Selamat datang di tulisan yang seharusnya tidak kamu komentari! Iya, kamu---yang sudah siap-siap jari-jarimu beraksi di kolom komentar. Tahan dulu! Baca sampai habis, karena tulisan ini bisa jadi membuatmu terjebak dalam sebuah dilema yang luar biasa: apakah kamu akan mengikuti perintah atau melawan hasrat alami manusia untuk berkomentar?
Jadi begini ya....
Sebagai pembuka, saya ingin memberi tahu bahwa menulis ini adalah eksperimen sosial yang penuh dengan risiko. Boleh jadi, kamu merasa tergoda untuk menulis komentar penuh pujian, atau mungkin kritik pedas tentang betapa "absurd"-nya tulisan ini.Â
Tapi, ingat! Jangan! Saya sudah memberi peringatan sejak awal. Kalau kamu nekat juga, kamu hanya akan membuktikan bahwa tidak ada yang bisa menahan godaan untuk ikut campur dalam segala hal, bahkan yang sebenarnya tidak perlu dicampuri.
Pasti kamu sudah paham kan?. Kalau masih belum, saya jelaskan lagi.
Kenapa saya bilang jangan komen? Karena komentar itu, seperti selfie yang tidak pernah diunggah, sering kali lebih banyak merusak daripada memperbaiki.Â
Coba lah diingat-ingat lagi, berapa banyak komentar yang sebenarnya cuma bikin kamu tambah bingung, atau malah merasa 'oh no, ini dunia kok kayak gini amat ya?' Mungkin kamu cuma ingin meluapkan emosi sesaat, tapi tenang, tulisan ini tidak akan menambah beban hidupmu kok... atau malah iya? Siapa tahu.
Nah, sampai disini pasti gak ada yang bingung.
Trus, saya lanjut ya... ada yang lebih gawat dari sekadar komentar: komentar yang terjebak dalam loop---komentar yang dibalas dengan komentar, yang lalu dibalas lagi, dan seterusnya, sampai lupa kenapa mulai komentar tadi.Â
Jadi, mari kita buat dunia ini sedikit lebih tenang dengan tidak memberi masukan apapun. Iya, tidak ada yang perlu diperbaiki di sini. Tidak perlu saran, kritik, atau bahkan kata-kata "haha" atau "wkwk" yang terkesan sok asyik.