Selama setahun terakhir ini bagi penikmat televisi mungkin tak asing dengan kata dungu yang sering dilontarkan oleh seorang akademisi satu universitas besar Indonesia. Akademisi ini lebih dikenal sebagai filsuf.
Dalam berbagai perdebatan, filsuf ini tak segan untuk mencemooh orang lain bahkan pemerintah dengan kata dungu. Dungu dalam kamus KBBI artinya sanat tumpul otaknya , tidak cerdas, bebal dan bodoh. Jadi dalam banyak kesempatan akademisi ini mengatai pemerintah sebagai pihak yang bodoh, bebal dan tidak cerdas.
Ungkapan dan logikanya sering ditampilkan dipadu dengan pengetahuan keilmuwannya yang tak semua orang bisa mengartikannya. Seperti teori-teori perubahan sosial, teori filsafat termasuk marx dan neo marx dll. Dimana sangat sedikit orang paham teori-teori tersebut sehingga terlihat sang akademisi ini punya pengetahuan di atas rata-rata masyarakat kita.
Sebagian besar masyarakat mengaguminya terlebih karena ungkapannya itu mendukung salah satu paslon capres yang digelar April lalu. Proses kampanye yang begitu panjang dan meelahkan bagi banyak elemen masyarakat menjadikan proses demokrasi pilpres yang seharusnya disambut dengan gembira dan sukacita, sering harus diterima dengan rasa kesal dan umpatan yang seharusnya tak perlu.
Ungkapan yang begitu membakar nurani, membongkar logika kebanyakan orang dan mengaduk-ngaduk perasaan banyak orang membuat situasi masyakarat bertambah runyam. Sebagian karena menelan kata-kata sang filsuf tanpa mencari lebih lanjut arti dan konteksnya. Semua kata-katanya ditelan mentah --mentah kemudian diungkapkan lagi ke pihak lain melalui media sosial. Padahal sebagian besar kata-kata yang ada mengandung perpecahan dan nyaris hasutan sehingga sebenarnya tak perlu diikuti benar kata-katanya.
Kini setelah pilpres berlalu tak semua siap dengan kekalahan dan sebagian besar orang tidak puas dan ingin menciptakan kekacauan. Hasutan kembali terdengar untuk membuat pasca penetapan pemenang pemilu terjadi. Sehingga sebagian masyarakat di luar Jakarta masuk ke Jakarta dan membuat kegaduhan. Beberapa orang yang jadi korban meninggal dan ratusan orang tertangkap karena dianggap sebagai sumber kekacauan.
Banyak aparat terluka dan beberapa fasiltas umum rusak karena gerakan tak puas itu sehingga membuat sebagian situasi Jakarta menjadi kacau. Kemarahan dan pengrusakan itu berlangsung ketika umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa.
Jika kita titik bersama kericuhan yang terjadi pasca penetapan kemenangan Pemilu 2019 seharusnya tidak terjadi jika kita bersandar pada ajaran agama yang benar. Kalah menang dalam sebuah kontestasi adalah hal wajar. Satu pihak menang dan dan pihak lain kalah. Dan yang kalah bagaimanapun harus mengakui itu. Juga para pendukungnya tak termakan dengan hasutan dan berbagai orasi yang membakar kemarahan orang yang mungkin tak mengerti soal politik.
Kericuhan Jakarta pada tanggal 22 Mei sudah berlalu dengan segala perasaan dan korban. Mari kita sama-sama belajar tentang kemenangan dan kekalahan itu dan bagaimana seharusnya dilakukan. Mari kita menghindari hasutan dan tidak terjebak pada provoksi yang salah soal bangsa kita.
Sama halnya dengan puasa yang mengalahkan hawa nafsu maka kita selayaknya bisa mengalahkan hasutan demi masa depan negara kita.