Dinamika di internal Partai Golkar memasuki babak baru pasca keluarnya putusan sela dari PTUN yang mengabulkan gugatan kubu Aburizal Bakri. Dengan demikian, Partai Golkar secara legal kembali ke tangan Aburizal Bakri sampai ada proses hukum tetap selanjutnya.
Kubu Aburizal Bakri pun bergerak cepat dengan mengumpulkan seluruh pengurus DPD se-Indonesia di Jakarta (Kompas, 8/4). Tentu, sebuah kesempatan besar bagi Aburizal Cs untuk mensolidkan seluruh kader khususnya di daerah yang sebelumnya bercerai-berai.
Apakah ini akan menjadi babak akhir dari sengketa internal Golkar? Menarik mencermati manuver Aburizal yang mewacanakan bakal bergabung dalam pemerintahan Jokowi-JK. Sikap politik Aburizal tersebut, jelas sebuah langkah politis untuk mengimbangi progres politik kubu Agung Laksono.
Aburizal Bakri jelas sedang membangun “bargaining position” terhadap kekuasaan. Ini semakin menguatkan opini publik bahwa akar konflik di internal Golkar tidak lain karena terjadinya pembelahan orientasi politik—antara elit yang tidak siap berada di luar jalur pemerintahan dengan elit yang masih menaruh dendam kesumat karena kalah di Pilpres 2014.
Partai Golkar memang tidak sanggup mengambil jarak dengan kekuasaan. Metamorfosa Golkar di bawah kendali Aburizal yang sebelumnya berada di lingkaran Koalisi Merah Putih, tentu akan melahirkan gejolak baru. Pertama, memungkinkan terbangunnya konsolidasi internal Golkar karena sudah terjalin kesepahaman orientasi politik. Kedua, pembelotan Golkar dipastikan akan berdampak pada konfigurasi partai pendukung pemerintahan.
Konsolidasi internal Golkar semestinya berjalan cepat pada saat Golkar benar-benar memastikan diri berada dalam pemerintahan. Hal yang paling menarik dicermati, tentu soal bola panas di kabinet Jokowi-JK di tengah menguatnya wacana reshuffle kabinet. Sebagai partai berpengalaman, Golkar seperti telah menyiapkan langkah politik baru sebagai partai pendukung pemerintah.
Reshuffle Kabinet
Wacana reshuffle semakin sulit terhindarkan sebagai bola efek dari evaluasi kinerja kementerian. Persoalannya, apakah momen reshuffle sudah tepat saat pemerintahan Jokowi-JK masih seumur jagung? Memang ada sejumlah kementerian di Kabinet Kerja yang belum sepenuhnya menunjukkan agresivitasnya, tetapi belum sepenuhnya bisa dipastikan apakah ada korelasinya dengan kapasitas menterinya atau karena ada kendala kelembagaan dan sebagainya.
Kalau ukuran kinerja, reshuffle semestinya belum dilakukan Presiden Jokowi secara dini. Yang mengkhawatirkan tentu bila Presiden Jokowi secara terpaksa merombak kabinet untuk tujuan perimbangan politik. Bukan mustahil ini dilakukan, mengingat sejumlah beban berat sedang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK antara lain; pengangkatan Kapolri yang belum terang-benderang, maupun menguatnya resistensi publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Betapa pun, Presiden Jokowi memerlukan dukungan partai secara dominan. Tidak melulu berharap banyak dengan partai pengusung. Presiden Jokowi tentu sudah belajar banyak di seratus hari pemerintahannya, bagaimana tekanan yang berlebihan dari partai pendukung justru membahayakan posisi dan keputusan politiknya.
Di sinilah Partai Golkar memiliki persinggungan politik dengan pemerintahan Jokowi-JK. Golkar bisa mengisi sejumlah titik lemah pemerintahan khususnya dalam dukungan politik di parlemen. Kehadiran Golkar tentu harus dibayar mahal oleh Presiden Jokowi dengan memberi jatah kursi menteri.
Menarik kita tunggu apakah wacana reshuffle kabinet akan memasukkan Golkar sebagai bagian dari partai pendukung, sebab agak sulit membayangkan ada inklusi dalam politik tanpa balas jasa. Lalu, partai manakah yang akan tergeser? Atau jangan-jangan, ada pos kementerian yang sebelumnya diisi oleh professional, kembali akan ditempati politisi perpanjangan partai.
Koalisi Baru
Perubahan sikap politik Golkar akan melahirkan suatu koalisi baru di pemerintahan. Di luar kekuasaan, bila Golkar membelot dari Koalisi Merah Putih, jelas akan melemahkan barisan opisisi secara politik. Walau begitu, barisan oposisi akan semakin solid dengan komposisi yang lebih sedikit. Dalam demokrasi yang cenderung liberal, kelompok opisisi yang minoritas justru akan mendapatkan dukungan kuat dari preassure group.
Barisan oposisi yang lebih minoritas dari kelompok penguasa diharapkan berjalan stabil agar bisa lebih fokus menjadi penyeimbang di parlemen. Di sisi lain, kekuasaan yang didukung oleh partai yang lebih dominan tidak lagi menghadapi tarikan politik yang terlampau kuat di parlemen. Dengan begitu, seluruh agenda pemerintahan dapat berjalan baik sebagaimana yang dijanjikan pada saat Pilpres lalu.
Apa pun itu, metamorfosa Golkar dalam pemerintahan bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Partai Golkar memang sudah terbiasa berada dalam pusaran kekuasaan karena memiliki struktur kader yang kuat dan mayoritas sebagai eksekutif di daerah.
Menjelang Pilkada serentak 2015 mendatang, Partai Golkar tentu punya ambisi besar untuk memelihara dominasinya di daerah. Dan itu bisa berjalan mulus bila orientasi Partai Orde Baru ini sejalan dengan pemerintahan yang sedang berjalan. Kita lihat saja nanti!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H