Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berjibaku dengan “Limbah Medis” demi Lingkungan dan Kemanusiaan

27 Januari 2015   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



satu hal yang paling menyenangkan yakni ada ratusan pemulung yang berhasil terselamatkan dari edukasi yang kami lakukan terkait bahaya limbah medis.

(Amrul Sadik Daga)

Bayangkan kalau limbah rumah sakit dibuang begitu saja layaknya sampah pada umumnya? Tentu akan mengancam manusia dan lingkungan. Dampaknya tidak main-main, selain pencemaran—penularan berbagai penyakit akan menjadi problem serius.

Itu karena limbah medis dalam bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas mengandung mikroorganisme pathogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif (Dinkes, 2006). Sebagai orang yang bekerja di institusi kesehatan, Amrul Sadik memahami betul bahwa perlu suatu upaya serius untuk menangangi potensi sistemik yang bisa ditimbulkan dari limbah medis.

Sayangnya, di kota Ternate, tempatnya lahir dan bekerja, ia melihat limbah medis terbuang serampangan. Pria kelahiran 20 Februari 1975 ini, kemudian merasa terpanggil untuk bekerja swadaya mengurus limbah berbahaya tersebut secara benar.

Bukan hal mudah, selain harus berjibaku dengan benda-benda yang bisa berbahaya bagi dirinya sendiri—stigma negatif sebagai pemulung tentu bisa mencoreng harga dirinya. Ditambah lagi dengan statusnya sebagai PNS, tentu akan menjadi bahan pergunjingan banyak orang. Namun, Amrul tidak peduli, show must go on!

Pekerjaan itu dimulai sejak tahun 2001, setahun setelah dirinya diterima sebagai PNSyang ditempatkan di salah satu Puskesmas di kota Ternate. Sebenarnya, di Puskemas dimana Amrul Bekerja terdapat fasilitas incinerator, tapi mesin itu tidak pernah dioperasikan. “incinerator di Puskemas pun akhirnya rusak karena lama tidak digunakan. Itu karena tidak ada biaya untuk operasionalnya. Limbah medis pun dibuang sembarangan, dan saya merasa sangat prihatin dengan hal itu,” kata Amrul.

Amrul bergerak sendiri tanpa ada instruksi dari siapa pun. Sebuah sepeda motor tua menemaninya, bergerak sendiri dari Puskesmas ke Puskesmas, klinik maupun Rumah Sakit Umum. “Saya memunguti limbah itu dengan hati-hati, mengumpulkannya, lalu membawanya ke Puskesmas Siko yang incinerator-nya

[caption id="attachment_348230" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Amrul Sadik Daga dan Anaknya"][/caption]

[caption id="attachment_348232" align="aligncenter" width="334" caption="foto diambil Anis Kurniawan"]

1422334744860135818
1422334744860135818
[/caption]

beroperasi.” Jelasnya prihatin.

Karena banyaknya limbah yang terkumpul dari seluruh Puskesmas di Kota Ternate, incinerator di Puskesmas Siko akhirnya kewalahan juga. Pada tahun 2003, incinerator di Siko pun mengalami kerusakan vatal. Amrul sempat khawatir, karena dari waktu ke waktu volume limbah medis terus bertambah. Seperti pribahasa klasik, tak ada rotan akar pun jadi—Amrul kemudian mencari jalan keluar dengan membuat lubung di atas gunung di kelurahan Marikrubu. Ia menyusuri jalan menanjak itu setiap saat, selama kurang lebih setahun. “Jadi, limbah medis saya masukkan dalam lubang lalu ditutup rapat-rapat, setidaknya jauh lebih aman” terangnya.

Meng-edukasi Pemulung

Selain mengurusi limbah medis, Amrul juga merasa terpanggil untuk meng-edukasi para pemulung agar tidak bersentuhan langsung dengan limbah medis. “Saya memang selalu menyampaikan pada para pemulung di Kota Ternate bahwa limbah medis itu sangat berbahaya. Karenanya, harus dipungut dengan hati-hati. Sejak saat itu, banyak pemulung yang tidak berani lagi mengambil limbah medis di rumah sakit.” Katanya.

Berkat pencerahan dari Amrul, para pemulung yang beroperasi di TPA pun sudah selektif dalam memilah sampah. “Bahkan, kalau ada kendaraan yang membuang limbah medis, para pemulung biasanya takut mendekat dan langsung melaporkannya kepada saya. Apalagi kalau sempat melihat ada jarum suntik berserakan, para pemulung biasanya langsung lari dan menyampaikan pada saya. Itu karena saya memang sudah tekankan pada mereka bahwa ada ancaman HIV AIDS yang bisa tertular dari jarum-jarum suntik itu,” ungkapnya.

Pada tahun 2004, pria yang menyukai renang ini harus melanjutkan pendidikan Diploma III di Poltekes Manado. Selama dua tahun meninggalkan kota Ternate, limbah medis pun terbengkalai lagi. Konon, Puskesmas dan Rumah Sakit kembali membuang limbahnya di TPA umum. Untungnya, Amrul pernah memberi edukasi kepada para pemulung, sehingga ia tidak perlu cemas ada pemulung yang jadi korban penyakit menular. “Ada sekitar 162 pemulung di Kota Ternate yang Alhamdulillah terselematkan dari bahaya limbah medis dengan pencerahan-pencerahan yang kami berikan setiap saat,” tambahnya.

Selama proses studi di Poltekes, Amrul sangat concern mempelajari segala perihal terkait limbah medis dan penanganannya. Harapannya tentu agar ilmu yang didapat di bangku kuliah dapat diterapkan setelah kembali ke Ternate.

Pada tahun 2006, proses studinya pun selesai. Amrul kembali ke Ternate dan kebetulan dirinya ditempatkan di Dinas Kesehatan Kota Ternate. Di sanalah, Amrul punya kesempatan lebih banyak untuk mengamati perkembangan limbah medis di semua intitusi kesehatan.

“Begitu tiba di kota ternate, saya langsung keliling Puskesmas dan Rumah Sakit. Dan saya kaget melihat limbah medis bertebaran di mana-mana. Bahkan, saya melihat bekas-bekas jarum suntik terdampar di sana-sini.” Imbuhnya.

Parahnya lagi, incinerator tidak ada yang beroperasi saat itu. Amrul pun terpaksa mengangkut limbah medis tersebut ke TPA yang jaraknya cukup jauh. Di sana, limbah medis terpaksa ia musnahkan secara manual dengan membakarnya pakai minyak tanah.

Setiap seminggu sekali, Amrul mengumpulkan limbah medis sendirian. Dari waktu ke waktu, volume limbah bertambah sehingga Amrul pun sangat kerepotan saat pemusnahan limbah. Amrul pun mengkonsultasikan keluhannya tersebut di Dinas Kesehatan dan menyampaikan bahwa limbah medis tidak bisa dimusnahkan secara manual. Walhasil, bersama rekannya, ia pun membuat proposal pengadaan incinerator ke Pemerintah Kota.

Pada tahun 2008, melalui Pemerintah Kota, sebuah incinerator yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang. Persoalannya, tentu pada pembiayaan operasionalnya, sebab tidak ada anggaran khusus untuk itu. Namun, Amrul memang tidak pernah kehabisan akal. Ia membuat kerjasama dengan beberapa laboratorium, Puskesmas maupun Rumah Sakit. Caranya adalah dengan menetapkan pembiayaan pengambilan limbah. “Mereka sepakat berkontribusi secara swadaya sebesar Rp. 10.000 per liter khusus untuk limbah cair,” jelasnya.

Masalah berikutnya pada akomodasi limbah yang semakin besar volumenya. Kendaraan roda dua yang dahulu dipakainya, sudah tidak memadai. “Limbah sudah harus diangkut dengan mobil karena ada tambahan limbah dari sejumlah laboratorium.” Amrul pun terpaksa meminjam mobil Posyandu. Sayangnya, mobil tersebut sewaktu-waktu harus dikembalikan, karena dipakai pula untuk kegiatan lain. Sekali waktu, Amrul pernah mencoba meminjam mobil untuk program Malaria, namun tidak diizinkan. Dalam situasi seperti itu, Amrul terpaksa men-siasatinya dengan sewaktu-waktu tetap menggunakan kendaraan bermotor apabila tidak ada mobil yang bisa dipinjamnya.

Sebuah Ambulance dan Dua Kawan

Pada tahun 2010, Amrul mendapat bantuan mobil ambulance dari Dinas Kesehatan. Sebuah mobil tua yang “surat-surat-nya” sudah “mati” sejak tahun 2010. Untungnya, pada bagian samping mobil tersebut ada lambang Biohahasard sehingga mobil itu bebas beroperasi tanpa harus terkena tilang.

Mobil itulah yang dipakainya beroperasi hingga sekarang. Dengan sedikit modifikasi, mobil itu dapat digunakan membawa limbah medis. Usulan ke pemerintah setempat agar ada bantuan tenaga operasional akhirnya terpenuhi juga. Hasyim dan Jabbar, keduanya sebenarnya berprofesi sebagai tukang ojek keliling. “Keduanya khusus diperbantukan pada pekerjaan saya ini dan cukup membantu,” tambahnya.

Dengan gaji dibawah standar yakni sekitar lima ratus ribu rupiah, keduanya membantu Amrul mengumpulkan limbah medis untuk dimusnahkan. Pekerjaan memang sedikit lebih berat belakangan ini sebab mereka juga berurusan dengan limbah cair dari sejumlah laboratorium.

Apakah Amrul akan selamanya berjibaku dengan limbah medis? Ia mengaku, perannya ini sangat istimewa. Dan ia merasa senang dapat berbuat untuk lingkungan dan kemanusiaan. Berkat perannya pula, pihak Puskesmas dan Rumah Sakit kini sudah bisa memilah limbahnya masing-masing. Jadi, Amrul dan dua rekannya tinggal angkut. Tidak lagi seperti dulu-dulu, dimana ia akan memilah terlebih dahulu di setiap Puskesmas.

Amrul juga cukup terbantu dengan kontribusi setiap Puskesmas, laboratorium dan rumah sakit yang sudah rela membayar biaya pengambilan limbahnya. Sekalipun, kalau mau jujur, pemasukan tersebut belum sebanding dengan tenaga yang harus digunakan. “Kalau mau memasang tarif yang ideal, maka tidak satu pun rumah sakit dan Puskesmas yang sanggup membayar,” jelasnya.

Amrul mencontohkan, tarif ideal untuk Rumah Sakit besar, paling tidak di kisaran 3-4 juta per bulan. Faktanya, pihak Rumah Sakit misalnya hanya mampu membayar sekitar 300 ribu per bulan. Bahkan, ada institusi lain yang hanya mampu membayar 50 ribu per bulan. Dilema tersendiri tentunya, di satu sisi, Amrul tidak ingin melihat limbah medis terbengkalai. Namun, di sisi lain, ia dan dua rekannya harus merasakan beban tersendiri.

Satu hal yang selalu membuatnya tegar menjalani aktivitasnya yakni ketulusan. Amrul ingin berbuat untuk kemanusiaan dan lingkungan, itu saja—tidak lebih. Pada tahun 2014, baru-baru ini, Amrul menerima penghargaan Kalpataru kategori peduli lingkungan. Penghargaan tersebut semakin memacu semangatnya untuk terus berjuang di bidangnya.

Amrul kini harus menjalani dua pekerjaan sekaligus; sebagai PNS dan sebagai “pemulung”. Ia tidak merasa malu kalau orang-orang menyebutnya sebagai “pemulung”. “Yah, memang saya pemulung, mau bilang apa lagi?” ucapnya tertawa.

Kontribusi Amrul di bidang kesehatan dan lingkungan belakangan terdengar ke mana-mana bahkan ke dunia internasional. Medio 2014, tim dari WHO sudah mengunjunginya. Kabarnya, Amrul Sadik termasuk sebagai kandidat penerima salah satu penghargaan bergensi: Sasawa Award 2015.

“Insyaallah kalau dapat penghargaan dari WHO yang katanya ada dana pembinaannya yang cukup besar—saya akan membeli incinerator. Saya akan menghibahkan dana itu untuk pengelolaan limbah medis di kota Ternate,” jawabnya tulus. (AK)

BIODATA SINGKAT

Nama Lengkap: Amrul Sadik Daga, SKM

Tempat Tanggal Lahir: Ternate, 20 Februari 1975

Pendidikan: D I Kesehatan Lingkungan

: D III Poltekes Manado

: S I Kesehatan Masyarakat UVRI Makassar

Isteri: Rini Mahdah (43)

Anak: 1. Ibnu Sutan Gaffar (14)

: 2. Ummu Umairah A (8)

: 3. Putih Bio Hasard (1)

Penghargaan: 1. Kalpataru

: 2. Kandidat Penerima Sasawa Award 2015 dari WHO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun