"Jakarta sudah nyaris tenggelam kakanda. Istana sudah digenangi air,"
Begitu kata kawan saya yang kebetulan seorang Jurnalis salah satu Koran Nasional. Lewat pesan BBM, ia pun mengirimkan foto hasil jepretannya sendiri yang menggambarkan bagaimana istana dikepung air. Wah, betapa malang nasib Ibu Kota Jakarta dan lebih malang lagi nasib warga yang tinggal di sana. "Serba salah kakanda, kita jadi tidak bisa berbuat apa-apa. kemana-mana jadi susah dan menderita," ucap kawan saya itu.
Jakarta memang semakin sulit menghindar dari banjir. Dengan cara (apapun) banjir pasti akan terus jadi benalu. Mengapa? Saya bukan ahli tata ruang kota, tetapi dengan memakai logika awam, bisa dijelaskan bahwa Jakarta selalu kebanjiran karena; (1) secara geografis daerahnya memang lebih rendah dari permukaan laut; (2) minimnya ruang terbuka hijau dan zona resapan air; (3) infrastruktur dan pembangunan fisik yang massif; (4) kepadatan penduduk; (5) perilaku warganya yang tidak ramah lingkungan.
Satu lagi, kawan saya sang jurnalis itu menambahkan, "dosa-dosa politik dan segala dosa lainnya berkubang di Jakarta". Ahhhaaa....! Saya cukup tergelitik dengan asumsinya ini. Selain sebagai pusat perputaran perekonomian, Jakarta memang menjuga pusat berkumpulnya segala macam tabiat manusia.
Jakarta sekaligus sebagai sarang penyamun, tempat beranak-pinaknya para penjahat dari kecil-kecil sampai yang kelas kakap. Saya teringat pesan sejumlah politisi beberapa tahun silam sesaat setelah Abraham Samad terpilih jadi Ketua KPK, "Hati-hati bung (Abraham), ini Jakarta kandang macan, bukan Makassar!"
Jangan-jangan ada hubungannya memang antara dosa-dosa yang bergelimpangan di Jakarta dengan bencana banjir. Nenek moyang di kampung saya dahulu (di Bulukumba) bila terjadi banjir akan berucap begini "Tuhan sedang mencuci bersih kampung kita, mungkin terlalu banyak dosa-dosa yang pernah terjadi."
Lalu, apakah banjir Jakarta sebuah peringatan atau sebuah kutukan? Entahlah! yang pasti Jakarta seperti "didinginkan" oleh hujan yang mengguyur lebat setiap saat. Banjir Jakarta melengkapi asumsi negatif terhadap ibukota bangsa besar ini yang sebelumnya sudah berlabel kota macet se dunia. Bahkan berstatus sebagai salah satu kota yang tidak aman se dunia. Lalu, kini jadi "kota mati" gara-gara ancaman banjir.
Kini, Jakarta menghadapi dua persoalan besar. Pertama, trend politik banjir. Banjir Jakarta membuat Ahok meradang. Kritik pedas dari mana-mana ditujukan padanya lantaran belum bisa menangani masalah banjir. Padahal, pada Pilgub DKI 2012 lalu, para kandidat termasuk Jokowi-Ahok sangat concern pada wacana banjir. Dan memastikan bahwa bila terpilih akan sanggup mengatasi masalah banjir ibu kota.
Masalah banjir Jakarta memang seringkali menjadi jualan politik dan warga Jakarta sudah sering terkena rayuan gombal. Saya khawatir, pada pergantian Gubernur Jakarta 3 tahun ke depan, akan ada lagi calon Gubernur yang memberikan janji manis. Faktanya, banjir Jakarta bukan hal mudah. Barangkali dibutuhkan strategi ekstra ordinary dalam hal penanganannya.
Kedua, soal banjir politik. Transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi sedang memasuki masa kritis. Konflik politik sepertinya sudah "mengotori" bumi Jakarta. Kebohongan demi kebohongan menggelinding ke sana kemari. Korupsi di republik ini berpusar dari Jakarta. Dinamika politik kita laksana banjir bandang yang memporak-porandakan.
Dan saya khawatir bahwa banjir Jakarta sungguh-sungguh adalah sebuah kutukan dari Tuhan. "Karena itu Ibukota harusnya dipindahkan ke Makassar, Kalimantan atau Sumatera," kata kawan saya Jurnalis itu. Tapi, dengan nada canda, saya menjawabnya "Ke mana pun ibu kota dipindahkan, itu akan jadi malapetaka bagi daerah yang dituju sebab di sana juga akan terjadi banjir POLITIK."