Mohon tunggu...
Anisa Aulia Febrianti
Anisa Aulia Febrianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi S1 Biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Saya merupakan seorang mahasiswa S1 Biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memiliki ketertarikan pada isu sosial tentang hak dan sejenisnya pada perempuan, isu lingkungan, serta memiliki kecintaan yang luar biasa pada kucing. Memiliki hobi memasak, mendengarkan lagu, serta membaca buku fiksi menjadikan saya terkadang tertarik untuk menulis beberapa cerpen atau sejenisnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lingkaran Setan dalam Berkeluarga: Bagaimana Memutus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

30 Oktober 2024   21:47 Diperbarui: 30 Oktober 2024   21:56 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, apa itu kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT? Secara umum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan di mana seseorang menggunakan kekuasaan atau wewenangnya secara tidak adil dan tanpa batas. Hal ini dapat dilakukan oleh suami, istri, atau anggota keluarga lainnya. Tindakan ini dapat mengancam keselamatan dan hak-hak pribadi setiap individu di rumah tangga, termasuk anak-anak, mertua, ipar, dan pembantu.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah yang marak sekali terjadi akhir akhir ini. Bahkan pada tahun 2023, sebanyak 5.000 kasus perceraian di Indonesia terjadi akibat KDRT.

Hal ini masih saja sering tersembunyi di balik pintu rumah, meskipun mengetahui dampaknya sangat besar terhadap kehidupan, terutama bagi sang istri dan anak. Semua orang seakan menutup mata dan enggan mengetahui walaupun menyadari bahaya KDRT karena masih kerap dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain. Padahal, KDRT adalah kejahatan yang tidak hanya melukai secara fisik tetapi juga melukai, bahkan menghancurkan secara mental serta mengikis harga diri korban perlahan.

Tercatat pada tahun 2009 dan 2016, sebanyak 4.790 kasus bunuh diri tunggal yang dialami oleh istri akibat mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka tersebut bukanlah hal yang sepele, melainkan sebuah indikator yang jelas bahwa banyak wanita yang merasa terjebak dalam situasi yang tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga menghancurkan mental dan emosional mereka.

Salah satu alasan mengapa kasus KDRT terus terjadi adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang bagaimana KDRT terjadi dan bentuk bentuknya. Banyak orang yang hanya menganggap KDRT hanya berupa kekerasan fisik, padahal bisa juga dalam berbagai bentuk seperti kekerasan emosional, verbal, dan finansial. Pelecehan emosional misalnya, dapat berupa manipulasi, pengucilan, hingga penghinaan yang dilakukan secara terus-menerus. Kekerasan seperti ini sering kali sulit dikenali, namun dampaknya bisa sangat mendalam, serta meninggalkan luka psikologis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkan.

Stigma sosial, dan tekanan menjaga citra rumah tangga yang "harmonis" sering kali membuat korban enggan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami. Korban sering kali merasa malu atau takut dipandang negatif oleh lingkungan. Tidak hanya itu, pertimbangan akan "masa depan anak" juga sering kali menjadi alasan korban enggan untuk mengakhiri hubungan pernikahan meskipun kekerasan terus terjadi.

Pada banyak kasus, korban justru menyalahkan diri mereka sendiri atau merasa bahwa tindakan pelaku adalah "kewajaran" dalam pernikahan. Padahal, tidak ada alasan yang dapat membenarkan kekerasan dalam hubungan rumah tangga entah bentuk atau alasan apapun itu.

Ketiadaan dukungan yang memadai bagi korban juga memperburuk situasi. Banyak korban KDRT yang merasa terisolasi dan tidak tahu harus mencari bantuan ke mana. Beberapa korban yang mencoba melapor pun tidak jarang dihadapkan pada proses hukum yang panjang dan melelahkan. Bahkan, sebagian korban malah disarankan untuk "berdamai" dengan pelaku demi menjaga keutuhan keluarga. Kondisi ini justru semakin memperparah trauma dan membuat korban merasa tidak berdaya.

Menurut saya, sangat penting bagi masyarakat untuk lebih membuka mata akan KDRT. Pemberian pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia perlu diberikan sejak dini untuk menanamkan nilai-nilai yang mendorong terciptanya hubungan yang sehat dan bebas kekerasan. Baik keluarga, sekolah, dan komunitas memiliki peran besar dalam menyuarakan bahwa kekerasan, apapun itu bentuknya adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung korban untuk berani berbicara.

Pemerintah juga sangat berperan penting dalam menangani kasus KDRT. Hukum dan kebijakan untuk melindungi korban harus ditegakkan secara lebih tegas. Program-program bantuan seperti pusat perlindungan, konseling psikologis, dan pendampingan hukum perlu diperluas dan dipermudah aksesnya. Korban perlu merasa bahwa mereka tidak sendirian dan ada bantuan yang siap mereka dapatkan ketika mereka membutuhkan.

Selain penegakan hukum, perlu ada gerakan sosial yang mendukung penghentian KDRT. Kampanye serta edukasi di lingkungan masyarakat harus terus digalakkan untuk mengubah pandangan bahwa KDRT bukanlah urusan pribadi yang harus ditutup-tutupi, melainkan masalah serius yang perlu diselesaikan secara bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun