912220024

Suku Banjar merupakan salah satu suku yang terdapat di Kalimantan Selatan. Suku Banjar ini sendiri terdiri dari beberapa kategori berdasarkan letak daerahnya, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Suku Banjar atau Urang Banjar memiliki berbagai macam adat dan budaya yang telah menambah kekayaan adat dan budaya yang ada di Indonesia. Salah satu adat dan budaya di wilayah Kalimantan Selatan yaitu batimung. Adat batimung selain digunakan sebagai salah satu prosesi adat masyarakat Banjar ketika ingin melaksanakan pernikahan, juga digunakan sebagai sarana menjaga kesehatan tubuh. Batimung dalam kesehatan mengandung arti membuang keringat dari badan dengan cara diasapi serta ditambahkan bunga-bungaan dan ramuan alami untuk memberi keharuman kepada badan orang yang di-timung. Cara ini merupakan salah satu syarat bagi calon pengantin Banjar untuk menghadapi pesta perkawinannya nanti. Tujuan dilaksanakannya tradisi ini agar mempelai laki-laki dan perempuan saat bersanding di pelaminan atau acara berlangsung tidak mengeluarkan bau keringat atau aroma bau yang tidak sedap, tetapi berganti menjadi bau harum yang menambah pesona tetapi berganti menjadi bau harum atau wangi. Meski sangat sederhana dan tradisional, perawatan tubuh ini sudah cukup lama dan telah dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kalimantan Selatan. Selain menjalankan tradisi untuk mempelai pengantin, batimung juga dijadikan alternatif dalam menjaga kebugaran tubuh, selain berolahraga. Di berbagai tempat, banyak orang yang membuka jasa batimung untuk tujuan menjaga kesehatan tubuh (1, 4). 

Pengobatan tradisional batimung ialah tata cara yang masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kalimantan Selatan. Mereka masih berpegang pada tradisi leluhur nenek moyang mereka, karena pengobatan tradisional ini masih dipandang relevan dengan tata cara pengobatan modern seperti pengobatan yang dilakukan oleh para dokter ahli di rumah sakit-rumah sakit yang ada di daerah, seperti pengobatan di Rumah Sakit Ulin di Banjarmasin. Pengobatan batimung secara tidak langsung dapat membantu penyembuhan klinis pasien yang mengalami sakit, seperti penyakit tipus, hepatitis, dan liver, sedangkan di masyarakat Dayak Meratus dan Banjar disebut wisa atau wisa sangga atau penyakit kuning. Pengobatan tradisional ini membantu pasien yang tidak mampu untuk berobat ke rumah sakit dengan pengobatan modern (1). 

Batimung adalah salah satu acara mandi uap khas bagi masyarakat Banjar. Tujuannya adalah mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya. agar pada saat acara perkawinan tidak keluar keringat. Batimung membuat badan menjadi harum (wangi). Bahan yang digunakan bahan tradisional. Pada beberapa daerah tertentu, ramuan dalam pelaksanaan batimung berbeda-beda, tergantung tumbuhan obat yang khas di daerah tersebut. Ramuan batimung diwariskan secara turun temurun dengan media lisan. Batimung biasanya dilakukan beberapa kali sampai keringat di badan terkuras habis. Waktu batimung dilaksanakan malam hari (2). Batimung dilakukan saat malam hari menjelang akad nikah. Tujuan dilakukannya batimung adalah untuk menghilangkan atau mensucikan kotoran-kotoran yang ada di badan. Berikut tata cara batimung secara garis besar, yaitu menyediakan air mendidih di dalam panci, calon pengantin akan duduk dengan menghadap ke wadah (panci berisi air mendidih), kemudian tubuh calon pengantin ditutup secara berkeliling menggunakan tikar. Setelah beberapa saat, uap air mendidih akan membuat calon pengantin berkeringat. Hal inilah yang dipercaya oleh masyarakat Banjar dapat menghilangkan kotoran, sehingga mensucikan diri seseorang (calon pengantin). Walaupun belum teruji secara ilmiah, adat batimung ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu membantu pemeliharaan budaya dan pemanfaatan tanaman obat, memelihara kesehatan masyarakat, dan meningkatkan perekonomian masyarakat (3, 4).

Dalam pelaksanaan batimung, terdapat beberapa proses yang harus dilaksanakan, yaitu: pertama, mencari ramuan-ramuan berupa daun lengkuas, daun dilam, pudak, serai wangi, limau purut, bungabungaan seperti mawar, melati, kenanga, cempaka, dan lain-lain; kedua, meracik, yaitu proses memotong rempah-rempah menjadi beberapa bagian agar memudahkan proses pengadukan; ketiga, maaduk, yaitu proses mencampurkan semua rempah-rempah yang sudah dipotong kedalam wadah kuantan yang berisi air; keempat, ba'jajarang, yaitu proses mencampurkan semua ramuan-ramuan ke dalam wadah yang disebut kuantan tanah yang berisi air secukupnya. Setelah itu, semua bahan direbus di atas api; kelima, maurak tikar purun, yaitu kegiatan menyiapkan alat-alat untuk menutup tubuh yang akan di-timung agar uap air yang di dalam tidak keluar. Perlengkapannya, yaitu tikar anyam (tikar purun), kain-kain atau sarung, selimut yang berbahan tebal; keenam, maurai tikar purun, yaitu kegiatan menyiapkan tikar purun yang dibentuk seperti lingkaran, tujuannya untuk menutupi atau melindungi badan selama proses batimung dilakukan; ketujuh, maangkut, yaitu proses mengangkat jajarangan rempah-rempah yang sudah mendidih untuk dimasukkan ke dalam tikar purun yang telah disiapkan untuk batimung; kedelapan, batimung, yaitu proses pelaksanaan akhir orang yang akan di-timung didudukkan di atas kursi kecil, di antara kedua kakinya di dekat tempayan dia duduk diletakkan kuantan tanah yang berisi air panas dengan jajarangan ramuan-ramuan. Kemudian badan yang di-timung tersebut ditutupi dengan gulungan tikar purun yang telah disiapkan, kecuali bagian kepala yang tidak ditutupi. Selanjutnya, orang tersebut dibungkus lagi dengan kain tebal atau sejenis selimut dengan tujuan agar uap air yang di dalam tidak keluar. Proses ini berlangsung selama beberapa puluh menit sampai air dalam kuantan berisi jajarangan ramuan mendingin dan di situlah proses batimung selesai; dan kesembilan, setelah keluar dari gulungan tikar purun dan kain-kain, orang yang di-timung tersebut mengeringkan badannya dengan handuk, proses ini disebut dengan istilah wanas (1).

Sayangnya, pengetahuan akan pengobatan sekaligus adat tradisional ini kurang diminati oleh generasi muda. Pengetahuan akan pengobatan batimung lebih dikuasai oleh generasi tua dibandingkan generasi muda. Hal ini dikarenakan generasi muda lebih suka sesuatu yang praktis, mereka tidak suka melakukan sesuatu yang lumayan ribet. Kejadian ini dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi keberlangsungan suatu budaya. Jika budaya/adat batimung ini tidak dilestarikan oleh generasi muda, maka akan menyebabkan budaya ini berangsur-angsur punah. Walaupun sekarang ini, ramuan batimung sudah terdapat di beberapa warung maupun pasar tradisional di Kalimantan Selatan, tetapi jika tidak dilestarikan oleh generasi muda, maka suatu saat dapat punah juga. Untuk saat ini, masyarakat Banjar tidak perlu takut jika budaya batimung tidak dilestarikan oleh generasi penerus. Hal ini tercermin dari masih tersedianya ramuan-ramuan batimung yang dijual di warung ataupun dipasar-pasar tradisional yang ada di Kalimantan Selatan. Selain dijual di warung maupun di pasar tradisional, ramuan batimung juga diolah sendiri dengan mencari bahan-bahannya di hutan.  Adat batimung sekarang ini masih dipandang sebagai identitas dan kekhasan serta keragaman kebudayaan oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Budaya atau adat batimung sudah seharusnya kita lestarikan mulai dari sekarang, karena jika tidak dilestarikan maka salah satu keberagaman budaya di Indonesia akan berangsur-angsur punah yang akan memiskinkan keragaman budaya Indonesia (4).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Saefuddin, dan Maryadi S. Tradisi pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Naditira Widya 2018; 12(2): 147-158.
  2.  Najamudin M. Pendekatan semiotik dalam analisis legal "Kambang Goyang" karya H. Anang Ardiansyah. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah 2018; 3(2): 497-499.
  3. Noriani, dkk. Akulturasi Islam dalam perkawinan Adat Dayak Ngaju: sejarah masyarakat muslim di Desa Petak Bahandang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 2019; 15(2): 107-117.
  4.  Fadillah A. Seni dan Budaya Dalam Pengobatan Tradisional Banjar. Yogyakarta: CV.Mine; 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun