Semalam saya menghadiri ceramah takziah atas meninggalnya seorang kerabat di kampung halaman Kabupaten Bulukumba. Awalnya saya berniat untuk betah mendengar pencerahan seorang ustadz, tapi setelah menyimak detail materi yang disampaikan, saya bergegas pulang dengan alasan ada tamu yang datang dan menunggu di rumah.
Betapa tidak, saya sama sekali tidak tertarik dengan ceramah si ustadz yang melulu lebih mengedepankan aspek kelucuan, ketimbang mencerahkan. Bagi saya secara pribadi, membubuhkan aspek humor dengan maksud menghibur para hadirin, atau sekedar sebagai selingan, yah boleh-boleh saja. Terlebih bila maksudnya adalah menghibur keluarga almarhum yang masih dirundung duka, mengapa tidak.
Saya pun beberapa kali mendengar ceramah taksiah yang diselingi humor, dan membuat keluarga yang sedang berduka pun ikut-ikutan tertawa. Bedanya, ada memang penceramah tertentu yang menggunakan materi humor dengan cerdas, dalam arti tidak mengeksploitasi peristiwa-peristiwa yang tidak masuk diakal. Atau sekedar melucu, sehingga substansi yang ingin disampaikan tidak ada yang singgah dalam kepala hadirin.
Penceramah  semalam itu menurut saya lebih menonjolkan selera humor yang berlebih-lebihan ketimbang gagasan dakwahnya. Bahkan kalau mau jujur, pesan dan isi ceramahnya sebenarnya biasa-biasa saja. Si Ustads ini kebetulan saja punya kepiawaian mengolah kata, sehingga bagi sebagian orong menganggap isi ceramahnya itu luar biasa.
Yang paling menyedihkan adalah ketika si ustads seringkali mengambil sampel peristiwa fiktif layaknya gosip. Misalnya, memberi contoh kejadian tertentu mengenai perilaku buruk seseorang. Dalam menyampaikan perihal contoh tersebut, sang ustads terkesan seperti sedang bergosip. Memang pada satu sisi, materi-materi berbau gosip sangat disukai para pendengar perempuan. Apalagi yang hadir di takziah malam itu memang mayoritas perempuan. Saya menduga bahwa sang ustads ini memang sadar panggung, dan kalau itu benar adanya, maka dipastikan sang ustads berperilaku ria alias berniat untuk mendapatkan pujian atas keahliannya, ketimbang berbagi pengetahuan dengan tulus.
Saya juga menangkap beberapa bagian dalam ceramahnya yang menonjolkan kelebihan-kelebihan personalnya. Saya sulit menyimpulkan atas tujuan apa gerangan hal-hal pribadi seperti itu dihaturkan.
Saya akhirnya teringat di salah satu kabupaten di Indonesia yang mewacanakan bahwa ceramah jumat boleh diinterupsi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penceramah yang materinya berbau SARA, kadaluwarsa, atau lebih pada ajakan melulu pada aspek peribadatan secara vertikal saja.
Mari merenungkan bersama, berapa ratus masjid di Republik ini, yang hampir setiap hari dan setiap minggu menampilkan ceramah agama, tapi mengapa konflik-konflik sosial juga terus subur, perilaku masyarakat semakin konsumtif, sopan santun perlahan melenyap, dan korupsi menggunung. Apakah karena sudah terlalu parahkah bangsa ini sehingga kebanyakan warganya sudah tidak mendengar lagi? Atau jangan-jangan karena  materi ceramah yang tidak up to date dalam arti tidak hadir sebagai pencerahan solutif terhadap masalah bangsa? Sehingga wajar bila ada usul dari kalangan agamawan kritis agar ceramah jumat bersifat dialogis dan bisa diinterupsi.
Pendeknya, para pedakwah alias ustads  bukanlah sebuah profesi yang bisa digeluti karena kemampuan teknis seperti layaknya penyanyi. Sebab bila demikian, maka banyak orang yang dengan sedikit kemampuan pidato, ia bisa disulap menjadi usads dadakan. Layaknya akrobatik penjual obat yang dapat mengundang keramaian, atau komedian yang mengundang tawa-tawa. Naudzubillah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H