Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parodi “Omong Kosong” dalam Politik Indonesia

21 Februari 2015   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Kalau banyak yang pesimis dengan PEMBERANTASAN KORUPSI,

saya optimis. Itu mudah asal ada tekad pemimpin”

Kalimat di atas adalah statemen politik Joko Widodo sebelum ia menjadi Presiden. Belakangan ini, kalimat tersebut dipajang kembali di media sosial sebagai bentuk kekecewaan publik pada Presiden Jokowi.

Itu baru salah satu janji politik Jokowi yang terkesan ambisius, namun akhirnya terbukti tidak lebih dari sebuah “omong kosong” dan “fiktif” belaka. Presiden Jokowi dinilai lambat dan tidak memiliki langkah progresif untuk menghentikan sengkarut korupsi di Indonesia.

Seorang Daeng Ramma, supir pete-pete di Makassar melampiaskan kemarahannya dengan berkata “menyesalja pili’ Jokowi, pakaballi-ballisiji...” (saya menyesal pilih Jokowi, membuat hati kesal dan jengkel saja...). Pernyataan itu dilontarkan Daeng Ramma sambil meludah ke luar mobilnya berkali-kali saat diskusi soal tersangkanya Abraham Samad oleh Polda Sulselbar. Siang itu, diskusi politik tiba-tiba mengalir begitu saja layaknya di ruang akademis. Dan seorang “orang biasa” (meminjam frase Om Wimar Witoelar) sekaliber Daeng Ramma juga tahu bahwa Ketua KPK, Abraham, memang dipolitisasi oleh pihak tertentu.

“Semua juga tahu kalau kasus pemalsuan dokumen, teai masalah lompo (bukan masalah besar)” celoteh Daeng Ramma kesal. Sepertinya, ia pun sangat yakin bahwa ada kepentingan lain dibalik kemelut KPK dan Polri.

Sejak Jokowi jadi Presiden, obrolan politik memang menjadi pusat perhatian semua kalangan. Tidak hanya di kampus-kampus, warung kopi, atau diskusi di televisi, obrolan politik dapat ditemui di teras rumah, halte, pinggiran jalan, pasar, hingga di atas pete-pete.

Koruptor di mana-mana menyambut riang gembira atas kejadian di KPK dan Polri. Upaya pergantian pimpinan KPK, kini dipertanyakan, apakah sebagai upaya penguatan atau justru pelemahan terhadap institusi anti rasua itu? Presiden terkesan tidak mengambil langkah tepat dalam rangka pemberantasan korupsi, dan itu bermula ketika Presiden menunda hingga sebulan dalam kasus Budi Gunawan.

Lalu, apa mungkin Presiden Jokowi dapat merealisasikan agenda spektakulernya “revolusi mental”? Rasanya terlampau bombastis lagi agenda menggiurkan ini dibicarakan. Bahkan, agak mustahil rasanya membayangkan suatu Indonesia baru bila pemimpinnya tidak punya “keberanian” di atas rata-rata dalam menahkodai kapal oleng bernama INDONESIA.

Ini baru memasuki masa empat bulan pemerintahan Jokowi. Di satu sisi, rakyat sebagian besar mungkin masih memaklumi perjalanan rezim ini. Tapi, jika tidak ada tanda-tanda baik, apalagi bila dari waktu-waktu kepercayaan publik menurun, saya khawatir pemerintahan Jokowi akan menuai resistensi massal.

Semoga tidak! Karena itu, Jokowi harus mengatur kuda-kuda lebih sempurna lagi dalam mempersiapkan sebuah perjalanan waktu yang lebih lama dan lebih menantang. Paling tidak, Presiden Jokowi harus membuka kembali “file-file” lama yang pernah diucapkannya saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Jangan lagi terulang seperti saat ini, dimana publik akan mengingatkan Presiden tentang apa yang pernah dijanjikannya.

Jokowi harus membawa bangsa ini keluar dari zona negara yang mendekati failed state (negara gagal), atau dalam istilah Novelis Tere Liye “Negeri di Ujung Tanduk”. Bila dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dijelaskan tentang bagaimana politik tidak lebih dari suatu “bisnis” omong kosong yang menyerupai opera sabun mandi, maka Presiden Jokowi harus berjuang keras untuk membuat semacam Anomali Politik.

Jokowi harus membuktikan bahwa apa yang pernah dibuktikannya, dapat diwujudkannya. Dengan begitu, rakyat (dari Sabang sampai Merouke) akan sama-sama optimis tentang slogan “Indonesia Hebat”—bukan “Indonesia Lemah”. Sebuah negeri yang bermartabat dan tidak mengulang kesalahan-kesalahan secara berulang-ulang. Tidak mempolitisasi seseorang atas nama hukum dan ketaatan berbangsa.

Orang-orang seperti Daeng Ramma dan ratusan juta warga lainnya hanya ingin KEADILAN, KESEJAHTERAAN, DAN KEPASTIAN HUKUM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun