Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Abidin Wakur, Komunitas Tobonga dan Panggung Teater di Pedalaman

8 Oktober 2018   13:50 Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:31 3298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Anak anak muda desa yang tampil dalam pementasan

Ada stigma awam bahwa teater hanya mentas di ruang tertutup dibaluri tata ruang dan cahaya maksimal. Lengkap dengan penonton yang duduk empuk ibarat di gedung bioskop. 

Teater berpusar di kota-kota, aktornya (kebanyakan) orang-orang terdidik (sebagian mahasiswa seni sastra). Teater (seringkali) dimaklumi sebagai seni pertunjukan yang "terpisah" sebab hanya memantulkan pergolakan sosial dalam masyarakat. 

Bagi yang menyaksikannya, sekadar menikmati bahagia, mendapat inspirasi dan pesan dari sebuah kisah yang ditampilkan. Bila pertujukan selesai, penonton bubar dan kembali ke entitasnya masing-masing. Sebagaimana kelompok teater, aktor-aktor, dan crew nya yang merayakan kesuksesan dan kepuasan telah tampil memuaskan hasrat penonton.

Tidak selalu demikian, bagi seorang Abidin Wakur (44) seorang seniman dan sastrawan yang memilih pulang kampung menggagas panggung di pedalaman. 

Teater bisa dijadikan instrumen mengubah minset masyarakat. Tidak hanya itu, teater bisa dimasyarakatkan, sebagaimana masyarakat yang bisa diajak berteater. Ide dasarnya begitu.

Tentu, bukanlah perkara mudah. Selain berhadapan dengan masyarakat yang awam seni, ia juga berbenturan dengan stigma sosial dimana masyarakat masih meyakini bahwa aktivitas bermanfaat hanyalah yang dapat menghasilkan uang. 

"Berat membayangkan bagaimana memulai memperkenalkan teater di kampung," begitu Kak Abi (sapaan akrabnya) merenung. Terlebih, kehidupan Kak Abi yang hanya dikenal sebagai seniman.

(Dokumentasi Abidin Wakur dalam sebuah pertunjukan teater di desa Bonto Salama Sinjai)  
(Dokumentasi Abidin Wakur dalam sebuah pertunjukan teater di desa Bonto Salama Sinjai)  
Sebelum pulang ke kampung kelahirannya, Desa Bonto Salama Kecamatan Sinjai, Kak Abi memang lama merantau di Ibukota Jakarta. Nasibnya tidak sebaik perantau Bugis-Makassar lainnya yang biasanya pulang dengan kaya raya. Kak Abi pulang nyaris dengan tangan hampa. Tentu, tidak membanggakan bagi warga kampung yang senantiasa mengukur standar sukses dan keberhasilan dengan materi.

Tahun 2006, beberapa bulan setelah pulang dari rantau, Kak Abi lebih banyak menepi di desa Bonto Salama. Seperti seorang anak hilang, Kak Abi memulai menyambung ingatan dan hubungannya dengan keluarga, kerabat dan orang-orang yang dulu pernah dikenalnya. Banyak hal berubah di desanya.

Ruang perjumpaan mulai berkurang intesitasnya, karena sebagian orang menghabiskan waktunya di dalam rumah, menonton televisi. Anak-anak muda lebih sibuk balapan liar ketimbang berkumpul dan bercerita jenaka (sebagaimana dahulu). 

Kak Abi juga dikagetkan dengan pelbagai fenomena sosial di kampungnya seperti perkelahian, putus sekolah, pengangguran, bahkan pencurian yang menggurita.

Tanah yang dahulu subur dalam ingatannya, kini menghadapi masalah besar. Hama dan beragam masalah menghinggapi nasib petani. Pertanian mulai tidak bisa diandalkan warga desa. 

Harus diakui bahwa banyak warga yang taraf hidupnya meningkat karena bisa membeli kendaraan atau membangun rumah-rumah bagus. Tetapi, tidak sedikit juga yang memilih merantau ke negeri Jiran atau mem-buruh di kota-kota besar.

Perubahan drastis itu, di satu sisi disadari Kak Abi sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Waktu yang bergerak niscaya melahirkan perubahan. Tetapi, ada satu hal yang menyesakkan bathinnya yaitu hilangnya nilai-nilai kebajikan dan kearifan lokal (local wisdom).

Terjadi degradasi nilai yang sulit terbayangkan. Desa yang berada di pedalaman nan jauh dari hirup pikuk kota, di luar dugaan, anak-anak muda-nya telah berlakon sama dengan "anak-anak kota". 

Para generasi muda semakin sulit menghargai proses dan semakin lupa pada jati dirinya. Mereka lahir sebagai generasi yang karbitan dengan keadaan yang serba mudah dan praktis. 

Akhirnya mereka menjadi generasi yang takut menghadapi kerumitan-kerumitan hidup. (Tulis Abidin Wakur dalam bukunya "Filosofi Masalah" hal: 1-2).

Hal yang semakin mencemaskan Kak Abi, karena semakin banyak anak-anak muda yang ketagihan minuman keras dan gaya hidup senang-senang sesaat. 

Kampung sebagai benteng terakhir dimana etika dan nilai-nilai kehidupan dijunjung terancam ambruk. Kak Abi melihat ini sebagai masalah besar, masalah peradaban bangsa.

***

(dokumentasi Abidin Wakur) 
(dokumentasi Abidin Wakur) 
Kak Abi sudah berkomitmen untuk ikut andil melakukan perubahan dan penyadaran. Ia memilih seni sebagai sarana. Tahun 2006, di Desa Bonto Salama, bersama beberapa kawannya, Kak Abi mendirikan Sanggar Seni Sikamaseang. Di komunitas inilah, ia mulai memperkenalkan apa itu teater dan sastra. Awalnya kepada anak-anak muda yang secara psikologis lebih muda diajak komunikasi.

Demi, berbaur dengan masyarakat, Sanggar seni yang didirikannya juga dilibatkan untuk kegiatan kegiatan pertanian. Kak Abi dan beberapa anggota sanggar menanam beragam tanaman holtikultura. 

Dua tahun berjalan, usahanya gagal total. Kak Abi malah mengalami kebangkrutan bahkan harus berutang akibat beban modal bertani yang mencekik. Sebagaimana pameo, kegagalan adalah pengalaman berharga. Kak Abi sadar betul betapa ia terlampau lancang mengubah orang lain dan lingkungan, "sementara saya sendiri belum berubah," cetusnya

Sudah jatuh tertimpa tangga lagi, selain beban kegagalan, Kak Abi juga mendapat tertawaan dari masyarakat. Pil pahit yang harus ia telan. 

Sejak itu, Kak Abi memilih pergi meninggalkan kampung untuk kesekian kalinya. Tetapi, kali ini dengan kesadaran bahwa ia masih harus belajar banyak agar suatu saat dapat kembali seperti tentara dengan amunisi lengkap yang siap perang.

Memerlukan waktu bertahun-tahun berbenah. Kak Abi harus hidup terluntah-luntah, hingga suatu waktu dapat kesempatan bergabung di sebuah lembaga pendampingan. Di lembaga inilah Kak Abi banyak belajar. Terutama belajar manajemen organisasi dan model-model (best practise) membangun kelembagaan berbasis warga.

Pada awal tahun 2015, Kak Abi akhirnya memutuskan pulang kampung lagi. Walau berbekal pengalaman cukup, ia tidak lantas besar kepala. Kak Abi sadar bahwa pengalamannya di organisasi pendampingan plat merah dapat eksis karena ditunjang oleh pendanaan yang siap. Sementara, bila ber-komunitas di desa, tentu harus menanggung biaya sendiri.

(Abidin Wakur bersama Nirwan Arsuka dan para penggiat literasi di Sinjai) 
(Abidin Wakur bersama Nirwan Arsuka dan para penggiat literasi di Sinjai) 
Tepat pada 19 Juni 2015, Kak Abi (lagi-lagi) mencoba peruntungan dengan mendirikan komunitas yang dinamai KOMUNITAS TOBONGA. Istilah "Tobonga" dalam Bahasa Makassar berasal dari kata to yang berarti sosok dan kata bonga yang berarti jenaka. 

Jadi, secara leksikal, Tobonga berarti sosok jenaka. Selain berati sosok jenaka, Tobonga juga sebenarnya diyakini sebagai sosok yang memang pernah ada. Tobonga adalah seorang tokoh kampung dari masa silam yang berperan sebagai penyelenggara sara' (penyelenggara agama). 

Tokoh Tobonga sangat melegenda di Desa Bonto Salama dan sekitarnya karena dianggap berjasa oleh masyarakat. Pelbagai peninggalan Tobonga pun masih bisa dinikmati warga desa antara lain; pancuran, sumur hingga pohon durian. Nama Tobonga diambil, karena memiliki makna kuat yakni memberikan solusi pada masyarakat dengan gaya jenaka.

Kali ini, Kak Abi mengarahkan agar komunitas ini sungguh-sungguh berbaur dalam masyarakat. Jadi, core awalnya adalah komunitas ini hadir semacam forum informal yang mengagregasi masalah-masalah kemasyarakatan. 

Langkah pertama, mereka melakukan pemetaan (mapping) terkait masalah yang terjadi khususnya di Desa Bonto Salama. Dari hasil pemetaan itulah, Komunitas Tobonga melahirkan aksi-aksi strategis bersama-sama dengan masyarakat.

(Anak anak muda desa yang tampil dalam pementasan
(Anak anak muda desa yang tampil dalam pementasan
Komunitas Tobonga Membahana

Sebetulnya, komunitas Tobonga ini adalah kelanjutan dari jejak komunitas yang sebelumnya dibuat yakni Sanggar Seni Sikamaseang. Hanya namanya saja yang diubah, dengan harapan ada paradigma baru yang mulai dibangun.

sebagai bentuk evolusi dari komunitas ini, Komunitas Tobonga membentuk empat kelompok atau semacam pembagian fokus kegiatan yakni; (1) Sanggar Seni dan Budaya Tobonga; (2) Kelompok Pemuda Tani Tobonga; (3) Sikola Budaya Tobonga; (4) Kelompok Usaha Bernama Tobonga. Jadi, ke empatnya menggalang anggota komunitas sesuai minat dan potensinya masing-masing.

Kelompok pemuda Tani Tobonga, mewadahi kecintaan anak-anak muda pada pertanian. Di komunitas inilah, anak-anak muda dimotivasi untuk menjadi petani. Komunitas Tobonga ikut bercocok tanam secara berkelompok. Visi utamanya adalah bagaimana tumbuh kecintaan terhadap dunia pertanian sebagai sebuah potensi besar di desa.

Kelompok Usaha Tobonga, menampung bakat dan skill anak-anak muda kampung yang selama ini tidak tersalurkan. Mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama (Kube) Tobonga.

Sejauh ini, berbagai kegiatan telah mereka lakukan seperti bengkel, las, pembuatan kursi sofa, variasi jok mobil dan lainnya. Sekadar informasi, sudah ada anggota komunitasnya yang mulai mandiri dengan mendirikan usaha sendiri.

Sementara sikola Budaya Tobonga dijadikan kelompok belajar budaya. Pesertanya adalah anak-anak remaja. 

Mereka belajar tentang budaya lokal dan bagaimana mengolah nilai-nilai lokal yang otentik seperti mengeq (ketelatenan), sabbaraq (kesabaran), parrang (kuat mental), assibali'i (gotong royong), gattang (teguh pendirian) dan nilai-nilai lokal lainnya. Dari belajar kearifan lokal, anak-anak muda itu diharapkan memiliki karakter kuat serta etos kerja bertanggungjawab di lingkungan sosialnya.

(cover buku Filosofi Masalah diterbitkan P3i Press 2018)
(cover buku Filosofi Masalah diterbitkan P3i Press 2018)
Nah, bagaimana dengan Sanggar Seni Budaya Tobonga. Komunitas ini concern mengolah bahkat seni anak-anak remaja dan masyarakat. Melalui teater, Komunitas Tobonga telah mengharumkan nama baik desa Bonto Salama. 

Awalnya, aktivitas Kak Abi dicemooh warga karena sering berlakon seperti "orang sinting", berteriak-teriak di pematang sawah. Padahal,  mereka sebetulnya sedang belajar "olah vokal"---latihan inti dari pemain teater.

Menariknya, latihan teater melibatkan anak-anak dan warga dari semua profesi tanpa harus melihat latar belakang pendidikannya. Kak Abi, sangat tekun melatih mereka. 

Sebagai seorang aktor kawakan dan penyair, Kak Abi memang punya pengalaman di kampus dan sejumlah kelompok teater. Panggung pementasan pun diciptakan yang awalnya secara swadaya, sekadar menghibur warga desa.  

Dari remaja yang bandel, pembalap liar, bahkan seorang remaja yang akrab disapa pepe (tuna runggu) juga jadi aktor teater. Mereka berbaur melakonkan pelbagai naskah dengan konten performance yang jelas yakni mencerahkan warga dengan jenaka.

Walhasil, mereka disulap layaknya pemain teater jagoan. Mereka percaya diri. Pementasan tahunan di tingkat Kabupaten Sinjai, tiga tahun berturut-turut sejak 2015, dimenangi Komunitas Tobonga. 

Komunitas Tobonga juga berhasil mendapat Hibah Cipta Perdamaian dari Yayasan Kelola (2018). Dengan bantuan Kelola, Komunitas Tobonga mementaskan "Teater Pematang Sawah" di desa Bonto Salama---sebuah pementasan yang mengangkat masalah petani. 

Pementasan ini mendapat respon positif dari stakeholders pemerintah Sinjai dan terutama masyarakat. Kebanggaan yang luar biasa, tidak saja karena nama Bonto Salama yang terus berkibar, tetapi karena adanya perubahan karakter dari anak-anak muda di Komunitas Tobonga.

Anak-anak nakal, pelan-pelan berubah menjadi baik dan mau belajar. Seorang pepe yang tidak ingin disunat padahal sudah beranjak dewasa akhirnya bisa disunat berkat teater. 

Dari waktu ke waktu, semakin banyak anak-anak muda yang tertarik bergabung di Komunitas Tobonga. Energi positif mulai menyala di pedalaman. 

Sebuah rumah sederhana berhasil dibangun secara gotong royong dan dijadikan sebagai markas berkegiatan. Di situ juga ada Taman Baca. Jadi, anggota komunitas dapat berkumpul setiap saat, membaca, dan berdiskusi. Teater jalan terus.

Belum lama ini, Komunitas Tobonga memenangi sebuah perlombaan teater bergensi di tingkat Provinsi Sulawesi-Selatan (18-19 September lalu). Komunitas Tobonga pun berhak mewakili Sulawesi-Selatan ke tingkat nasional yang akan mentas di Banten pada 29 November mendatang.

Desa kecil pedalaman bernama Bonto Salama yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Kabupaten Sinjai kini terus jadi bahan perbincangan. Komunitas Tobonga menginspirasi banyak orang, bagaimana teater bisa mengubah cara pandang masyarakat. 

Warga desa Bonto Salama, setidaknya paham tentang teater. Anak-anak desa mulai berbangga hati bila berkomunitas di Tobonga. Para stakeholder desa juga mulai aktif melibatkan Tobonga dalam pembahasan masalah-masalah kemasyarakatan.

Kak Abi telah menapaki jalan terjal berkesenian, tetapi ia sukses memanen kebaikan demi kebaikan.  Sebuah buku berjudul "Filosofi Masalah" (Kearifan-Kearifan Komunitas Tobonga dalam Menyelesaikan Masalah) terbit Januari 2018 lalu ditulis Kak Abi. 

Di buku inilah kisah inspiring mengenai perjalanan penuh liku Kak Abi dan Komunitas Tobonga dibicarakan. Saya termasuk yang terpesona membacanya, tidak saja karena akhirnya paham tentang Komunitas Tobonga, tetapi juga saya paham tentang perlunya kegigihan dalam berjuang. 

Tak ada masalah tanpa masalah, semua harus dihadapi dengan bersikap wajar dan tenang. Ini prinsip yang ditanamkan Kak Abi pada dirinya (yang narasi cintanya juga lumayan cadas) juga pada komunitasnya.

Semua akhirnya berbangga bisa menjadi bagian dari Komunitas ini. Sebuah kaos bertuliskan judul pementasan terbarunya laris manis di pasaran. Seperti mimpi seorang Abidin Wakur pada anak-anak kampung: "suatu saat semua orang akan membicarakan dan akan berbangga bila memakai hal-hal yang berbau Tobonga".

 Ini sudah terwujud. Tentu, yang terberat adalah merawat dan mempertahankannya. Apa pun itu, Tobonga telah menginspirasi, bahwa seni dapat dijadikan sarana berjuang. 

Khususnya teater, semestinya mendirikan panggung di pusat persoalan masyarakat (di desa misalnya), tidak justru hanya mendehem di ruang empuk dengan bayaran menggiurkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun