"We are food for worm, lads," bisik Pak Keating di antara murid-muridnya di Wellton Preparatory School itu, "believe it or not, each and every one of us in this room is one day going to stop breathing, turn cold, and die." Lantaran bisikan itu, aroma puisi pun merasuki seluruh film Dead Poets Society (1989). Kata-kata yang menjadi poros semua peristiwa--sebagian besar berupa kenekatan anak-anak muda--adalah carpe diem, yang artinya "seize the day".
Frase itu sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Seize the day jelas tidak bisa diartikan secara harafiah sebagai "tangkaplah hari", walaupun terjemahan seperti ini agak menimbulkan rasa puitis. Mungkin terjemahan yang agak tepat adalah "manfaatkanlah hari". Tetapi terjemahan ini pun kurang bertenaga karena rasa kepuitisannya kurang. Tetapi semangat yang dikandung oleh frase itu jelas pernah diungkapkan dalam baris-baris puisi karya penyair Indonesia--dengan permutasi kalimat yang beraneka ragam.
"Carpe diem" sebenarnya dicuplik dari salah satu bait dalam "Odes", rangkaian puisi gubahan penyair Romawi Horace pada tahun 65 SM. Bunyi lengkapnya dalam terjemahan bahasa Inggris adalah demikian: Scale back your long hopes//to a short period. While we/speak, time is envious and/is running away from us.//Seize the day, trusting/little in the future//. Baris itu kemudian muncul lagi--entah secara sengaja entah tidak--dalam puisi-puisi lain di berbagai belahan dunia. Robert Herrick menggubah satu sajak yang salah satu baitnya mengandung semangat yang hampir sama dengan bait Horace itu: Gather ye rosebuds while ye may,/Old Time is still a-flying;//And this same flower that smiles today/ Tomorrow will be dying.//
Virgil, penyair agung Romawi yang lain, juga menggubah baris yang semangatnya sama: "collige, virgo, rosas" (gathher, girl, the roses). Ungkapan ini menganjurkan kepada para gadis untuk menikmati hidup sebelum masa muda mereka hilang. Penyair klasik Inggris, Andrew Marvell, juga menggubah bait yang semangatnya sama:Now let us sport us while we may,/And now, like amorous birds of prey,/Rather at once our time devour/Than languish in his slow-chapt power.// Pelopor simbolisme Perancis, Charles Baudelaire, mengajurkan orang untuk "mabuk"--tidak mesti selalu dengan alkohol--artinya menikmati momen yang ada: Wine, poetry or virtue, as you wish. But be drunk.//
Kesadaran tentang "kesementaraan segala" juga telah disadari oleh penyair Indonesia dan diungkapkan dengan ungkapan yang paling sublim oleh Chairil Anwar dalam sajak "Kepada Kawan". Sajak itu bunyi lengkapnya demikian:
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
Â
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Pada Chairil, penikmatan momen itu bahkan mencapai taraf agresif. Setelah menyerukan ajakannya kepada "kawan"-nya dalam belasan baris, ia seakan-akan sudah terengah-engah, tetapi ia masih melihat kemungkinan bahwa penikmatan seperti yang dianjurkannya itu masih dapat terganggu, sehingga ia berjuang keras untuk menyerukan sekaligus mengingatkan: "Sebaris lagi kawan, sebaris lagi: Tikamkan pedangmu hingga ke hulu/Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!"
Tentang sikapnya sendiri untuk menikmati momen, "seize the day", Chairil menyatakannya dengan beringas dan bergelora, bahkan bersedia menjadi "binatang jalang", dalam sajak "Aku". Dan karena ia ingin menikmati momen (hidup), maka ia berseru: "Aku mau hidup seribu tahun lagi!". Keinginan itu membuatnya memohon kepada Mirat dalam sajak "Kepada Mirat": "Kucuplah, kucuplah aku terus, dan semburkanlah tenaga dalam diriku...." Gelora tenaga Chairil yang sering dikagumi itu muncul dari pemahaman bahwa hidup ini memang indah, tidak sia-sia, dan layak untuk dihidupi.
Sajak-sajak Chairil memberikan inspirasi bagi para penyair generasi berikutnya, terutama mereka yang berusia muda. Mungkin gelora dan heroisme Chairil memang sekadar merupakan pernyataan dari, seperti yang pernah dikatakan oleh Profesor Sapardi Djoko Damono, gejolak remaja (Chairil aktif menulis sajak pada usia 21 hingga ia meninggal pada usia 27 tahun) sehingga membuat para penyair yang berusia muda terpesona. Ketika para penyair muda itu memasuki usia yang lebih tua dan memperoleh wawasan hidup yang lebih luas, gelora mereka akan berkurang.
Agaknya dugaan Profesor Sapardi ada benarnya. Goenawan Mohammad, yang mengaku belajar puisi kepada Chairil (tentu saja melalui dokumentasi sajak-sajaknya), justru tidak menuliskan sajak-sajak yang bergelora, melainkan sajak-sajak yang penuh perenungan (misalnya dalam "Di sini", "Kwatrin Musim Gugur I-IV", atau "Pariksit"). Profesor Sapardi sendiri menulis kumpulan sajak yang pernah dijuluki sebagai "Nyanyi Sunyi kedua" oleh Goenawan Mohammad (duka-Mu abadi)--asosiasi itu menyiratkan kesan kedalaman dan perenungan sebagaimana pada sajak-sajak Amir Hamzah, bukan spontanitas ekstrem seperti dalam sajak-sajak Chairil.
Tentu kita masih dapat menyebut penyair Indonesia lain yang pernah mengungkapkan semangat yang sama dengan semangat Chairil, walaupun kadarnya memang sudah berkurang karena telah melewati perenungan. Ini dapat kita jumpai dalam sajak-sajak Acep Zamzam Noor dalam Di Atas Umbria, atau Kriapur dalam Tonggak 4 (suntingan Linus Suryadi AG). Bahkan, penyair kemurungan Toto Sudarto Bachtiar sekali waktu pernah juga merasakan gelora itu dalam sajak "Angin Pagi": kembaranya semalam kembaraku juga--sebuah pernyataan tentang keinginan si penyair untuk menjelajahi seantero jagat seperti angin yang tak pernah mati.
Tetapi memang tidak banyak penyair Indonesia yang mengungkapkan semangat itu dalam sajak-sajaknya. Bahkan, dalam beberapa tahun belakangan ini, sajak-sajak yang muncul di media massa, terutama Kompas--dengan asumsi bahwa media ini memang menjadi barometer bagi perkembangan puisi kontemporer--adalah sajak-sajak yang, walaupun liris, tetapi lebih cenderung deskriptif dan mengungkapkan kegetiran, bukan sikap atau anjuran untuk menghadapi kehidupan dengan penuh gelora.
Situasi menghilangnya ekspresi individual yang bergelora ini mirip dengan situasi pada dekade 50-an dan 60-an, saat Lekra memaksakan realisme sosialis sebagai paradigma kesenian yang harus dijadikan pedoman dalam penciptaan sastra dan seni. Para penyair kita, bahkan yang kini kita kenal sebagai lirikus yang mahir sekalipun, seperti Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya dan Sapardi Djoko Damono, pernah menulis sajak-sajak yang bergemuruh tentang revolusi (misalnya, "Lagu Pekerja Malam", "Doa Para Pelaut yang Tabah", "Golgotta", atau "Rakyat").
Tetapi situasi yang saat ini menguar dari perpuisian kita jelas bukan situasi yang dipelototi oleh "kaum revolusioner". Situasi saat ini lebih tepat disebut sebagai sentimentil atau melodramatik. Para penyair kontemporer seakan-akan hanya ingin mengeluh dan ingin agar keluhannya didengar (dibaca) oleh publik puisi yang dianggapnya sama sentimentil atau melodramatisnya dengan dirinya. Jadinya, yang dihadirkan di koran-koran Minggu seringkali mirip dengan lirik lagu populer tentang percintaan yang sedih yang tidak disertai dengan notasi akord gitar.
Tetapi ada juga kecenderungan lain, yaitu sofistikasi. Jika bukan sentimentil, ada penyair kita yang menyiarkan puisi-puisi yang rumit (dirumit-rumitkan) dan penuh dengan permainan logika, sehingga terkesan seperti teka-teki silang saja. Risiko dari pilihan bentuk seperti ini adalah menghilangnya indvidu. Pernyataan sikap tentang kehidupan dikalahkan oleh permainan bahasa dan logika yang ekspresinya harus mematuhi hukum-hukum yang disepakati secara sosial dan ilmiah. Individu dalam perpuisian seperti ini menjadi tidak lebih dari sekadar "atom" dalam "kerumunan yang kesepian" karena masing-masing "atom" harus tunduk pada kesepakatan bersama untuk berhimpun menjadi molekul dan, pada akhirnya, massa. Dan massa, kita tahu, mengharamkan individu.
Ekspresi puitik yang penuh gelora dan mengafirmasi momen (hidup) masih kita butuhkan, agar kita sebagai indvidu tetap bisa menyatakan keunikan masing-masing. Mungkin dalam waktu dekat ini belum lagi ada sajak yang demikian. Tetapi pasti ada, walaupun hanya seorang, penyair yang akan mengingatkan masyarakatnya bahwa manusia adalah unik dan tak semestinya dihimpun sebagai massa yang anonim, bahwa keriangan hidup memang hanya dapat dirasakan dalam taraf pribadi dan individual. Dan untuk menikmati keriangan hidup itu, kuncinya hanya satu: carpe diem!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H