Mohon tunggu...
Anisa Puspadewi
Anisa Puspadewi Mohon Tunggu... -

Motivasi yang paling dahsyat adalah dari dalam diri sendiri..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dosen Bilang Pendidikan Hanya untuk Anak Normal?

3 Desember 2011   14:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari acara seminar yang diselenggarakan di salah satu Universitas keagamaan Negeri di Kota Udang. Gedung yang sangat megah menurutku, mahasiswa Universitas kecil yang ada di pelosok Kota Kuda Jabar, walaupun saat acara seminar diadakan saya dan teman saya amat kesulitan mendapati kamar kecil dan harus keluar kampus untuk itu. Mungkin karena belum terbiasa karena di kampus kami yang sangat kecil sangat mudah mendapati toilet yang sama sekali tidak berbau.

Saat acara seminar dibuka, saya dan teman-teman perwakilan "Universitas kuningkeemasan" sangat disambut dengan baik oleh pihak tuan rumah. Sayapun terkesan dengan itu, karena ternyata dosen kami yang sudah lama mengajar di Universitas kuningkeemasan diidolakan di Universitas barunya itu. Hal ini terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang ingin foto bersama beliau saat acara usai.

Topik yang diangkat dalam acara tersebut ada tiga dari tiga pembicara berbeda. Pembicara yang pertama sangat menarik antusias saya untuk bertanya tentang belajar tidak hanya tentang intelligence tetapi juga mental process. Dari situ saya bertanya tentang anak berkebutuhan khusus yang kebetulan pernah saya alami langsung saat mengajar les bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah dasar di sebuah desa. Kebetulan di kelompok yang saya bimbing saat itu ada seorang anak perempuan manis yang kurang bisa mendengar dengan jelas dan tentu saja pengucapannya pun tidak sesuai dengan apa yang saya minta untuk dia ucapkan. Saya harus berbicara berulang kali dan keras, untung saja teman-temannya yang lain di kelompok ini sangat memahaminya walaupun sebagian anak laki-laki, yang lebih berpikir logis dan tidak emosional seperti perempuan sering menjadikannya bahan tertawaan. Jika bukan anak-anak yang ada di depan saya itu, mungkin saya sudah mengucurkan air mata atas kekurangan yang anak itu miliki.

Karena saya rasa topik pembicaraan dalam seminar itu ada hubungannya dengan kasus ini, lalu saya tanyakan solusi agar beliau dapat membimbing saya dalam memberikan pengajaran dan pendidikan yang sama antara anak yang berkebutuhan khusus dan anak normal lainnya. Tetapi jawaban yang diberikan oleh pembicara yang diperkenalkan dengan nama Hadjah blablabla sebagai dosen Jurusan Pendidikan Bahasa sangat membuat hati dan jantung saya berhenti berfungsi dalam sekejap, karena sangat terkejut dengan jawaban beliau. Menangis pun malu karena di sana saya sedang menjadi pusat perhatian.

Awalnya saat menjawab pertanyaan saya dalam bahasa inggris, yang juga beliau jawab dengan bahasa yang sama kurang saya pahami, dan teman-teman yang lainpun merasakan hal sama karena awalnya jawaban yang diberikannya sangat jauh dengan pertanyaan saya. Tetapi setelah pertanyaan saya dijelaskan ulang oleh moderator, beliaupun mengerti dan menjawab setelah berpikir sejenak.

Menurut pendapatnya pendidikan bahasa yang kami pelajari hanya untuk anak normal. Untung saja saya dan para pembaca terlahir normal. Jika tidak, ke mana lagi saya harus pergi untuk mendapatkan perlakuan yang layak dan setara dengan anak-anak lainnya? Apakah saya tidak boleh memiliki masa depan yang bisa diimpikan oleh teman-teman saya? Lantas untuk apa saya dilahirkan di dunia ini? Kuatkah saya jika di mana-mana tidak ada yang mau  menerima saya?

Untung saja di Universitas saya ada mata kuliah Psikologi Pendidikan yang mengajarkan untuk tetap menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) jika kami mengajar nanti dan mencari solusi dari pengalaman selama belajar-mengajar dengan anak tersebut dan memberitahukan dahulu anak-anak lainnya sebelum hari ABK datang dengan berkata, "Nanti kita akan kedatangan teman baru, tapi teman kita itu sakit, kita harus baik sama dia, karena Allah sayang dia, Ibu sayang dia, kalian juga harus sayang dia."

Sungguh bagaikan Ibu Peri yang mengusap luka di hati saya peran guru psikologi saya itu. Sosok yang sangat saya kagumi itu masih sangat muda dan saya telusuri identitasnya ternyata ia sudah menunaikan ibadah haji, tetapi yang membuat saya lebih berdecak kagum lagi, beliau tidak mencantumkan gelar Hadjah di depan namanya.
Sungguh banyak sekali yang harus saya pelajari untuk menjadi seorang pengajar dan pendidik dari setiap langkah yang saya ambil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun