Mohon tunggu...
A. Anindita
A. Anindita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Perempuan dua puluhan, menulis secara amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Tanpa Rahim

14 Januari 2014   15:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13898394761762085765

[caption id="attachment_316144" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Di antara selipan bunyi jam hatiku tak berkutik seakan dipukuli olehnya. Aku menunggu mas Damar pulang. Aku lebih dari tahu jam kerjanya. Aku sudah lebih tahu ia lembur dimana. Tapi aku masih menunggunya, bukan aku mau jadi teladan, aku hanya takut kalau aku sudah berselimut ia akan menjambak dan mengataiku tak tahu diri. Baginya aku bukan siapa atau apapun lagi.

Sedari tadi aku menatap lurus ke cangkir berisi teh. Melihat kepulan asapnya pergi kemana-mana, dan tak pernah kembali ke dalam cangkir. Begitu jugakah mas Damar? Mungkinkah hatinya sudah lama berpindah rumah.

Pintu pagar terbuka, terdengar pasti suara mobil mas Damar, aku segera mengambil kunci dan membuka pintu. Aku bisa lihat mukanya kusut. Wajahnya adalah sama dengan yang dahulu ku kenal, namun iblis apa didalamnya, aku tak pernah lihat, aku hanya bisa merasa. Ia masuk segera, dan sengaja mendorongkan bahunya kepadaku, tahu-tahu kepalaku sudah membentur ujung pintu. Aku tak berani mengaduh, aku tak berani membuatnya mendengar gaduh sedikitpun.

“Sakit hah? Makanya kalau saya lewat lihat-lihat. Jangan jadi perempuan bodoh terus-terusan, cekatan sedikit makanya!”

Aku dengar itu berkali-kali, hanya alasannya saja yang berbeda. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan pelan. Namun batinnya tak pernah puas, aku haruslah salah.

Sembari meletakkan sepatunya ke rak, ku dengar teriakannya memanggilku.

“Nia! Kenapa tehnya dingin! Saya sudah bilang, saya mau yang panas setiap saya pulang! Kenapa kamu ga pernah becus hah? Apa capeknya dirumah seharian!”

“Tapi mas, aku ga tau kapan mas pulang, aku nunggu mas sudah daritadi, makanya tehnya dingin..”

“Lama? Apa lamanya dibanding saya hidup sama kamu! Perempuan ga guna. Untuk apa kamu jadi perempuan tapi ga punya rahim! Dasar bodoh, manut saja sama dokter sialan. Saya lebih suka kamu yang mati daripada saya ga punya anak!”

Aku tak berani lagi melihat wajahnya. Ia dendam kesumat padaku mengenai itu. Setiap hari. Aku cuma berani menatap meja makan. Hanya cangkir dan toples plastik kecil yang ada disana. Bisa dibilang benda dari kaca dirumah kami hampir habis karena amarahnya.

“Nih, kamu rasain sendiri tehnya!”

Aku diam. Manut ketakutan. Aku tahu ini baru permulaan. Aku tahu ia tak pernah puas padaku. Setelah isi, bejananya pun dilempar padaku. Aku mengaduh minta ampun. Bukanlah Tuhan namun ia menguasaiku. Aku cuma bisa mengaku salah, terus-menerus, seperti apa yang ia mau. Namun tak pernah cukup baginya.

Aku merasa sakit dan sakit di pelipisku. Ia terus mencoba menghantamkan kepalaku ke dinding. Aku tak dapat lagi membuka mata, aku takut buta karenanya. Aku masih harus mendengar kemarahannya sepanjang malam.

***

Sesungguhnya aku sudah lama mati, dikebirinya. Namun sial nyawaku masih tersangkut di ragaku. Aku tahu ia tak akan pernah mau menjadi pencabut nyawa, hal itu akan mengotori namanya. Damar yang dermawan. Anak pemuka agama. Namun membenciku karena tak bisa memberinya keturunan.

Bukan hanya Damar, tapi juga ibunya, mertuaku. Sinisnya sama dengan anaknya. Sungguh tak dapat kupercaya wajah teduhnya yang elok di televisi dapat mencabik hatiku dengan kata-kata buasnya. Mereka membenciku setengah mati. Tapi keduanya sama-sama tak mau mengotori tangannya.

Bercerai juga aib bagi mereka berdua. Mas Damar lebih suka menyiksaku hidup-hidup, sedang mertuaku lebih senang melihat bekas lukaku. Mereka bilang aku perempuan tidak berguna. Nyinyir mertuaku selalu, kalau tanpa anaknya, aku akan jadi gelandangan, karena aku juga tak punya ayah atau ibu. Aku perempuan nemu di panti, ejek mereka.

Aku tak pernah memilih menikah dengan lelaki bertempramen. Mas Damar adalah cinta pertamaku. Ia senior di kampusku. Awal jumpa ia mengutarakan ingin mengenalku lebih jauh. Aku luluh, karena tutur katanya yang baik. Tak terbesit ragu sedikitpun padanya, kubuka hatiku selapang mungkin. Aku berdoa supaya ia jadi jodohku. Sampai kami menikah. Pun kami pernah mengecap bahagia. Namun tak pernah lama, setelah aku tahu rahimku harus diangkat, aku depresi. Berbulan-bulan aku jadi pemarah, marah dengan diriku sendiri. Tapi mas Damar setia mengelus rambutku dan mengecup lembut keningku, dan meyakinkanku bahwa ia tetap mencintaiku. Aku berangsur pulih, namun tak pernah utuh. Karena rahimku pergi. Adalah suatu kekosongan yang mulai menggerogoti hidupku.

Setelah lebih sewindu, aku tak pernah tahu, kenapa tiba-tiba mas Damar berang kepadaku. Ia mulai membawa-bawa ibunya ke dalam kehidupan kami. Ia mulai menyalahiku karena ketidakbahagiaannya. Aku mencoba menenangkannya dan menenangkan diriku sendiri. Namun pias karena tamparan-tamparan tangannya mulai memenuhiku.

Ia kemasukan iblis. Ia dan ibunya. Aku adalah kesalahan yang terpelihara. Katanya kalau aku tidak ada mas Damar bisa nikah dengan Gendhis. Anak kolega mertuaku. Aku tak pernah lagi merasa apapun, sekalipun aku tahu mas Damar sudah tidur dengan si Gendhis bermalam-malam. Tapi bila tak kunjung juga kutemui titik, jangan kira aku tak dapat membuatnya sendiri.

***

Aku melihat punggungnya bermalam-malam. Katanya ia tak sudi bila ia berhadap denganku, pembawa sial katanya. Tapi aku tak lagi peduli. Barang-barang di  kamar kami tak banyak. Hanya ranjang, lemari besar, dan meja jati kecil di sudut ruangan.

Aku mengendap-endap pergi keluar. Mencari barang yang kuperlukan dan menuju kamar kembali. Aku membawa jerigen di tangan serta korek api. Aku mengunci pintu kamar, dan membuangnya keluar jendela kamar. Untungnya jendela kami dipasangi teralis. Lalu mulai kutuang cairan dalam jerigen ke seleruh kamar kami. Satu, dua, tiga, api kunyalakan. Aku kembali ke ranjang dan menunggu ajal.

Tak akan ada yang percaya kalau mas Damar telah keji kepadaku. Orang-orang hanya akan simpatik padanya. Aku sengaja membawanya pergi supaya kami sama-sama diadili. Pengadilan yang tanpa rekaan tentunya.

Aku bisa dengar ia histeris dan mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku bergeming. Ia meminta maaf padaku, mengiba meminta kunci. Aku beritahu padanya sudah kubuang. “Perempuan laknat!” makinya. Aku tertawa, melihatnya sengasara. Aku menikmati, menit-menit lidah api menjulur-julur disekeliling kami. Aku mulai memikirkan mertuaku, ia akan merana kemudian karena ditinggal apa yang satu-satunya pernah tumbuh di rahimnya. Sekarang, kami sama-sama kehilangan bukan?

-

A. Anindita

13/01/14

22:53

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun