Kebijakan ekonomi yang dimaksud ialah kebijakan moneter pada 2021 yang terus menuntut dan menekan Bank Sentral Turki untuk memangkas suku bunga. Meskipun ditahun tersebut inflasi akibat Covid-19 sedang tinggi. Menurut Erdogan kebijakan tersebut merupakan 'perang demi memerdekakan ekonomi'.
Kebijakan Ekonomi Moneter Erdogan Yang Kontroversial
Kita semua mengetahui bahwa perekonomian Turki menurun sangat pesat di tahun 2021, dengan ditandai oleh melemahnya nilai mata uang Turki yakni Lira dititik terendah. Faktor penyebab rendahnya mata uang Turki bukan hanya akibat dari eksternal yakni adanya Pandemi Covid-19. Akan tetapi penyebab utamanya ialah masalah internal yakni karena adanya kebijakan ekonomi yang dilakukan Erdogan.
Kebijakan ekonomi yang dimaksud ialah kebijakan moneter pada 2021 yang terus menuntut dan menekan Bank Sentral Turki untuk memangkas suku bunga. Meskipun ditahun tersebut inflasi akibat Covid-19 sedang tinggi. Menurut Erdogan kebijakan tersebut merupakan 'perang demi memerdekakan ekonomi'.
Dilansir melalui CNBC, dalam rapat kabinet Erdogan mengatakan, "Kita melihat permainan yang dimainkan oleh mereka atas mata uang, bunga dan kenaikan harga ... dan menunjukkan keinginan kita untuk melanjutkan rencana permainan kita sendiri, 'Kami akan muncul sebagai pemenang dari 'perang kemerdekaan ekonomi' ini dengan bantuan Allah dan rakyat kami'. Erdogan juga menyatakan sebagai seorang muslim ia harus mengikuti ajaran islam.
Awalnya ditahun 2021 awal perekonomian Turki membaik dan melonjak naik, walaupun sempat terpuruk ditahun 2018 akibat penurunan cadangan devisa dan hutang yang menggunung. Namun, setelah kebijakan terbaru yang ditekankan oleh Presiden Erdogan diakhir tahun 2021, akhirnya pada Kamis (23/09/21) secara resmi Bank Sentral Turki memangkas suku bunga 100 baris poin menjadi 13%. Tentu saja kebijakan tersebut mengundang banyak sekali komentar, baik pro maupun kontra, mulai dari pakar ekonom, pebisnis, maupun masyarakat. Tetapi jika dilihat secara keseluruhan mayoritas masyarakat menentang kebijakan tersebut.
Dilansir melalui CNN Indonesia, Ekonom Timothy Ash dari BlueBay Asset Management mengatakan, "Anda tidak dapat menjalankan ekonomi modern yang terintegrasi ke dalam ekonomi global atas dasar ini. Bahkan Arab Saudi tidak mencoba manajemen makro (ekonomi) yang sepenuhnya sesuai dengan syariah". Kebijakan tersebut dinilai sangat tidak efisien dan efektif bahkan dinilai bisa mengancurkan perekonomian negara menuju kebankrutan.
Kendati demikian,  tak selang berapa lama cukup satu bulan dari kebijakan tersebut muncul, mata uang Turki melemah bahkan dari tahun -- tahun sebelumnya. Dilansir melalui data Revinity tahun 2021, tahun  tersebut merupakan rekor terlemah kurs Lira yakni turun sekitar 80%. Ditahun itu, Bank Sentral tidak bisa memainkan perannya untuk menstabilkan perekonomian negara. Akibat kebijakan ortodorks Erdogan, yang seharusnya jika terjadi inflasi bank sentral memiliki independensi untuk menaikan suku bunganya dalam menyerap likuiditas pasar agar laju inflasi bisa diredam. Namun bank sentral tidak punya kuasa akan hal tersebut, seharusnya hal tersebut dilakukan demi menstabilkan ekonomi karena adanya Covid-19 yang memunculkan inflasi yang begitu tinggi.
Kebijakan moneter ini menjadikan mata uang turki kehilangan lebih dari 40% terhadap Dollar AS. Meskipun setelah penurunan tersebut Erdogan menjanjikan perlindungan ekonomi dengan menurunkan import dan meningkatkan ekspor serta lapangan kerja yang lebih luas. Namun sayangnya ekspor yang sangat tinggi mengakiabtkan kebutuhan masyarakat Turki tidak terpenuhi. Â
Kegigihan Erdogan yang tetap menurunkan suku bunga, juga terus mengakibatkan penurunan yang sangat besar. Ditahun 2022 dilansir melalui CNBC Indonesia, Turki tercatat sebagai negara dengan mata uang terlemah dari data beberapa tahun terakhir, yakni Pada Agustus 2022, Inflasi Turki tercatat 79,6% year-on-year (yoy). Angka tersebut merupakan rekor tertinggi sejak September 1998.