Meski Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Â Indonesia memang bukan negara Islam. Meski demikian Indonesia merupakan negara yang beragama. Negara yang menjadikan agama, sebagai dasar-dasar dalam kehidupan benegara. Karena itulah, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemerdekaan Indonesia tidak akan terjadi, tanpa berkat dari Tuhan. Dengan menempatkan agama sebagai dasar, segala perilaku warga negara diharapkan sesuai ajaran agama. Selain itu segala kebijakan pemimpinnya, diharapkan juga tidak melenceng dari ajaran agama.
Dalam perkembangannya, muncul kelompok intoleran di negeri yang toleran ini. Mereka berupaya merusak tatanan kehidupan, dengan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dengan mengusung konsep khilafah, sebuah konsep yang diterapkan kelompok ISIS ini, dianggap sebagai solusi untuk diterapkan. Konsep yang dibawa kelompok radikal ini, jelas tidak sesuai dengan kultur negeri ini. Karena itu pula, berdasarkan survey Wahid Foundation, mayoritas muslim di Indonesia menolak radikalisme. Kenapa? Karena mereka cenderung melakukan kekerasan, untuk mewujudkan keinginannya. Mereka menjadikan agama sebagai tameng, untuk menutupi kekerasan yang dilakukan.
Meski mayoritas muslim di Indonesia menolak radikalisme, namun kelompok ini begitu massif melakukan propaganda negative. Berbagai ujaran kebencian mereka tularkan, melalui pengajian-pengajian. Bahkan, ujaran serupa juga sering mereka lakukan di sosial media. Â Masih berdasarkan survey Wahid Foundation, masyarakat bisa berubah menjadi radikal jika setiap hari dihadapkan pada propaganda kebencian. Survey ini mungkin benar, karena banyak pelaku terorisme mengaku mengenal radikalisme melalui internet.
Peristiwa terbaru, pada bulan yang lalu, seorang remaja yang baru berusia 18 tahun, melakukan percobaan bom bunuh diri di sebuah gereja. Remaja tersebut mengaku mengenal ajaran radikalisme dan segala atributnya melalui internet. Dunia maya memang menjadi sarana yang efektif, untuk menyebarkan propaganda radikalisme. Bahrun Naim, remaja asal Solo yang diduga menjadi otak peledakan bom di kawasan Thamrin awal tahun 2016 lalu, juga aktif membuat blog. Meski seringkali diblokir, blog berisi ajaran radikalisme ini masih seringkali muncul di dunia maya.
Masifnya propaganda radikal ini, membuat banyak generasi muda kita, menjadi generasi pembenci. Mereka dengan mudah membenci orang lain, hanya karena adanya perbedaan. Ironisnya, perbedaan itu justru diartikan sebagai bentuk kesesatan. Tak ayal lagi, predikat kafir pun juga seringkali dimunculkan. Masyarakat yang tidak melengkapi dirinya dengan kepandaian, akan mudah termakan isu ini. Â Apalagi kebencian ini dikemas dengan unsur-unsur keagamaan.
Mari kita lawan kebencian ini dengan kedamaian. Mari kita kembalikan generasi yang terjangkit intoleransi, agar menjadi generasi yang toleran. Kekerasan jelas bukanlah sebagai solusi. Kekerasan justru menghasilkan korban tak berdosa. Mari kita menjadi umat beragama yang santun, yang tidak membuat orang takut. Belajarlah untuk tidak saling membenci. Karena sumber radikalisme itu berasal dari kebencian yang terus dibiarkan menguasai diri. Mari kita berjihad melawan kebencian di dalam diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H