Asean Economic Community (AEC) yang akan diterapkan pada Desember 2015 menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat dikalangan masyarakat Indonesia, Asia Tenggara bahkan dunia akhir-akhir ini. Intensifnya persiapan pemerintah Indonesia dalam menyiapkan segala bentuk menghadapi era pasar bebas Desember mendatang, mulai dari bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Pada dasarnya tujuan utama di bentuknya Asean Economic Community (AEC) adalah perwujudan stabilitas perekonomian negara anggota Asia Tenggara, dan juga bentuk upaya mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi antar negara ASEAN. Banyak rencana mengenai bentuk integrasi ekonomi dan keuangan juga mulai di konsep keseluruhan pada pertemuan-pertemuan penting antar negara ASEAN. Bermula pada Konferensi Tingkat Tinggi Asotiation Of Southeast Asian Nations (KTT ASEAN) Oktober 2013, hingga mencapai keputusan final Rabu, 17 Desember 2013 bahwa penyatuan mata uang akan diberlakukan mulai 1 Februari 2014 dengan nama mata uang Southeast Asian Currency (SAC) yang memiliki nilai tukar Rp. 6.350 per 1 SAC, namun hingga sekarang pemberlakuan tersebut belum terlaksana.
Adanya pemberlakuan mata uang tunggal dalam kawasan ekonomi tak lagi menjadi hal baru bagi aktivitas perekonomian dunia, karena pada sebelumnya kawasan ekonomi Eropa sudah menerapkan sejak tahun 1999. Pembentukan nilai mata uang tunggal kawasan ASEAN memang sangat komplek, karena melibatkan 10 negara anggota ASEAN yang notabene memiliki tingat pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi perekonomian dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pada negara-negara Uni Eropa yang relatif memiliki kondisi ekonomi yang sama, mulai dari tingkat inflasi, defisit fiskal, rasio utang, tingkat bunga, hingga jumlah pengangguran. Namun penggunaan mata uang Uni Eropa hingga saat ini masih sering mengalami shock, karena banyaknya anggota yang kurang disiplin pada pengelolahan kebijakan fiskal di masing-masing negara.
Adanya pemberlakukan mata uang tunggal (single currency) kawasan ASEAN memiliki beberapa keuntungan pada perekonomian antar negara ASEAN, yaitu: pertama, beban biaya transaksi perdagangan antar negara ASEAN berkurang, hal tersebut disebabkan hilangnya biaya transaksi mata uang dan resiko nilai tukar yang umumnya mengikuti proses pembiayaan dalam transaksi perdagangan negara. Kedua, mobilitas dan struktur perekonomian antar negara kawasan ASEAN lebih terintegrasi. Dan ketiga, berkurangnya ongkos pengelolahan kebijakan moneter dan fiskal antar negara kawasan ASEAN. Penyatuan mata uang di kawasan ekonomi ASEAN juga didasari pada teori Optimum Currency Area (OCA) mundell (1961), McKinon (1963) dan kennen (1969). Teori OCA menjelaskan bahwa kesejahteraan suatu kawasan dapat meningkat melalui penyatuan mata uang, sebaliknya mata uang disatukan dan mata uang setiap negara ditinggalkan.
Terjadinya krisis ekonomi yang dialami pada Zona Uero, menyebabkan negara-negara asia khususnya asia tenggara mulai merasa ragu-ragu dalam penerapan sistem mata uang tunggal (single currency). Le Luong Minh, Sekretaris Jenderal ASEAN menyatakan, setelah melihat pengalaman Euro, tak layak rasanya meneruskan skenario mata uang tunggal ASEAN. Meski single currency mendorong penyatuan ekonomi dan juga sebaliknya, ASEAN menilai AEC tidak harus berujung pada penyatuan mata uang.
ASEAN tidak sama dengan Uni Eropa
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi yang melibatkan kegiatan ekonomi, politik dan geografi dengan angota terdiri dari 10 negara, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan antar negara anggota. Sedangkan Uni Eropa adalah organisasi antar pemerintahan dan supra nasional, yang beranggotakan negara-negara Eropa, anggota Uni Eropa terdiri dari 28 negara. ASEAN memang tidak sama dengan Uni Eropa, GDP ASEAN sebesar US$ 2.172.000 berada pada tingkat kedua setelah GDP Uni Eropa yaitu sebesar US$11.064.752. selisih angka yang cukup jauh antara kedua kawasan tersebut, dilihat dari besarnya perbedaan pada GDP menunjukan bahwa indikator makroekonomi antar negara masih timpang.
Salah satu syarat dalam pembentukan mata uang tunggal (single currency) adalah minimnya atau setaranya indikator makroekonomi yang dialami antar negara anggota kawasan. Dengan adanya kesetaraan indikator makroekonomi antar negara menjadi faktor pendukung utama terhadap respon kebijakan Bank Sentral kawasan dalam menekan krisis yang diakibatkan oleh faktor eksternal. Namun, jika indikator makroekonomi antar negara anggota kawasan memiliki perbedaan yang cukup lebar maka respon kebijakan bank Sentral kawasan akan sulit diterapkan. Lebarnya perbedaan indikator makroekonomi antar negara kawasan tak menjadikan menutupnya peluang penerapan sistem single currency di kawasan ekonomi. Alternatifnya adalah negara anggota kawasan harus mampu memperkuat integrasi pasar modal, pasar uang dan mendorong pembentukan lembaga fiskal bersama dalam mengadapi krisis.
Peluang Mata Uang Tunggal ala ASEAN
Single currency yang akan diterapkan pada kawasan ASEAN dalam rangka perwujudan AEC 2015, memang memiliki konsep yang berbeda dan lebih kompleks dibandingkan dengan mata uang tunggal milik Uni Eropa. Penyatuan mata uang tunggal pada kawasan ASEAN memiliki peluang yang lebih baik dibandingkan dengan penerapan mata uang tunggal Uni Eropa apabila dilakukan secara kompleks dan bertahap, artinya penetapan sub sektor regional berperan penting dalam penentuan keberlangsungan maturity dari mata uang tunggal ASEAN. Selain dilakukan secara bertahap, mata uang tunggal harus mampu disesuaikan dengan tingkat konvergensi indikator makroekonomi dan derajat integarasi keuangannya.
Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam sub region ASEAN-3 yang terdiri dari negara Indonesia, Malaysia dan Singapura masih belum mampu mewujudkan mata uang tunggal karena integrasi keuangan yang relatif rendah, berbeda dengan sub region ASEAN-3 yang terdiri dari negara Malaysia, Thailand dan Singapura penerapan mata uang tunggal mampu diwujudkan, karena intergrasi keuangan antar negara tersebut relatif sama dan stabil. Dengan adanya hal tersebut, peran Bank Indonesia dan lembaga keuangan lainnya perlu diintensifkan kembali, optimalisasi terhadap lembaga keuangan makro dan mikro dan perluasan akses lembaga keuangan terhadap masyarakat bawah. Strategi, peran dan upaya lembaga keuangan termasuk Bank Indonesia sangat dibutuhkan dalam upaya perwujudan integrasi keuangan, sehingga penerapan keuangan tunggal mampu terwujud secara komples dan optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H