Berdasarkan laporan The Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia berada di posisi ke 97 dari 167 negara. Indeks tersebut didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit. Berdasarkan perbandingan dari tahun 2017, Indonesia mengalami peningkatan dari yang sebelumnya berada di posisi 101 dari 149 negara. Hal ini merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi Indonesia. Peningkatan ini dapat dipicu oleh peningkatan kualitas fasilitas kesehatan di Indonesia yang semakin baik.
Peningkatan Adopsi Catatan Kesehatan Elektronik
Di era industri 4.0 ini, peningkatan adopsi catatan kesehatan elektronik dalam beberapa tahun terakhir meningkat tajam mengingat pula adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 tahun 2013 pasal 3 ayat 1 yang menyatakan “Setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan SIMRS”. Akan tetapi, rumah sakit penyelenggara SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) yang fungsional di Indonesia baru mencapai 52% (Kementerian Kesehatan, 2017) sehingga belum seluruhnya beralih dari konvensional ataupun semi-konvensional ke secara keseluruhan elektronik.
Kesinambungan data kesehatan yang baik berawal dari sistem pencatatan yang baik pula, dimana data yang dihasilkan harus berkualitas. Saat ini, fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia juga sudah mulai mengadopsi Rekam Medis Elektronik (RME) untuk memudahkan pendokumentasian catatan medis. Kumpulan RME dari berbagai pelayanan kesehatan akan membentuk Rekam Kesehatan Elektronik (RKE). Untuk mewujudkan RKE yang baik diperlukan adanya Rekam Kesehatan Personal (RKP) yang terintegrasi ke RME. Melalui RKP tersebut, individu dapat memanage data kesehatannya sendiri, mengakses kapan saja, dan di mana saja sehingga dapat memantau kesehatannya dengan lebih baik. RKP umumnya berbentuk mobile aplikasi, seperti aplikasi mobile JKN yang diluncurkan oleh BPJS baru-baru ini. Minat masyarakat Indonesia terkait aplikasi tersebut pun cukup tinggi.
Dalam tahapan ini kita melihat perkembangan pelayanan kesehatan mulai berubah dari sistem konvensional maupun semi-konvensional ke elektronik. Akan tetapi, di sini banyak yang secara tidak langsung berkompetisi, baik dari individu/komunitas yang menciptakan aplikasi kesehatan dengan produk-produk tertentu sehingga konsumen ada kemungkinkan bingung memilih harus menggunakan aplikasi yang mana. Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan juga menunjukkan performa terbaiknya melalui SIMRS maupaun RME yang dengan pilihannya masing-masing melalui vendor tertentu atau mengembangkan sendiri dan tidak jarang ada yang berganti-ganti sistem sehingga menimbulkan data yang kurang berkesinambungan apabila kurang persiapan. Dalam hal ini juga menimbulkan pengumpulan data di masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan yang setara menjadi berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya dan kemungkinan besar ada yang tidak memenuhi standar kelengkapan dan kualitas data. Oleh karena itu, hal ini akan berdampak terhadap kualitas informasi dan sistem pengambilan keputusan di suatu fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemerintah Perlu Membuat Standar SIMRS dan RME
Adanya penggunaan catatan elektronik yang berbeda-beda di fasiltas pelayanan kesehatan mengharuskan pemerintah untuk membuat standar SIMRS dan RME yang menghasilkan data yang berkualitas atau solusi lain adalah pemerintah membuatkan dan menyediakan satu sistem untuk digunakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang dimulai dari RKP terintegrasi dengan RME, dan RKE. Adapun sistem pencatatan yang harus dibenahi yaitu rekam medis. Sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 BAB II Jenis dan Isi Rekam Medis Pasal 2 Ayat (2) berbunyi “Penyelanggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri”. Namun, hingga saat ini “peraturan tersendiri” itu pun belum ada, padahal fasilitas pelayanana kesehatan di Indonesia sudah berbondong-bondong beralih dari konvensional ke elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah bersikap lambat terhadap perubahan zaman sehingga fasilitas kesehatan masih terus hanya uji coba RME di Rawat Jalan belum sepenuhnya ke Rawat Inap. Hal ini dikarenakan keabsahan RME sebagai bukti yang sah di pengadilan masih belum ada dasar hukumnya. Sejauh ini hanya mengacu pada UU ITE (Informasi dan Transaksi Eelektronik) yang masih bersifat umum sehingga perlu adanya perincian lebih lanjut dalam peraturan lebih lanjut terkait RME untuk mendukung dan merealisasikan peraturan yang sebelumnya telah dibuat.
Selain itu, setiap masyarakat Indonesia harus bebas mengakses kesehatannya di manapun ia berada melalui genggaman tanpa harus mengantri dan mengalami berbagai permasalahan klise lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan, mendapatkan perlindungan privacy yang tinggi, serta berhak mengakses data kesehatannya secara mudah melalui genggaman. Hal ini sebagaimana dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 BAB V Kepemilikan, Pemanfaatan, dan Tanggung Jawab Pasal 12 Ayat (2) yaitu "isi rekam medis merupakan milik pasien". Oleh karena itu, pasien berhak mengetahui isi rekam medisnya berupa ringkasan rekam medis.
Dalam hal pembiayaan dan jaminan kesehatan, setiap bayi yang lahir ketika mendapatkan akta lahir akan lebih baik apabila secara otomatis juga terdaftar dan mendapatkan jaminan kesehatan. Sistem pembiayaannya adalah jika ia mampu maka harus membayar sendiri melalui potongan gaji keluarganya yang dipotong secara otomatis setiap bulan atau bagi yang tidak mampu disubsidi oleh pemerintah.
Keuntungan Sistem Pelayanan Kesehatan yang Baik