Atau kita pernah mendengar kalimat kurang lebih seperti, “Pak xyz merawat burungnya dengan telaten.” Jujur saja, kebanyakan akan minimal senyum-senyum mendengar kalimat tersebut, kemungkinan besar kalimat tersebut akan menggelitik, dalam benak masing-masing akan memproses pengambilan kesimpulan apakah kata tersebut merujuk makna sebenarnya, atau hanya sebuah kata pengganti yang tujuannya memperhalus makna. Lihat, yang digadang-gadang untuk tujuan memperhalus menjadi sebuah ambigutas...
Bila dibanding dengan menyebut kata asli, misalnya untuk merujuk pada alat kelamin (berdasar contoh di atas yang sering dijadikan kata untuk memperhalus makna tersebut), saya kira responnya tidak akan ada yang senyum-senyum dan mulai memikirkan yang macam-macam. Straight to the point. Seberapa sering memangnya penggunaan kata tersebut? Apa frekuensinya tinggi, dipakai setiap hari, sampai-sampai takut sekali kata asli tersebut akan meracuni pikiran? Merusak moral?
Mungkin kalau keparnoannya sudah akut, menyebut kanker payudara menjadi kanker gunung kembar. Bagaimana? Sopan sekali bukan. Sungguh saya merasa geli sendiri.
Seolah memakai kata yang sebenarnya menjadi “dosa” lantas dicap tidak pantas, kasar, jorok, cabul. Saya kira keparnoan ini mulai mengkhawatirkan. Saya kira semua penggunaan kata-kata tersebut tidaklah salah, bila memang digunakan dalam konteks yang sebenarnya dan tidak dimaksudkan dalam hal penghinaan atau pelecehan. Gunakan kata pada tempatnya, mungkin itu ungkapan yang dapat menggambarkan kegelisahan saya.
Saya tidak mengajak untuk mengubah stigma yang terlanjur menempel. Saya hanya tidak ingin seseorang yang merasakan kegelisahan yang sama dengan saya lantas dicap buruk. Silahkan dengan yang ingin berjibaku dengan ambiguitas demi standar kesopanan, atau minoritas yang lebih sreg menggunakan kata yang sebenarnya tanpa perlu bertele-tele.
Tidak ada maksud untuk menelanjangi moral, kesopanan tentu tetap harus dijaga. Tapi setidaknya kegelisahan saya atas keparnoan ini sedikit memudar, karena saya sudah mengeluarkan unek-unek yang menumpuk. Kata yang menjadi korban tidaklah dapat membela diri. Kata berubah menjadi kasar saat seseorang memakainya dengan tujuan tertentu. Beritahu atau tegurlah orang yang menyalahgunakannya, jangan cap kata itu sendiri buruk! Saya kasihan dengan kata yang seolah kehilangan kehormatannya hingga kedudukannya harus diganti karena tidak layak lagi dipakai dalam percakapan biasa. :”)
Salam,
A. Anindita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H