A. Â Tema : KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
B. Â Nama : Anisatul laila
Semester: ll (dua)
Jurusan : Pendidikan matematika
Kampus : ITSNU PASURUAN
Tahun : 2019
C. Â Identitas Dosen : Muhammad Mukhlis, M. pd.
D. Â Problem : Kehidupan sosial umat muslim dan hindu di bali
E. Â Teori
Realitas sosial hubungan komunitas Muslim dengan komunitas Hindu
di Bali tidak hanya diwarnai oleh kerja sama dan hubungan yang
harmonis namun di dalamnya terdapat pula persoalan-persoalan sosial
antar kedua komunitas.
Persoalan tersebut sebenarnya telah ada sejak
masa kerajaan-kerajaan di Bali dan berlangsung hingga masa kini.
Misalnya, pada tahun 1855 kehidupan rukun antara masyarakat Muslim
dengan Hindu di Jembrana sempat terusik di masa pemerintahan I Gusti
Ngurah Pasekan yang bersikap tidak adil terhadap orang-orang Islam.
Padahal masyarakat Muslim mempunyai andil besar menjadikan I Gusti
Ngurah Pasekan sebagai penguasa dengan membantunya mengalahkan
lawannya I Gusti Ngurah Made Rai.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari
datang sebuah perahu Bugis membawa tanda hormat berupa kain-kain
Gringsing Sumba sebagai tanda persahabatan Sultan Sumbawa kepada
Raja Anak Agung Putu Ngurah yang disangka masih berkuasa di
Jembrana. Setelah mengetahui bahwa Anak Agung Putu Ngurah sudah
tidak berkuasa lagi, maka para pengantar enggan menghaturkan bawaan
mereka kepada Raja I Gusti Ngurah Pasekan.
Pada malam harinya,
Raja Pasekan memerintahkan untuk merampas barang-barang hadiah
tersebut dan seluruh kelasi perahu yang membawa barang itu dibunuh.
Kejadian ini merupakan suatu hinaan bagi umat Islam. Masyarakat
Islam di Jembrana kemudian melakukan gerakan penentangan terhadap
raja di mana pada saat itu Punggawa Islam Pan Mustika datang
menghadap asisten Residen di Singaraja untuk melaporkan tindakan
raja yang sewenang-wenang.
Dalam sumber-sumber Belanda, gerakan
 protes masyarakat Islam ini disebut dengan "Islam Movement".
Menindaklanjuti laporan Pan Mustika, akhirnya pemerintah Belanda
mengasingkan I Gusti Ngurah Pasekan ke Banyumas (Jawa Tengah)
(Sarlan 2009: 60-61; Yuliani 1993: 43).
Di masa kerajaan, umat Islam tidak memiliki kendala dalam
pembangunan masjid, bahkan raja tidak segan memberi bantuan berupa
tanah maupun bahan bangunan yang dibutuhkan, mengingat jasa
masyarakat Muslim yang turut membantu kerajaan dalam peperangan.
Namun di masa kini, umat Islam mendapat kendala dalam hal
pembangunan masjid dan tanah pemakaman.
Sebagian besar persoalan
bersumber dari implementasi pemahaman ajaran Tri Hita Karana7
yang menimbulkan potensi konflik, khususnya konsep palemahan yang
dalam pemahaman Hindu adalah hubungan harmonis antara manusia
dengan lingkungannya.
Dalam hal ini konsep palemahan seringkali
dijadikan justifikasi oleh warga Hindu dalam penggunaan tanah adat.
Beberapa persoalan yang berkaitan dengan tanah adat dijumpai di
daerah penelitian seperti di Denpasar, Badung, Buleleng, dan Jembrana.
Di Denpasar misalnya masyarakat Muslim mengalami kesulitan untuk
membangun masjid terutama di daerah pemukiman lama. Akan tetapi,
di daerah pemukiman baru seperti kompleks perumahan cenderung
lebih mudah untuk membangun masjid meski tanpa izin lebih dahulu.
Sebagai solusinya, masyarakat Muslim melakukan pendekatan dengan
cara memanfaatkan bangunan serba guna yang juga bisa digunakan
sebagai tempat ibadah.
Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Muslim
di daerah Puri Gading yang membeli sebuah ruko, kemudian digunakan
sebagai musholla.
Bahkan berdasarkan informasi di lapangan, ada sebuah musholla di
wilayah Denpasar yang disegel oleh warga setempat karena dianggap
tidak mempunyai izin dari Banjar (desa adat) setempat. Di satu sisi,
pihak Banjar beranggapan bahwa warga Muslim yang tinggal di daerah
tersebut jumlahnya tidak terlalu besar sehingga dirasa tidak perlu untuk
membangun musholla.