Suatu hari yang tenang. Aku terheran memandang sepucuk surat beramplop coklat. Ada namaku di situ. Dari siapa gerangan? Buatku penasaran saja. Kupikir aku tak secantik Nia Ramadhani. Jadi kuyakin kalau itu pasti bukan fansku tentu saja.
Segera kurobek amplop itu tak sabar. Nafsu sekali aku mengoyaknya. Tak sampai sedetik mataku melotot lalu kuberteriak, "Oh yeeeees!!!"
"Selamat! Tulisan Anda dimuat di Majalah Mentari edisi xxxx. Terimakasih dan tetaplah semangat berkarya."
Kira kira begitulah isi suratnya. Jadi, beberapa waktu sebelumnya aku iseng mengirim tulisan pengalaman lucu ke majalah anak namanya Majalah Mentari. Isinya pengalaman yang sangat sederhana, yaitu aku salah masuk bis saat wisata sekolah.
Sebetulnya, pengalamanku itu tidak betul betul terjadi. Aku hanya mengarang cerita, mengeprintnya, lalu kukirim ke kantor majalah via pos.
Aku bahkan sudah lupa dengan tulisan itu. Tiba tiba saja surat pemberitahuan itu datang. Sungguh amazing. Aku nggak nyangka juga bakal dimuat. Begitu kukirim langsung kulupakan seperti ku melupakanmu. Ups...
Itu adalah karangan cerita pertamaku yang dimuat di majalah. Yah, walau hanya dimuat di majalah anak anak, tapi itu istimewa. Aku berani bertaruh tak semua orang bisa menorehkan karya di majalah anak. Apalagi majalah Mentari sempat cukup populer di jamannya. Jaman belum ada wattpad, facebook, apalagi instagram.
Pengalaman yang petama memang selalu istimewa. Sebut saja gaji pertama, mobil pertama, dan... cinta pertama.
Lalu apa hubungan judul tulisan ini dengan isinya? Kok kesannya judulnya apa isinya apa.
Jadi begini. Aku membayangkan honor yang akan kuterima dari karanganku di majalah itu akan besar. Tapi ternyata hanya sepuluh ribu saja. Besaran honor yang tak seindah cinta pertama, terselip dalam amplop surat itu.
Terbitnya tulisanku di Majalah Mentari itu istimewa. Tapi besaran honornya tak seindah cinta pertama. Tak sebanding dengan susah payah menulisnya, tak selaras dengan pengorbanan waktu dan energi. Menulis itu tak mudah, kawan.