Mohon tunggu...
Anis Nur Fitria
Anis Nur Fitria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Matematika Universitas Airlangga

Menulis adalah hal yang menarik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Punan Batu, Suku Pemangsa yang Dimangsa IKN Nusantara

24 Mei 2022   15:30 Diperbarui: 24 Mei 2022   15:31 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia resmi berpindah dari DKI Jakarta ke Nusantara. Seperti yang diketahui bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan nama ibu kota negara baru yakni Nusantara. Nantinya, seluruh kegiatan pemerintah pusat akan dialihkan ke Nusantara mulai 2024 mendatang. Plt Direktur Regional II Bappenas Mohammad Ruodo mengatakan rencana pemidahan IKN ini telah dilakukan kajian, penelitian, konsultasi publik yang cukup lama. "Ini sudah dimulai pada 2 hingga 3 tahun ke belakang," ujarnya dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 secara virtual, Rabu (2/2/2022).

Pada tanggal 14 Maret 2022, Presiden Jokowi beserta sederet pejabat pemerintah melaksanakan agenda untuk berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Agenda tersebut menyebabkan wilayah yang rencananya akan dijadikan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru tersebut menjadi semakin terekspose masyarakat umum.

Sekitar 800 kilometer jauhnya dari lokasi kemah tersebut, masih ada penduduk suku pemburu-peramu nomaden terakhir di wilayah Kalimantan, yakni suku Dayak Punan yang masih tinggal di Hutan Bulungan, Kalimantan Timur. Untuk pertama kalinya, keberadaan pemburu terakhir di Kalimantan ini pertama kali dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Selama ini, keberadaan Punan Batu yang masih hidup berpindah-pindah di dalam hutan Kalimantan seolah hanya mitos. Bahkan, eksistensi populasi ini juga belum diakui negara. Nama Punan Batu pun tidak masuk dalam daftar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial.

Dayak Punan merupakan salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Kawasan Punan dayak ini bisa dijangkau dengan transportasi sungai dari Putushibau dengan biaya sewa speedboat berkisar antara satu juta hingga tiga juta rupiah. Sumber daya alam di wilayah ini masih melimpah ruah, seperti sarang burung walet dan harta tambang lainnya. Akan tetapi, wilayah tersebut begitu jauh dari dunia luar sehingga banyak dari masyarakat suku ini yang terisolasi dari dunia luar sehingga menyebabkan kondisi ketertinggalan ekonomi dan pendidikan yang cukup mengkhawatirkan. Meski komunitasnya tidak besar, suku yang sering disebut Punan Batu ini telah hidup bersama nenek moyang mereka secara hampir menyatu selama ratusan tahun.

Selama ini masyarakat Dayak mengenal Dayak Punan sebagai kelompok masyarakat yang lebih menyukai kehidupan mengembara. Mereka mencari perlindungan, bergantung pada sumber makanan yang ada di hutan, dan menggunakan gua-gua batu yang ada di tengah hutan. Suku ini tidak memakan nasi dan hidup hanya dari berburu serta mengumpulkan ubi jalar dan buah-buahan sebagai makanan pokok. Suku tersebut dikatakan masih memiliki tradisi mengayau atau membunuh orang lain yang membahayakan kehidupan suku tersebut.

Menurut UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, Pasal 6 ayat (2), IKN Nusantara meliputi wilayah daratan seluas kurang lebih 256.142 ha dan wilayah perairan laut seluas kurang lebih 68.189 hektar, sementara pembangunan kawasan pengembangan IKN Nusantara seluas 199.962 hektar dengan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara yang merupakan daerah asal Suku Punan Batu. Lokasi pemindahan IKN yang baru ini bukanlah di suatu lahan kosong. Pemindahan IKN sejatinya tidak pernah melibatkan masyarakat lokal yang mendiami wilayah calon IKN Nusantara yang seharusnya telah turun-temurun mendiami dan mengelola wilayah adatnya. Padahal, sebelum adanya kerajaan juga negara, mereka telah berada di wilayah adat mereka dan terbiasa bermusyawarah dalam memutuskan berbagai hal. Sementara itu, kini pemerintah justru tidak melibatkan masyarakat adat, khususnya suku Punan Batu, untuk duduk bersama membahas IKN yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup mereka.

Dalam proyek besar ini, nasib masyarakat lokal semakin tidak menentu dan terancam punah karena belum adanya kejelasan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Meskipun keberadaan suku Punan Batu terbilang cukup jauh dari pusat titik nol kilometer IKN Nusantara, yakni 800 km, tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk berpotensi besar dapat menggusur keberadaan Punan Batu dengan segala upaya yang dilakukan untuk tujuan perluasan IKN. Hal tersebut didukung dengan keadaan suku Punan Batu yang notabenenya saat ini populasinya hanya sekitar 100 orang. Apalagi keberlangsungan hidup mereka mutlak sangat bergantung pada hasil kekayaan hutan sekitar. Akan tetapi jika melihat kondisi pemindahan IKN, tak bisa dipungkiri keberadaan hutan nantinya juga akan terus menyusut yang menyebabkan keberadaan suku ini terancam atau bahkan tidak mungkin bertahan lama.

Keberadaan masyarakat adat, khususnya suku Punan Batu sangatlah penting eksistensinya. Keberadaan mereka sebagai salah satu bagian dari negara Indonesia yang tidak bisa begitu mudah untuk diabaikan.  Masyarakat adat sebagai salah satu bentuk identitas lokal yang wajib dijaga keberadaannya oleh pemerintah dan setiap warga negara. Hal tersebut sebagai ciri khas yang unik dan tidak dimiliki oleh negara lain sebagai aset kebudayaan Indonesia dengan segala kearifan lokal suku Punan Batu.

Proyek pemindahan IKN ini seharusnya melibatkan diskusi antara masyarakat lokal yang memiliki wilayah adat yang dititipkan oleh leluhur mereka untuk anak cucu dengan pemerintah terkait. Karena secara tidak langsung, masyarakat lokal lah yang akan merasakan dampak langsung yang ditimbulkan karena wilayahnya yang diambil alih oleh pemerintah. Budaya di lingkungan masyarakat lokal tentunya sangat berbeda dengan kondisi dan budaya masyarakat modern yang dibawa oleh penduduk migrasi yang mengikuti arus  perpindahan IKN ini. Apakah kelak masyarakat lokal akan tetap bertahan dengan gempuran perkembangan pesat dari penduduk-penduduk yang akan berbondong-bondong ke IKN yang baru atau justru mereka akan punah ditelan arus perubahan. Tidak dilibatkannya masyarakat lokal dalam rencana dan proses pembangunan IKN merupakan bentuk kelalaian pemerintah terhadap masyarakat adat. Negara yang seharusnya menjamin hak-hak masyarakat adat beserta wilayah leluhurnya, justru terkesan tidak memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun