Pertempuran antara pasukan pemerintah yang dipimpin Jenderal Abdil Fattah al-Burhan dan pasukan paramiliter RSF di bawah komando Jenderal Muhammad Hamdan di ibukota Khartoum dan berbagai kota di Sudan telah mengakibatkan paling tidak 185 orang tewas dan lebih dari 1800 orang lainnya cedera. Bentrokan ini pecah ketika dua faksi utama rezim militer Sudan saling berebut kekuasaan di negara itu. Perebutan kekuasaan ini telah terjadi sejak sebelum pemberontakan pada 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar Al Bashir. Setelah Bashir lengser, upaya Sudan beralih ke pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan.
Negara-negara mayoritas Muslim menyatakan keprihatinan atas konflik yang terjadi di Sudan. Mereka bertekad melakukan intervensi diplomatik agar konflik antarfaksi militer tersebut bisa diselesaikan. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengadakan pertemuan darurat di Jeddah pada Rabu (3/5/2023) untuk membahas perkembangan yang terjadi di Sudan. Pertemuan itu diadakan atas undangan Arab Saudi yang merupakan presiden komite eksekutif OKI saat ini. Sekretaris Jenderal OKI, Hissein Braham Taha, sebagaimana dilansir Asharq Al Awsat, Rabu (3/5/2023) mengatakan organisasi akan bekerja dengan rekomendasi negara-negara anggota, termasuk kemungkinan pengiriman delegasi senior ke Sudan. Dia menyatakan kekecewaannya dengan pertempuran yang terus berlanjut, terutama di ibu kota Khartoum. Pertemuan OKI bertujuan untuk mencapai solusi damai untuk krisis yang berbahaya, sambil menyoroti upaya penuh dedikasi Riyadh dalam proses evakuasi. Evakuasi diadakan atas arahan Raja Salman bin Abdulazis dan Pangeran Mohammed bin Salman untuk mengerahkan upaya keras dalam menyelesaikan kriss dan mengakhiri konflik. Ia juga menekankan upaya Arab Saudi untuk mengevakuasi warga sipil dari beberapa negara sahabat dan persaudaraan, serta staf di misi diplomatik dan lembaga internasional.
Sebagai salah satu anggota Organisasi Kerjasama Islam, Indonesia juga serukan solusi damai atas konflik di Sudan. Melalui Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri, Indonesia menyerukan penyelesaian konflik secara damai dan mengutamakan keselamatan, kesejahteraan masyarakat yang harus diprioritaskan oleh Sudan. Peran yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah menghimbau kepada pemerintah Sudan untuk menciptakan kembali kondisi stabil dan tidak ada korban masyarakat sipil. Indonesia juga menyerukan kepada para elit politik di Sudan untuk memperhatikan keselamatan dan nasib rakyat agar tidak menjadi korban perang saudara berkelanjutan (Wardah, 2023). Selain itu, potensi Indonesia untuk ikut dalam perundingan di Sudan sangat besar mengingat dalam beberapa waktu terakhir, Presiden Joko Widodo melakukan hubungan diplomatik dengan pemerintah Sudan, terutama dalam bidang pendidikan.
Selain Indonesia, Arab Saudi yang merupakan anggota Organisasi Kerjasama Islam juga berusaha menengahi kedua belah pihak yang dibantu oleh Amerika Serikat. Pada Mei 2023, kedua negara berhasil menggiring SAF dan RSF untuk menyepakati perjanjian gencatan senjata sementara demi memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan. Namun, pada tanggal 31 Mei 2023, SAF menyatakan tidak akan lagi berpartisipasi dalam pembicaraan untuk mencapai gencatan senjata. Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap perusahaan pertahanan utama Sudan yang dijalankan militer dan RSF serta orang-orang yang mereka cap melanggengkan kekerasan di Sudan. Arab Saudi dan Amerika Serikat mengungkapkan bahwa mereka akan terus melibatkan perwakilan SAF dan RSF. Diskusi difokuskan dalam memfasilitasi bantuan kemanusiaan dan mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah jangka pendek yang harus diambil kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H