Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Guyub dan Rukun dari Sejarah Indonesia

7 Juli 2017   09:29 Diperbarui: 7 Juli 2017   09:47 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sadar atau tidak, kerukunan telah menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia untuk membangun sinergi. Masyarakat dari Aceh, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, hingga Papua, semuanya saling sinergi dalam kerangka bhineka tunggal ika. Berbeda tetapi tetap satu, dalam bingkai negara persatuan republik Indonesia. Bahkan, semangat untuk rukun ini pada dasarnya sudah ada sejak dulu. Tak heran jika penjajah Belanda ketika itu, sempat menerapkan politik pecah belah, agar kekuatan Indonesia menyusut dan masyarakatnya bisa tercerai berai.

Akhirnya, kemerdekaan bisa didapat, meski dengan perjuangan yang panjang. Kemerdekaan bisa didapatkan, meski banyak pahlawan yang gugur. Semuanya itu bisa diraih, ketika perjuangan itu dilakukan secara bersama sama. Meski dengan senjata bambu runcing, masyarakat tetap bersatu. Perjuangan yang awalnya dilakukan secara kedaerahan, dirubah menjadi berjuang bersama untuk mendapatkan kemerdekaan. Hasilnya, 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, setelah 350 tahun hidup dalam baying-bayang penjajahan.

Karena Indonesia merupakan negeri yang beragam, berbagai kepentingan dan ego sektoral ketika itu coba ditanggalkan. Perumusan dasar negara yang sempat alot, akhirnya bisa selesai dengan melahirkan lima sila yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kerukunan, kelima sila yang menjadi dasar negara itu mustahil terwujud.

Nilai Pancasila itulah kemudian yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia, yang diimplementasikan dalam perbuatan sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada istilah guyub rukun. Secara sederhana guyub bisa diartikan sebagai kebersamaan. Dan rukun merupakan kondisi tidak ada kebencian. Perpaduan keduanya kemudian melahirkan toleransi, saling mengerti, saling peduli dan gotong royong.

Kini, setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, guyub rukun itu ternyata mulai memudar. Seiring dengan kemajuan teknologi, semua orang bisa mengakses berbagai informasi dari belahan negara manapun, dalam waktu yang relative singkat. Masyarakat juga bisa mengakses informasi yang baik dan yang tidak baik. 

Informasi yang membangun sampai informasi yang menyesatkan, hilir mudik di dunia maya yang saat ini mulai digemari oleh semua elemen masyarakat. Dan salah satu yang menyelinap dalam kecanggihan teknologi itu adalah paham radikalisme dan terorisme. Paham kekerasan yang selalu mengatasnamakan agama ini, telah merubah sebagian generasi muda kita menjadi radikal dan menjadi teroris.

Sentimen SARA yang sempat mencuat ketika pilkada beberapa waktu lalu, belum sepenuhnya hilang dalam kehidupan sehari-hari. Ujaran kebencian masih sering kita temukan, perilaku intoleran yang masih sering kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini kemudian menjadi runyam, ketika jaringan ISIS mulai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mereka terus menebar informasi yang menyesatkan, untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Pemerintah dianggap diskriminatif, kafir, dan wajib diperangi. Aparat keamanan karena dianggap menjadi penghalang, akhirnya juga dianggap sebagai kafir dan harus diperangi. Tak heran jika ancaman teror akhir-akhir ini banyak ditujukan ke aparat keamanan.

Yang dilakukan ISIS dan jaringannya ini, hampir mirip dengan yang dilakukan penjajah ketika itu. Mereka terus memecah belah kebersamaan masyarakat Indonesia. Hanya saja, jaringan ISIS selalu menggunakan sentimen agama. Aksi terror dianggap sebagai bagian dari jihad. Akibatnya, tidak sedikit dari generasi muda kita yang pemahaman agamanya kurang, terpengaruh dan ikut-ikutan menjadi radikal. 

Islam tidak pernah mengajarkan jihad dengan cara kekerasan. Jihad yang benar justru melawan diri sendiri dan mengendalikan hawa nafsu. Mari kita bekali diri dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan agama. Tak lupa juga lupakan kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu. Diantaranya hidup guyub rukunlah dengan sesama, tanpa harus mempermasalahkan perbedaan yang ada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun