Mohon tunggu...
anisa dina
anisa dina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketulusan Seorang Ibu

8 Desember 2017   08:04 Diperbarui: 8 Desember 2017   08:54 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya.  Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa sibkecil dibperutnya. Seringkali ia bertanya, menangislah ia?  Tertawakah ia? Sedihkah atau bahagiakan ia didalam sana?. Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi Cinta yang pernah diberikannya, ketika itu mati pun akan di pertaruhannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran.

Detik itu,  sebuah episode Cinta baru saja berbutar. Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satupun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan kerja, kerabat maupun keluarga, kecuali anak. Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan terluka.

Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesan. Meskipun disaat yang sama pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak berhenti berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti ditengah jalan. Demi anak, Untuk anak, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil.

Saat menghadiri sebuah pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal baru kemarin sore ia membeli baju untuk si kecil.

Meski pun ia terkadang harus berhutang. Lagi -- lagi atas satu alasan, yaitu demi anak. Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yabg serba terbatas, ia melihat catatannya, dikertas itu tertulis:

1.Beli susu anak.

2.Uang sekolah anak.

Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lainnya. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritas utama. Bahkan, tak ada beras dirumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Tajjab dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.  

Duh IBU, semoga saya bisa menjawab pintamu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu ? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya, ibulah sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran, yaitu "cinta". Sekolah yang hanya punya satu guru yaitu "pecinta". Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama yaitu "anakku tercinta".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun