Mohon tunggu...
anisa melianti
anisa melianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Gerakan Tranformasi Ki Hajar Dewantara dalam Perkembangan Pendidikan Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan (Argumen Kritis)

15 April 2024   10:35 Diperbarui: 15 April 2024   10:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan di Indonesia. Berbagai pandangan dan gagasannya banyak mempengaruhi perkembangan sistem pendidikan di Indonesia baik sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan baik secara lahir maupun batin. Dengan berjuang di bidang pendidikan, ia berharap bisa menjadi pejuang pejuang kemerdekaan nasional, pejuang pendidikan serta pejuang kebudayaan. Dengan berbagai gagasan cerdasnya, tak heran jika sampai saat ini gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara masih terus berpengaruh dan relevan dalam berbagai transformasi pendidikan di Indonesia. 

Ki Hajar Dewantara mulai aktif mengikuti perkembangan pendidikan di Indonesia bahkan sebelum Indonesia merdeka. Dimana Indonesia masih dikuasai oleh Belanda. Selama masa penjajahan tersebut, Belanda tidak pernah mempedulikan pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang kala itu masih disebut sebagai Hindia Belanda. Belanda hanya menganggap Indonesia sebagai tempat berdagang guna menghasilkan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya dan hanya mempedulikan hal-hal terkait yang bisa membuat penghasilannya menjadi semakin meningkat. meski sempat ada instruksi bahwa rakyat hendaknya mendapat pengajaran dasar membaca, menulis dan berhitung untuk mendidik orang-orang pembantu dalam beberapa usahanya (usaha milik Belanda). Tapi tetap saja tujuan mereka tetap hanya ingin memperbesar keuntungan perusahaannya sendiri. Sekitar tahun 1856, melalui R.R 1836 sebenarnya mulai ada pasal tentang pendidikan dan pengajaran, tapi itu hanya dibatasi untuk anak-anak bangsa Eropa saja, sedangkan pendidikan untuk rakyat lagi-lagi tidak dipedulikan.

Perubahan sistem pendidikan yang diadakan Belanda terjadi sesudah aliran Ethische Politiek timbul, serta diakibatkan juga oleh "Pembangunan Nasional" di awal abad ke-20. Perubahan itu digambarkan sebagai haluan "kolonial lunak", yang dalam sistem pendidikannya masih belum bisa benar-benar terlepas dari sistem pendidikan barat yang menunjukan sifat intelektualitas, individualitas dan materialistis. Merasakan pusaran tirani penjajahan Belanda yang begitu membelenggu kemudian mendorong Ki Hajar Dewantara untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Ki Hajar Dewantara ingin mewujudkan pendidikan yang bukan hanya mementingkan intelektual, tetapi juga harus mengajarkan tentang kebudayaan. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya dan tidak memperhatikan perkembangan olah rasa serta karsa. Akibatnya manusia akan kehilangan rasa humanis dan manusiawi. Dalam pidato sambutannya pada penganugerahan Honoris Causa oleh Universitas Gajah Mada pada 7 November 1956, beliau menyebutkan bahwa pendidikan merupakan tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dalam kalimat tersebut beliau berharap para pelajar bukan hanya memiliki kecerdasan secara intelektual tetapi juga memiliki adab dan kebudayaan sehingga bisa membentuk rasa nasionalisme dan membebaskan diri dari dominasi budaya kolonial. Karena itu sistem pendidikan tidak bisa hanya mengambil dari apa yang sudah diterapkan pada masa kolonial saja, tapi juga harus ada pendidikan kultural untuk membentuk keluhuran manusia, nusa dan bangsa tanpa memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan dan sesuai dengan tuntutan zaman. 

Selain memperjuangkan perubahan sistem pendidikan yang juga mengajarkan tentang kebudayaan, Ki Hajar Dewantara juga memperjuangkan untuk menciptakan pendidikan bagi semua golongan masyarakat tanpa memandang kelas sosial maupun latar belakang ekonomi. Tindakan tersebut merupakan langkah awal dalam memerangi ketidaksetaraan dalam pendidikan. Hal tersebut merupakan bentuk ‘perlawanan’ dari kebijakan Belanda yang memberikan fasilitas pendidikan bagi anak-anak berbangsa Eropa atau orang-orang dari keluarga bangsawan saja.

Pendidikan yang berlandaskan budaya dan kearifan lokal serta dapat diakses oleh semua golongan masyarakat diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Tamansiswa yang didirikan tahun 1922 di Yogyakarta. Melalui Tamansiswa, Ki Hajar Dewantara juga mengangkat nilai kekeluargaan dalam pendidikan. Karena Ia percaya bahwa keluarga merupakan tempat belajar yang paling berpengaruh terhadap perkembangan pribadi anak.

Tamansiswa dan prinsip-prinsip Ki Hajar Dewantara mengenai konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan kemudian memainkan peran penting dalam pembentukan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Tujuannya adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Sugiarta, 2019). Ki Hajar Dewantara senantiasa melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Hal itu yang kemudian menjadi cikal dari filosofi pendidikan Indonesia yang sesuai dengan cita-cita moral pancasila yang mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara pribadi, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah, dan kebahagiaan rohaniah (Nasution, 2014: 30).

Dalam pendidikan nasional, gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara juga masih sangat relevan hingga saat ini. Pasal yang menyebutkan bahwa adat istiadat sebagai sifat daya upaya tertibnya damai tiada luput dari pengaruh zaman dan alam karena itu tidak tetap, akan tetapi berubah, bentuk, isi dan iramanya. Pasal tersebut menjelaskan tentang pendidikan yang harus konservatif tapi disisi lain juga harus bisa memajukan masyarakat dan bertindak sebagai “agen of change” (Nasution, 2014: 157). Jadi, pendidikan terutama di sekolah juga memiliki peranan evaluatif dan kreatif. Maksudnya adalah anak tidak hanya menerima begitu saja apa yang mereka peroleh dari generasi lama, tetapi hendaknya mereka diberi kesempatan untuk menilainya secara kritis berhubungan dengan dinamika masyarakat. Dalam pendidikan yang modern, dan tidak membelenggu anak harus belajar berpikir sendiri untuk menghadapi berbagai persoalan baru dan jangan hanya diminta untuk menghafal jawaban atas pertanyaan yang telah usang.

Melalui gagasannya, Ki Hajar Dewantara juga menegaskan tentang pendidikan yang bukan hanya sebagai bentuk transfer pengetahuan tetapi juga harus mengarah ke transformasi nilai (value). Dimana anak-anak belajar bukan karena didorong oleh rasa takut akan mendapat nilai yang buruk, tetapi anak-anak belajar atas dasar minat. Jadi angka dan penilaian pekerjaan peserta didik bukan hanya berdasarkan ujian, tapi bisa menggunakan berbagai ragam cara untuk menilai prestasi dan kelakuan peserta didik. Dengan begitu kelas tidak akan dikuasai oleh suasana persaingan, tetapi para peserta didik dibimbing agar dapat saling bekerjasama.

Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa peran Ki Hajar Dewantara dalam transformasi pendidikan di Indonesia sangatlah besar dan masih relevan untuk digunakan saat ini. Bahkan kurikulum nasional yang digunakan saat ini, yaitu kurikulum merdeka sedikit banyak menerapkan gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantara yang ingin memberikan pendidikan yang “merdeka” bagi setiap peserta didik.

Referensi:

Nasution, S. 2014. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun