Semua orang yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta sangat mendambakan bisa memiliki rumah sendiri. Â Begitu vitalnya rumah bagi masyarakat, paslon pun memasukkan perihal perumahan ke dalam janji mereka. Setelah mendapatkan rumah, tentu akan berusaha untuk mempertahankannya, menjaga kebersihan agar nyaman dilakukan. Begitu juga dengan Indonesia. Negara ini menjadi rumah semua suku dari Sabang sampai Merauke. Indonesia menjadi rumah bagi keberagaman adat dan budaya. Indonesia juga menjadi rumah bagi semua pemeluk agama. Sudah semestinya pula, kita mencintai Indonesia, seperti kita mencintai rumah kita sendiri.
Di dalam rumah Indonesia, ada banyak kamar-kamar yang menjadi tempat kita untuk beraktifitas. Salah satu kamar itu bernama Jakarta. Bagi masyarakat ibukota, kota ini merupakan rumah mereka. Karena di kota ini mereka bisa berkumpul dengan keluarga, dengan masyarakat dari kota mana saja. Di Jakarta tidak hanya tempat untuk mencari nafkah, tapi juga tempat belajar untuk memahami dan menjalani kehidupan. Karena Jakarta ini merupakan kamar sebagian masyarakat ibukota, maka sudah semestinya pula, masyarakat menjaga dan merawatnya.
Rumah Indonesia dan kamar Jakarta ini, merupakan analogi sederhana yang menggambarkan tempat kita tinggal. Jika kita tidak menjaga rumah atau kamar yang selama ini menjadi tempat tinggal kita, maka akan mengkhawatirkan. Karena tidak lagi ada kenyamanan tinggal di kamar dan rumah. Tidak lagi ada ketenangan dan ruang untuk privasi.
Mari kita lihat dalam kehidupan yang sesungguhnya. Sudahkah kita merawat Jakarta? Saat ini banyak sekali perilaku dan ujaran, yang tidak menggambarkan hubungan yang harmonis antar sesama manusia. Sebagian orang saling ejek, menghina dan bahkan tidak segan untuk melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Ironisnya, ujaran dan perilaku kebencian ini, juga disusupkan dalam perhelatan pencarian pemimpin daerah atau pilkada. Banyak pendukung paslon begitu mudah menyatakan kebencian kepada paslon yang lain. Ironisnya, kebencian ini sengaja ‘dipelihara’ untuk saling menurunkan elektabilitas pasangan calon.
Jika kita masih terus mempertahankan kebencian, secara tidak langsung kita telah memupuk bibit radikalisme. Dan ini artinya radikalisme bisa berpotensi terjadi aksi terorisme. Dan hingga saat ini, terorisme masih menjadi ancaman dan musuh bersama. Di Indonesia, aksi terorisme telah masih terjadi. Jika kita perumpamakan rumah, aksi terorisme itu telah terjadi di rumah kita sendiri, di Indonesia. Apakah kita hanya diam dan membiarkan hal itu terjadi? Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing.
Di Jakarta, di kamar kita, bibit intoleransi terus muncul. Di Indonesia, di rumah kita, aksi terorisme juga terus bermunculan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi beberapa tahun kedepan jika kita tetap diam. Saat ini, bibit intoleransi tidak hanya menyusup di pilkada, tapi juga lembaga pendidikan, perkantoran, bahkan mungkin di rumah kita sendiri. Karena itulah, mari kita bergandengan tangan untuk terus menjaga kamar dan rumah kita, dari ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H