Mohon tunggu...
Anisa
Anisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Anisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Balai

27 April 2024   16:53 Diperbarui: 29 April 2024   11:18 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa hari lalu aku menamatkan tiga puluh juz Al-Qur'an pada usiaku yang baru menginjak sepuluh tahun. Emak dan Ayah memang sudah berhajat untuk menggelar majlis sederhana saat aku sudah mengkhatamkan Al-Qur'an.

Hari ini, di rumahku, sanak saudara dan para tetangga sudah ramai dan sibuk menyiapkan acara khataman. Para ibu-ibu memasak jamuan untuk dihidang pada para tetamu dan kumpulan nasyid yang datang nanti. Ada nasi beserta lauk-pauk, kue ketayap, lepat pisang, juga pulut sekaya. Sedangkan para remaja sibuk menghias ruang tamu dengan kain hiasan dan sedikit bunga-bunga sebagai dekorasi di dinding.

"Kak Isymah, Mak panggil Akak tadi." Adikku berlari menghampiriku bersama sepupu-sepupu kami yang masih sebaya dengannya.

"Emak dimana, Abidah?" tanyaku. Sebab sesudah makan siang pukul sebelas tadi, aku belum melihat Emak lagi.

"Emak di dapur, Kak," balasnya.

Aku berjalan menuju dapur. Kulihat Emak, Andung dan Ucu Ina tengah mempersiapkan bunga balai. Balai dari kayu bersegi empat yang bertingkat tiga itu, kerap digunakan di berbagai upacara adat. Balai disusun sesuai dengan urutan, yang pertama adalah pulut kuning serta daun pisang yang dilipat berbentuk segitiga. Pada balai kedua akan diletakkan masukan inti beserta ayam gulai. Kemudian bunga kemuncak pada balai ketiga, juga bunga telur, yaitu bunga balai yang diisi telur rebus disusun di setiap tingkat balai. Bunga balai biasanya berwarna kuning, sementara pada acara khataman seperti sekarang, bunga yang digunakan berwarna putih. 

"Isymah bersiaplah, sekejap lagi acara nak dimulakan!" suruh Emak padaku.

"Iya, Mak." Aku mengangguk.

"Ulung dah makan? Kalau belum, makanlah dulu." Andung memang selalu memastikan agar cucunya sudah makan. Kalau belum, pasti Andung akan membebel, tapi dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Sudah, Andung. Isymah dah makan," sahutku sopan. Aku memang terbiasa membahasakan diri dengan nama, walaupun Andung memanggilku dengan sapaan 'Ulung' karena aku anak pertama dan sekaligus cucu pertama Andung.

"Ina? Mak tak tanya Ina dah makan?" Ucu Ina menggoda Andung. 

Andung hanya membalas dengan senyuman yang kemudian disusul tawa kami bertiga.

***

Ba'da dzuhur, acara akan dimulai. Aku sudah bersiap dengan gamis putih dan hijab yang senada. Para tetamu yang rata-rata adalah sanak saudara dan tetangga dekat kami, beserta kumpulan nasyid sudah memenuhi ruang tamu. Teman-teman sekolahku juga turut hadir untuk memeriahkan majlis. Emak dan Andung duduk di sebelahku, sementara di hadapanku, sudah disediakan kitab suci Al-Qur'an dan juga bunga balai yang disiapkan tadi.

Salah satu anggota kumpulan nasyid mulai membacakan muqaddimah setelah mengucapkan salam. Dilanjutkan dengan pembacaan gema wahyu Ilahi, barzanzi dan lagu berkhatam.

Aku merasa terharu mendengar lagu berkhatam yang disenandungkan bersamaan dengan tepukan rebana. Kulirik Emak dan Andung yang duduk di sebelahku, kemudian tersenyum. Lalu kupandangi Ayah dan Abidah yang duduk agak jauh dari kami, mereka pun turut tersenyum padaku.

Setelah rebana berhenti ditabuh, masuklah ke inti acara, yaitu berkhatam. Dimulai dengan Emak yang membacakan surah Ad-Dhuha. Guru mengajiku adalah Emak, tapi terkadang juga Ayah, saat Emak sedang sibuk atau berhalangan. Kemudian, tibalah giliranku yang membacakan surah Ad-Dhuha sampai An-Naas dengan bacaan yang fasih dan lancar. Setiap selesai membaca satu surah, maka yang lain mengiringi dengan bacaan tahlil dan takbir.

Setelah acara berkhatam selesai, lalu dilanjutkan dengan do'a khatam Al-Qur'an. Kemudian acara upah-upah dengan tepung tawar dan bunga balai. Dimulai dari Andung, sebab Andung yang paling tua. Baru nanti diikuti dengan Ayah, Emak, serta sanak saudara dan yang lainnya.

Andung merenjiskan air wangi di telapak tangan ku dan menaburkan bertih, lalu mengangkat balai ke atas kepalaku dan membacakan shalawat. Kemudian menyuapkan pulut kuning dengan secuil ayam dari balai padaku. Setelah itu, kusalami tangan Andung dengan takzim.

"Ulung, sembahyang jangan tinggal, ya. Baca Qur'an, untuk terangkan hati," lirih Andung sambil memeluk dan menciumku.

*Andung: sapaan nenek bagi orang Melayu

*Ucu: sapaan untuk adik bungsu dari Ayah atau Ibu

*Ulung: tuturan untuk anak pertama pada adat Melayu

*Membebel: mengomel

Pekanbaru, 11 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun