"Toleransi tidak mengartikan kurangnya komitmen seseorang kepada kepercayaannya, Melainkan hal itu mengutuk penindasan dan penganiayaan terhadap orang lain"
Kalimat tersebut adalah kalimat yang disampaikan oleh John F. Kennedy, Presiden ke 35 Amerika Serikat mengenai toleransi. Toleransi dan moderasi, dua konsep fundamental yang menjadi dasar penting kehidupan masyarakat, terkhusus bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang tak bisa dipisahkan dari perbedaan dan keberagaman. Indonesia menjadi salah satu negara yang dikenal karena keberagamannya.Â
Keberagaman di negeri ini  dapat tercermin dari banyaknya budaya, adat, bahasa, suku, bahkan juga agama. Di sisi lain, banyaknya keberagaman yang ada di Indonesia tak jarang membuat Indonesia diterpa dengan isu-isu Radikalisme, terlebih dengan adanya gerakan dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan suatu agama atau kelompok tertentu.Â
Kita semua mengetahui dan paham betul, bahwa secara substansi, semua ajaran agama pada hakikatnya menekankan pada kehidupan yang damai, moderat, serta rukun. Maka dari itu, dicetuskanlah solusi untuk menghilangkan gerakan radikalisme ini dengan adanya Moderasi Beragama.
Mengutip dari (Hefni, 2020), moderasi berasal dari kata Latin "moderatio" yang berarti ke-sedang-an, yang mana kata kesedangan ini dijelaskan sebagai bentuk penguasaan diri dari sikap sangat kekurangan ataupun sangat berlebihan. Dalam bahasa Inggris, moderasi dikenal dengan kata moderation yang memiliki makna serupa dengan kata average yang berarti rata-rata.
Sedangkan dalam bahasa Arab, Â moderasi dimaknai sebagai wasath atau wasathiyyah yang berarti tuntunan di pertengahan, pilihan terbaik, dan tuntunan agar kehidupan dunia dapat menjadi kebahagiaan akhirat. Di sisi lain, (Sutrisno, 2019) menjelaskan makna dari kata beragama dalam konteks moderasi. Beliau menjelaskan bahwa beragama memiliki arti sebagai menganut, beribadah, taat pada agama yang dibuktikan dengan cara menyebarkan kedamaian juga kasih sayang kepada siapa pun dan kapan pun itu.
Sederhananya, moderasi beragama adalah bentuk sikap atau pandangan hidup mengenai penghindaran segala bentuk keekstreman yang ada. Moderasi beragama menekankan pada pola pikir dan cara pandang manusia dalam memahami serta mengamalkan ajaran agama dengan berada di tengah-tengah, tidak condong ke kanan (pemahaman agama yang cenderung kaku) maupun ke kiri (pemahaman agama yang cenderung sekularisme). Moderasi agama dapat kita buktikan dengan cara menunjukkan rasa toleransi kita kepada sesama manusia, misalnya ialah dengan tidak mendebat golongan kanan dan tidak pula mengecilkan golongan kiri.
(Hefni, 2020) menjelaskan bahwa moderasi beragama pada hakikatnya menekankan pada nilai keseimbangan juga keadilan, sehingga dalam beragama seseorang tidak boleh ekstrim dengan pandangannya, melainkan harus selalu berusaha untuk mencari titik temu. Moderasi beragama ialah bentuk tuntunan agar manusia dapat memperlakukan manusia lain secara terhormat. Sebuah panduan hidup untuk dapat menerima adanya perbedaan yang merupakan ciri dari sebuah keberagaman.
Moderasi beragama ialah sebuah langkah dasar, langkah yang digunakan untuk dapat menumbuhkan rasa toleransi, entah itu antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, atau bahkan toleransi antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Menolak adanya bentuk ekstremisme, liberalisme, sekularisme, fundamental, atau apapun sebutan untuk hal tersebut bukan berarti menolak eksistensi dari pemahaman mereka. Aksi menolak dalam hal ini dipertimbangkan sebagai aksi yang dinilai paling bijak untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Â Kita tak dapat menampik bahwasanya ada banyak sekali fenomena intolernsi dan radikalisme di sekitar kita. Belajar untuk menjadi manusia yang moderat, yang toleran, adalah langkah awal untuk menghentikan cikal bakal dari munculnya tindakan-tindakan negatif tersebut.Â
Di Indonesia sendiri, seringkali terjadi kasus radikalisme ataupun intoleransi yang terjadi karena faktor ditunggangi oleh kepentingan oknum-oknum tertentu. Konflik mengatasnamakan SARA masih menjadi persoalan akrab yang kerap kali terjadi di Indonesia. Salah satu contoh kasusnya ialah konflik yang terjadi di Tolikora Papua, dimana berdasarkan isu yang berkembang konflik ini terjadi karena faktor speaker yang digunakan oleh warga muslim dalam menyerukan ajakan sholat idul fitri secara berjamaah. Adanya perbedaan dan keberagaman dalam hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk memecah belah bangsa. Padahal jika kita bercermin pada UUD 1945, semua warga Indonesia diyakini dan berhak untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, dan negara pun menjamin penuh hak tersebut. Munculnya fenomena-fenomena konflik yang mengatasnamakan SARA inilah yang kemudian melahirkan solusi berupa Moderasi Beragama.