Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Negara "Weak State" Akut, Benarkah?

10 Februari 2015   16:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara sebagai sebuah sistem juga bisa dibaca sebagai sebuah bangunan kompleks dengan dinamika dan problematika yang melingkupinya. Bagaimana negara itu mengelola sistemnya? Bagaimana Negara itu menjawab kebutuhan dasar seperti pelayanan publik, kesejahteraan dan keamanan rakyatnya? Serta bagaimana Negara itu mengontrol konflik-konflik antar aktor baik di tingkat society maupun Negara itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus menjadi tugas sebuah Negara dalam mempertahankan eksistensinya.

Kemampuan Negara mengelola perannya dalam menyatukan berbagai kepentingan society dan pemenuhan hak-hak warganya dapat dilihat dalam hal memahami keberhasilan sebuah Negara. Lalu, dapat dilihat lebih jauh bahwa Negara bisa dikategorikan dalam empat cirri-ciri besar antara lain: Strong state, weak state, failed state dan koleps state.

Weak State dan Indikatornya

Kami akan spesifik melihat salah satu diantara ciri itu yakni weak state (Negara lemah). Dalam posisi bagaimana sebuah Negara dikategorikan lemah (weak)? Robert Rotberg dalam papernya (Nation-State Failure: A Recurring Problem ) menyebutkan bahwaWeak Statesadalah Negara yang pada umumnya memiliki ciri ciri sebagai berikut: (1) Negara tersebut heterogen (multikultur) dalam arti memiliki perbedaan suku, agama, bahasa dan perbedaan lainnya, tetapi heterogenitas itu kemudian menjadi penghambat pembangunan. (2) Meretasnya konflik secara terbuka. (3) Fenomena korupsi sudah menjadi budaya. (4) Hukum tidak ditegakkan karena adanya kekuatan-kekuatan yang lebih dominan sehingga ketidakadilan hukum berkembang pesat. (5) Negara mem-privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan. Beberapa Negara yang termasuk kategori weak state menurut Robert Rotberg adalah Irak, Belarus, Korea Utara dan Libia.

Sementara menurut Sorensen, Negara bisa disebut lemah apabila komunitas lokal lebih dominan daripada komunitas nasional. Loyalitas masyarakatnya lemah kepada Negara. Legitimasi pemerintah pun sangat rendah. Hal lainnya adalah korupsi yang merajalela dan inefisiensi pemerintahan juga terjadi. Aturan yang berlaku lebih berupa kekerasan daripada aturan hukum, serta semua orang bisa melakukan tindakan kekerasan dan ditandai dengan kebebasan memegang senjata.

Weak state bisa dipahami sebagai ketidakmampuan Negara mengelola berbagai persoalan yang berkembang dalam sistem bernegara. Hal tersebut berdampak pada melemahnya trust masyarakat terhadap Negara yang disebabkan oleh supremasi hukum yang tidak ditegakkan seperti disebutkan Robert dan Sorensen. Weak state sesungguhnya berpotensi menjadi strong state ketika rekonstruksi dilakukan dengan menata ulang sistem dan mengelola potensi-potensi yang ada sebagai modal yang justru menguatkan Negara tersebut.

Kalau kita mengamati lebih dalam pengkategorian Robert dan Sorenses tentang weak state, maka sesungguhnya ada relasi kuat antara ciri satu dengan ciri lainnya. Ketika salah satu cirri, misalnya saja soal supremasi hukum yang lemah maka bisa berimbas terbukanya potensi konflik akibat menguatnya kelompok-kelompok yang tidak percaya dan tidak peduli hukum. Elit-elit politiknya bisa dengan muda melakukan praktik korupsi karena tidak ada hukum yang bisa dijadikan upaya pencegahan dan penanganan kasus korupsi. Dengan demikian, jika salah satu dari indikator di atas terjadi, konflik misalnya maka bisa dipastikan akan berdampak pada kemungkinan terjadinya (bermunculannya) persoalan lainnya. Dan Negara tersebut bisa dikategorikan lemah.

Apakah Indonesia tergolong Wake State?

Setelah melihat indikatorNegara yang tergolong weak state, maka pertanyaannya apakah Indonesia juga termasuk?

Sebagai Negara dunia ketiga, Indonesia sedang berada pada proses pembangunan demokrasi, tentu saja dengan konsekuensi menghadapi berbagai persoalan sosial. Secara geografis Indonesia terdiri dari berbagai pulau dengan multikultur. Heterogenitas budaya merupakan kekayaan luar biasa atau biasa disebut bhinneka tunggal ika yang akan melahirkan local wisdom (kearifan lokal). Heterogenitas tersebut mensyaratkan peluang munculnya diskriminasi antara daerah yang satu dengan lainnya, antara identitas kultur satu dengan lainnya.Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena itu pernah terjadi sejak bangsa ini baru saja diproklamasikan pada 1945 silam.

Disintegrasi bermunculan di mana-mana, dari Papua merdeka, Maluku, Sulawesi Merdeka dan daerah lainnya. Disintegrasi setidaknya menunjukkan bahwa ada ketidakadilan pembangunan sentralisasi yang mengakibatkan daerah lain merasa terkucilkan. Kebijakan pembangunan yang tidak berkeadilan menciptakan kesenjangan yang terlalu jauh antar daerah (atau pusat dengan daerah). Fenomena disintegrasi ini bisa dibaca sebagai bentuk ketidakmampuan Negara mengelola kapasitasnya. Fakta ini jelas bisa dianggap menurunnya loyalitas warga terhadap Negara seperti dikatakan Sorensen.

Selain disintegrasi, perbedaan identitas budaya berupa suku dan agama yang selalu dianggap kekayaan lokal, justru sewaktu-waktu bisa mengancam terjadinya potensi konflik. Nasionalisme yang sempit terbangun dari setiap entitas kultural, sementara pendidikan multikultural tidak berjalan dengan baik. Konflik akibat heterogenitas itu bermunculan dalam lipatan sejarah bangsa kita; dari konflik Poso, Maluku, Papua, Sampit dan sebagainya. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Makassar, konflik etnis bisa saja meledak hanya karena adanya ketersinggungan kecil antara satu sama lain. Ini membuktikan bahwa Negara gagal membangun suatu cara pandang bernegara yang bisa saling berterima atas heterogenitas (perbedaan). Menyambung analisa Robert, soal ciri Negara lemah, apakah heterogenitas yang telah menimbulkan konflik tersebut merupakan penghambat pembangunan? Jelas demikian karena Negara memporsir tenaga jauh lebih besar untuk persoalan resolusi konflik. Negara pun gagal menjadi pemersatu perbedaan-perbedaan itu untuk tunduk pada simbolisme kenegaraan.

Penegakan supremasi hukum di Indonesia sangatlah lemah dan tidak menjalankan asas keadilan sosial (sebagaimana sila Pancasila). Hilangnya kewibawaan para penegak hukum misalnya akibat ketimpangan internal yang dilakukan jelas membawa aroma buruk bagi pencitraan hukum. Jaksa bisa disuap, Hakim bisa dibeli, polisi juga bisa berpihak pada kekuatan besar bahkan justru digunakan sebagai tameng untuk membantai rakyat.

Di Indonesia, hukum seperti ada tapi sesungguhnya tiada. Korupsi pun merajalela dimana-mana. Pasca pemberlakuan Otoda (otonomi daerah), korupsi tidak hanya di pusat pemerintahan, tetapi juga di daerah. Korupsi para Bupati dan korupsi missal anggota DPRD di sejumlah terjadi adalah fenomena yang mengerikan dibalik transisi dari sentralisasi ke desentralisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk jelas menjadi alasan kuat bahwa bangsa kita sedang dililit persoalan ini. Kalau meminjam analisa Robert dan Sorensen, tidak adanya supremasi hokum dan korupsi yang merajalelah adalah sebagian besar dari cirri-ciri sebuah Negara tergolong weak. Kasus korupsi yang berhasil diungkap di negeri ini boleh jadi hanya sebagian kecil kasus korupsi yang tidak bisa diungkap, akibat adanya dominasi kekuatan besar seperti dijelaskan Robert. Istilah Markus (makelar kasus) sudah jelas menunjukkan adanya dindikat kejahatan hukum yang selama ini kebal terhadap Negara karena dikendalikan oleh kekuatan tertentu.

Indonesia yang selalu disebut Negara hukum kemudian perlu dipertanyakan kembali ketika ketidakadilan hokum justru mengesploitasi kaum jelata. Seorang pencuri seberapa buah kakao misalnya harus berurusan dengan kepolisian dan dipenjara ti ruang yang sangat tidak manusiawi. Persoalan lemahnya supremasi hukum di Indonesia jelas bisa dianggap sebagai indikasi lemahnya Negara ini dalam mengaktifkan fungsinya sebagai control terhadap aparatur, serta dalam hal memberikan jaminan keamanan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya (sebagaimana amanah UUD dan Pancasila).

Negara yang seharusnya memberi jaminan hidup dan dalam upaya pencerdasan bangsa juga tidak terlihat di Indonesia. Institusi-institusi pendidikan kemudian disulap menjadi perusahaan yang sangat kapitalis dan hanya bisa diakses oleh kalangan masyarakat berduit. Privatisasi pendidikan melalui Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang belakangan ini diasumsikan sebagai proyek subsidi silang sesungguhnya semakin mempertegas bahwa Negara kehilangan kuasa mengayomi rakyatnya. Pendidikan yang mahal jelas hanya untuk segelintir orang saja, orang miskin dilarang sekolah tinggi-tinggi, logika ini mengebiri kapasitas dan hak setiap warga Negara.

Robert melihat privatisasi juga sebagai gejala melemahnya sebuah Negara, karena Negara lepas tangan terhadap penyelenggaraan program yang berkaitan dengan nasib khalayak ramai. Selain di bidang pendidikan, dua kebutuhan dasar lainnya adalah kesehatan yang belakangan diprivatisasi Negara adalah institusi kesehatan. “Orang miskin dilarang sakit!” itulah istilah umum yang melekat di hati masyarakat dalam melihat pelayanan kesehatan di Indonesia. Biaya rumah sakit menjadi mahal, karena rumah sakit itu harus memanfaatkan pasien (penderita) untuk menghidupi para dokter dan segala kebutuhannya. Pemerintah tidak lagi punya andil, sementara ada lebih dari separuh warga Negara kita sangat membutuhkan pelayanan kesehatan gratis dan murah misalnya. Wacana kesehatan gratis yang dihembuskan daerah kemudian sangat politis, kesehatan gratis yang dimaksud selain sangat birokratis juga hanya untuk mengurusi penyakit tertentu dengan pelayanan seadanya. Pelayanan kesehatan yang memadai di Negara ini hanya bisa ditemukan di rumah sakit swasta, tetapi dengan harga yang sangat tidak terjangkau. Negara kehilangan tanggungjawab dan mengebiri perannya dalam rangka mengakomodasi kepentingan publik.

Faktor keamanan dan isu kekerasan di Indonesia juga menjadi sangat sentral. Fakta-fakta premanisme yang berkembang sebagai fenomena urban, jelas menunjukkan adanya praktik-praktik kekerasan yang sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh segelintir orang. Meminjam istilah Sorensen bahwa cirri lainnya Negara lemah adalah terbukanya potensi kekerasan. Yang belum bisa dibenarkan secara umum adalah praktik pelegalan senjata, barangkali fenomena ini sudah sangat akut jika saja terjadi. Di Indonesia, kebebasan menggunakan senjata memang tidak dibenarkan, tetapi dalam banyak kasus, senjata bisa lolos dari deteksi kepolisian dan member sinyal bahaya. Pembunuhan dengan senjata api di jalan raya misalnya setidaknya menjadi bukti bahwa Negara ini lalai dalam mengatur potensi kekerasan warganya.

Kembali kepertanyaa awal, Indonesia ada dimana? Dengan melihat indicator dari Robert dan Sorensen di atas, kemudian menelusuri fakta-fakta yang berkembang di Indonesia, maka Indonesia sudah bisa dikatakan Negara weak stateakut. Bila tidak ada perubahan serius, bersiaplah kita merengsek sebagai negara gagal (failed state). Semoga tidak!

(Tulisan ini adalah Paper saya saat kuliah di pasca Ilmu Politik UGM, saya munculkan kembali ditengah situasi  politik tanah air yang penuh konflik)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun