Mohon tunggu...
Anis Fuadi
Anis Fuadi Mohon Tunggu... -

Pemimpin Redaksi Majalah TRIAS Politika, Owner of Tshirt Anak Negeri (clothing industry), Journalist, Book Editor, energetic, humble, smart.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cegah Politik Dinasti Lokal

8 April 2013   04:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PATUT untuk didukung usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang pencegahan politik dinasti dalam konstelasi perpolitikan nasional, terutama dalam kepemimpinan di daerah. Kemendagri memperjuangkan hal itu dalam proses pembahasan revisi RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

Ada alasan tersendiri mengapa Kemendagri mewacanakan dalam RUU Pemilukada ihwal larangan kekerabatan dalam pencalonan kepala daerah. Menjaga semangat reformasi. Itulah alasannya. Sebuah alasan yang, memang, sangat normatif namun sejatinya Kemendagri ingin agar demokrasi kepemimpinan daerah di Indonesia bisa berlangsung secara berkeadilan dan tidak feodalistik.

Seperti difahami bersama, dewasa ini feodalisme tumbuh menjamur di balik prosedur Pemilukada. Hal ini terbukti dengan semakin banyak dinasti politik. Dalam catatan identifikasi Kemendagri, sejauh ini telah ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik lokal.

Staf Ahli Mendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek,  mengungkapkan hasrat Pemerintah agar larangan kekerabatan dalam Pilkada diperluas dalam satu provinsi yang fakta di lapangan fenomena itu terjadi di banyak daerah.

Sebagian politik dinasti tampak pada suksesi langsung. Suami, istri, anak, ayah, kakak, saudara ipar diajukan menggantikan kepala daerah petahana. Namun, banyak pula suksesi yang tidak langsung di daerah itu, tetapi di daerah lain dalam satu provinsi.

Sekadar menunjuk beberapa contoh politik dinasti yang saat ini berlangsung, sebut saja, yang paling menonjol, politik dinasti pada keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (RAC). RAC adalah kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri Walikota Serang Tb Haerul Jaman, kakak ipar Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani.

Contoh kasus politik dinasti lainnya adalah pada keluarga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ichsan Yasin Limpo, yang kini Bupati Gowa, adalah adik kandung SYL. Di Sulawesi Utara (Sulut), ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang putra Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang.

Menambah panjang daftar fenomena politik dinasti di tanah air adalah kekerabatan Walikota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Andar Amin Harahap yang merupakan anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Kemudian, kendati sudah tidak menjabat Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin, putranya Zumi Zola kini Bupati Tanjung Jabung Timur.

Sebagian besar kandidat yang kerabat petahana terpilih kembali. Namun, setidaknya 17 calon yang kerabat petahana kalah. Adapun dari 57 nama tersebut, enam kandidat masih bertarung dalam Pilkada.

Sistem kekerabatan jelas berpengaruh pada keterpilihan. Petahana (incumbent) diuntungkan dengan akses pada birokrasi, program, dan anggaran daerah.

Larangan politik dinasti ini memang potensial diklaim melanggar hak asasi orang perorang untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. Namun, bila dihadapkan pada hak asasi orang banyak, larangan ini membuka akses lebih luas untuk semua orang bertarung sebagai calon kepala daerah. Politik dinasti justru mengesankan akses kekuasaan hanya ada pada segelintir kalangan.

Informasi paling mutakhir menyebutkan, Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilukada telah menyepakati wacana pengaturan politik dinasti. Akan tetapi, Panja membuat catatan khusus guna mencegah jangan sampai aturan tersebut dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai jalan kompromi, dibuat pembobotan dan syarat seperti jam terbang dan pengalaman. Jadi, tidak akan ada lagi seorang kepala daerah yang menunjuk atau mencalonkan kerabatnya tanpa memiliki pengalaman sama sekali.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun