Mohon tunggu...
Anisa Aulia Rahma
Anisa Aulia Rahma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswi MTsN Padang Panjang

Hobi: mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Masih Anakmu kan, Bu?

16 April 2024   05:21 Diperbarui: 16 April 2024   05:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Roy, kamu diskors selama seminggu. Jangan sekolah sampai hukumanmu tuntas!"

Lagi -- lagi si kepala sekolah sialan itu! Mereka malah menghukum korbannya. Mereka terlalu bodoh untuk menyadari perbuatan anak -- anak bedebah itu.

Namaku Roy, aku tinggal bersama ibuku. Sejak dulu ayah meninggalkan kami tanpa kabar. Meskipun kami hanya berdua di rumah kecil, tidak masalah asalkan ibu tidak apa -- apa. Aku dibesarkan di lingkungan yang keras. Kalau ingin makan harus bekerja dulu. Ibu sudah renta. Tidak mungkin pula aku menyuruhnya bekerja. Setiap hari sepulang sekolah, aku beralih profesi menjadi kuli bangunan

"Aku diskors lagi, Bu. Sekarang lamanya seminggu."
"Ya ampun, Roy. Kamu kenapa lagi?" tanya Ibu dengan rautnya yang gelisah.
"Biasalah, Bu. Anak -- anak itu lagi. Tidak puas -- puas berurusan dengan Roy", jawabku ketus.
"Kamu tidak bisa begini terus, Roy. Nanti kalau kamu dikeluarkan mau jadi apa kamu!" Ibu makin gelisah akibat aku selalu terlibat masalah di sekolah.
"Mereka yang maksa Roy melakukan itu, Bu!"
"Sudah ribuan kali ibu bilang, Roy. Kamu fokus sekolah saja, jangan dengar kata mereka".
"Sudahlah, Bu. Roy mau tidur saja. Roy harus kerja besok. Tidak ada gunanya kita bahas ini. Mereka tidak akan jera."

Entah mengapa semua orang di sekolah menginginkanku untuk sirna. Mereka selalu mengolokku. Tapi aku tidak peduli akan hal itu. Tapi aku akan merobek mulut sampah mereka jika mencoba menghina ibuku. Aku tak akan segan menonjok mereka. Itulah yang membuatku sering berurusan dengan kepala sekolah.

Khusus untuk seminggu ini Roy bebas dari jangkauan mereka. Cahaya pagi terasa lebih cerah hari ini. Udaranya yang segar membuat Roy semangat untuk bekerja sebagai kuli. Ia berjanji akan membeli bubur ayam kesukaan ibu dan dirinya sepulang kerja.

Dimulai dari mengangkat semen, mengaduknya bersama pasir dan air, mengangkat tumpukan bata, lalu menyusunnya dengan adonan semen. Semua dilakukan Roy dengan semangat membara di dirinya. Panas terik pun tak dapat meggoyahkan dirinya. Akhirnya Roy selesai kerja saat menjelang malam. Sebelum pulang, ia harus memenuhi janjinya tadi pagi. Roy pun membeli bubur ayam di warung kaki lima yang terhampar hampir di seluruh penjuru kota.

Sesampainya di rumah, Roy membuka pintu dengan perlahan. Hari sudah larut malam. Dia tidak ingin membangunkan ibunya yang mungkin sudah terlelap.
"Roy pulang".
Sesuai dugaan, ibu sudah tidur. Roy langsung menyadarinya. Rumah mereka hanya terdiri satu ruangan dimana tempat tidur, masak, dan ruang tamu tergabung. Roy hendak membangunkan ibu untuk mengajaknya makan bersama.
"Bangun, Bu. Ayo makan", aku mengusap tangan dan pundak ibu dengan lembut. Aneh, tangan ibu terasa dingin dan kaku. Biasanya hanya suara sedikit saja ibu sudah terbangun.
"Ibu, bangun. Ibu belum makan, kan? Roy sudah bawa bubur ayam kesukaan ibu nih. Kita makan yuk!"

Wanita itu tak kunjung sadar. Curiga, Roy mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke hidung ibu untuk merasakan deru nafasnya. Nihil, Roy tidak merasakan adanya hembusan udara di jarinya. Lalu ia segera menempelkan telinganya ke dada kiri wanita itu. Hening, irama jantung sama sekali tak terdengar.

"Bu... Ibu kenapa? Bangun, Bu. Bangun!" kali ini Roy mengguncangkan badan ibu. Ibu masih bergeming.
Roy seketika panik lalu menggotong ibu keluar rumah. Roy melolong meminta bantuan kepada warga sekitar. Untungnya mereka mendengar lolongan tersebut dan segera membantunya. Diantara warga tersebut, ternyata ada seorang dokter. Dokter itupun mengidentifikasi keadaan ibu. Apa yang dilakukannya tidak dipahami oleh Roy, namun tetap mengharapkan ada kabar baik. Setelah beberapa pengecekan, dokter itu kini menghadap kepada Roy sembari menopang kedua tangannya ke pundak Roy.

"Bagaimana, Pak? Ibu saya masih hidup, kan?"
"Nak, kamu harus tabah, ya. Ibumu sudah tiada, nak", ucap dokter tersebut dengan nada penyesalan.
"Tidak, kau bohong. Ibu belum mati!" tanpa disadari air mata mulai mengucur di pipi Roy. Ia menepis tangan dokter tadi dan memeluk ibu erat -- erat.
"Ibu.. jangan meninggal dulu. Jangan tinggalkan Roy. Roy belum siap, Bu. Roy belum sukses menjadi anak yang ibu impikan, Bu.... M-maafkan Roy".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun