Negara Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari yang di antaranya meliputi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 111 Concerning Discrimination In Respect Of Employment And Occupation, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesetaraan gender ini dilandasi oleh faktor perempuan yang jumlahnya mayoritas namun power-nya minoritas sehingga riskan terjadi diskriminasi gender. Terlebih di negara kita Indonesia yang lebih banyak menganut sistem patriarki dimana kepemimpinan dan otoritas didominasi oleh laki-laki, sehingga peran perempuan dalam memegang kendali atas dirinya sendiri-pun kecil. Sedangkan pada era saat ini, dimana segala sesuatu lebih mungkin untuk terjadi dengan segala fasilitas yang ada, sistem patriarki tentu sangat membatasi pergerakan perempuan untuk melakukan banyak hal termasuk memperjuangkan mimpinya dalam dunia karir.
Dikarenakan asumsi bahwa laki-laki lebih memegang kendali dibandingkan dengan perempuan, menyebabkan para perempuan menjadi lebih diabaikan dan diremehkan perannya dalam banyak hal. Kebanyakan asumsi yang beredar di negara kita adalah bahwa perempuan itu memiliki kodrat untuk berdiam diri di rumah menyelesaikan segala pekerjaan rumah tangga dan merawat anak-anak yang mereka miliki. Sehingga apabila ada perempuan yang memilih untuk berkarir ataupun memiliki pendidikan tinggi akan menjadi bahan pembicaraan karena menyalahi kodrat. Padahal bekerja, mendapatkan pekerjaan, dan berpendidikan tinggi adalah hak seluruh manusia namun pada prakteknya perempuan selalu menerima perlakuan tidak adil hanya karena mereka adalah perempuan. Pada akhirnya apa yang salah dengan menjadi perempuan, terlebih perempuan yang mengutamakan karir dan mimpinya? Mengapa hal ini seperti isu gender atau diskriminasi gender selalu menjadi permasalahan yang tiada ujung? Bagaimana kita menyikapi keadaan ini apabila terjadi di sekitar lingkungan kita?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari kata perempuan ialah “manusia yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui”. Definisi lain perempuan adalah lawan dari laki-laki, berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan gender menurut Rianingsih Djohani (1996) yaitu pembagian peran dan kedudukan dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.
Dari definisi perempuan dan gender di atas dapat langsung diketahui bahwa kodrat perempuan sebenarnya adalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Tidak pernah ada peraturan tertulis yang menyatakan bahwa perempuan adalah pihak yang harus mengerjakan segala macam pekerjaan rumah dengan baik, merawat dan membesarkan anak hingga harus mengorbankan karir mereka. Namun memang di dalam definisi gender tersebut terdapat suatu pembatas tidak terlihat yang akhirnya membagi peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Pembatas tersebut di antaranya seperti:
- Yang lebih pantas untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat maupun negara adalah laki-laki, sedangkan perempuan kurang pantas untuk memimpin. Hal ini dikarenakan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya dibandingkan logika ketika mengambil keputusan.
- Yang lebih pantas untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga adalah perempuan, sedangkan laki-laki dirasa kurang pantas karena keyakinan dan kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun-temurun bahwa ‘laki-laki pantang memegang sapu dan berada di dapur’.
- Yang lebih pantas untuk mengerjakan pekerjaan berat adalah laki-laki, sedangkan perempuan dianggap lebih pantas di dalam rumah merawat anak dan suaminya.
Pembatas tidak terlihat dalam gender tersebut memiliki perbedaan bentuk antara masyarakat satu dengan yang lainnya karena menyesuaikan norma dan adat setempat. Semakin berkembangnya zaman, gender menjadi lebih berkembang dan terkonstruksi. Di beberapa daerah yang sudah melek teknologi dan pendidikan masyarakatnya tidak lagi mempermasalahkan gender. Baik dalam kepemimpinan maupun dalam hak-hak hidup atau dengan kata lain semua sama rata, dengan kata lain emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh RA Kartini benar-benar diterapkan. Tapi, masih ada juga beberapa daerah yang sedikit jauh dari peradaban sehingga menyebabkan masyarakatnya tertinggal akan perkembangan zaman, masih mempertahankan perbedaan peran gender tersebut. Misalnya saja perihal karir perempuan.
Dalam hal memperoleh pekerjaan ataupun jabatan, sebenarnya adalah hak seluruh orang yang memang memiliki kecakapan untuk posisi tersebut. Dalam pekerjaan, terdapat kualifikasi yang harus dipenuhi pun dengan jabatan yang memiliki lebih banyak atau lebih rumit kualifikasi. Anehnya, banyak ditemui ketidakadilan atau ketimpangan gender yang merugikan pihak perempuan. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa meskipun ada segelintir pemimpin perempuan tapi perbandingannya masih kalah jauh dengan laki-laki. Tidak sedikit pula pekerjaan yang memang mensyaratkan pekerjanya harus laki-laki. Hal ini dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa penghalang perempuan dalam berkarir ialah beban dan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Ini berlaku untuk perempuan yang masih lajang, dalam proses menikah, atau sudah menikah. Sedangkan seharusnya beban dan tanggung jawab terhadap keluarga itu milik laki-laki dan perempuan. Justru dari beberapa penelitian, diperoleh hasil bahwa alasan perempuan ingin berkarir atau bekerja adalah untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarga dan kualitas hidupnya. Perempuan yang memilih untuk berkarir juga dihadapkan pada beban kerja yang lebih berat dibandingkan laki-laki karena ia harus bekerja dua kali lebih banyak; di rumah dan di tempat kerja dan mereka tetap bisa mengatur waktu dengan baik sehingga kedua pekerjaan dapat terselesaikan. Akhir-akhir ini pun sudah sangat lumrah apabila perempuan berlomba-lomba untuk menjadi wanita karir yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya karena biaya hidup yang semakin mahal sedangkan mereka tidak mungkin hanya berpangku tangan mengandalkan orang tuanya atau suaminya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sehingga melihat dan menyaksikan keadaan saat ini yang serba maju, tidak ada yang salah apabila perempuan memiliki pendidikan tinggi, karena pendidikan adalah aset yang tak ternilai untuk perempuan itu sendiri. Tidak ada yang salah apabila perempuan ingin ‘mengenakan jasnya’ dalam menyambung hidup, karena tidak semua orang lahir dari sendok emas ataupun keturunan darah biru. Tidak ada yang salah pula apabila perempuan memperjuangkan karirnya meskipun ia masih lajang, sudah menikah, ataupun sudah memiliki anak. Karena berpendidikan dan berkarir adalah hak seluruh umat manusia, diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan Pasal 31 ayat (1) bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan.
Adanya isu gender yang memang sampai saat ini masih saja bergaung, terjadi karena tertanamnya doktrin dalam masyarakat yang mempercayai perempuan adalah hiasan rumah jadi mereka tidak wajib berpendidikan, bekerja, atau merealisasikan mimpinya. Doktrin tersebut ada karena dipercaya, sudah menjadi budaya, atau sudah tertanam dalam benak masyarakat secara turun-temurun. Bukan bermaksud mengeneralisir tetapi memang isu gender masih ada di sekitar tempat tinggal kita. Cara menyikapi keadaan ini sebenarnya gampang-gampang susah karena sama saja kita harus merubah atau memperbaiki pola pikir masyarakat yang sudah melekat. Namun, cara tersebut lebih masuk akal dibandingkan dengan hanya berdiam diri ketika melihat perempuan hak dan kewajibannya dijajah. Akan lebih baik jika kita secara hati-hati dan penuh dengan rasa hormat memberikan pengertian tentang kesetaraan gender menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Memberikan dukungan penuh terhadap perempuan di sekitar tempat tinggal yang memperjuangkan pendidikan dan karirnya juga merupakan langkah baik agar lambat laun kesetaraan gender dapat terwujud.
Terwujudnya cita-cita kesetaraan gender dimulai dari diri sendiri. Terwujudnya mimpi perempuan dalam balutan jas juga dimulai dari diri sendiri. Perubahan sekecil apapun yang dilakukan untuk mengikis segala permasalahan dalam kehidupan termasuk salah satunya adalah isu gender, sangat berharga. Karena apabila ragu-ragu dalam melakukan hal yang benar yang terjadi adalah semakin tertanamnya doktrin-doktrin merugikan lain dalam masyarakat. Sehingga apabila di sekitar tempat tinggal masih terdapat isu gender yang merugikan perempuan, baiknya jangan menutup mata akan kejadian tersebut tapi ambil-lah langkah paling mudah dalam menyikapinya yaitu dengan memberikan pengertian dan dukungan moril.
Perempuan memang memiliki tenaga yang lebih kecil dibandingkan laki-laki. Tapi bukan berarti perempuan itu lemah. Perempuan memang memiliki perasaan lemah lembut jika dibandingkan laki-laki yang cenderung tegas. Tapi bukan berarti perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Perempuan memang kodratnya untuk mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tapi bukan berarti perempuan tidak berhak untuk berpendidikan tinggi, bekerja mengejar cita-citanya, dan memperjuangkan hidupnya. Perempuan itu mulia, perempuan itu berharga, dan perempuan itu bukan objek untuk dijajah. Maka sudah sewajarnya apabila saat ini dimulai dari diri kita masing-masing untuk menjadi agen perubahan dalam meminimalisir hingga menghilangkan isu gender yang ada di sekitar.
Referensi: