Konsep behaviorisme berkembang pesat pada tahun 1960-1970-an. Paham ini sangat menarik untuk dilihat dalam hubungannya dengan politik dan kekuasaan.
Mengapa pembicaraan mengenai behaviorisme ini penting untuk dibicarakan kembali? pertama, pengaruhnya yang sangat besar dalam memahami kekuasaan; kedua, perdebatan ini berkisar pada beberapa isu yang paling sering diperdebatkan dalam konseptualisasi kekuasaan dalam teori politik. Isu-isu tersebut antara lain agensi politik, representasi kepentingan, dan hubungan pemimpin politik dengan khalayak (voter).
Robert Dahl seorang pemikir demokrasi kemudian menemukan dua hal yang menjadi ciri dari behaviorisme yakni; individualisme metodologis dan empirisisme. Individualisme metodologis menyangkut fenomena pengambilan keputusan: siapa yang membuat keputusan politikdan seberapa berpengaruh atau seberapa kuat keputusan itu? Artinya, apakah keputusan politik terpusat di tangan sejumlah orang (para elit) ataukah tersebar di lembaga-lembaga politik?Masalah pertama terkait dengan pengadopsian kaum behavioris terhadap model sebab-akibat yang mendasari pendekatan pembuatan keputusan yaitu bagaimana peristiwa-peristiwa –dipahami sebagai konflik kepentingan yang manifest—menghasilkan akibat-akibat kausal. Sifat individualistik berarti ada proses isolasi perubahan perilaku dan menempatkan kekuasaan di dalam perubahan-perubahan ini. Bersifat empirisis karena hanya perubahan-perubahan yang teramati dan dapat dilacak sampai pada keputusan saja yang dapat dikatakan sebagia kekuasaan.
Dalam perjalanannya, titik fokus yang menarik untuk dilihat adalah konteks dimana kekuasaan itu dijalankan. Kekuasaan juga bisa dilihat semacam mekanisme penyusun (structuring mechanism) yang belum tentu selalu dapat diamati. Ketika dipahami demikian, model sebab akibat dianggap tidak layak karena dia mengetengahkan gambaran cara kerja kekuasaan yang reduksionistik.
Isu kedua berkaitan dengan relasi antara kekuasaan dan politik adalah sifat dasar agensi, terutama agensi politik, dan bentuknya dalam pertarungan politik kekuasaan melawan representasi kepentingan dalam lokasi politik yang sah. Poin penting disini adalah makin terkontekstualisasinya kekuasaan berlangsung beriringan dengan politisasi relasi-relasi sosial, yang membuat asumsi bahwa politik selalu terkait dengan tubuh pemerintahan menjadi tidak bisa diterima.Hubungan antara kekuasaan dan politik menunjukkan bahwa agensi politik tidak bisa diterima mentah-mentah, misalnya, dengan mengacu hak-hak konstitusional, tapi justru ditandai oleh perjuangan kekuasaan terus menerus, di mana agen, kepentingan dan isu diorganisir di dalam maupun di luar institusi politik.
Berhubung Artikel ini panjang, maka saya turunkan dalam beberapa bagian......(simak bagian berikutnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H