Mohon tunggu...
anisa aprilia
anisa aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

i just wanna graduate

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sektor Industri Makanan Kemasan Halal di Indonesia

17 April 2023   02:07 Diperbarui: 17 April 2023   05:04 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sektor Industri Makanan Kemasan Halal di Indonesia

 

  • Masalah Ekspor pada Industri Makanan Kemasan Halal

Meskipun Indonesia memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, hal ini belum menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar produk makanan kemasan halal. Padahal potensi pertumbuhan industri halal semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk muslim dunia. Beberapa masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan ekspor produk makanan kemasan halal Indonesia adalah (i) kurang fokus dalam pengembangan produk makanan kemasan halal, karena masih mengutamakan ekspor komoditas pertambangan dan perkebunan, (ii) adanya pesaing dari negara non-muslim yang mengembangkan industri halal, dan (iii) Kurangnya pemahaman pelaku UMKM tentang pentingnya sertifikasi halal.

  • Analisis Masalah Ekspor pada Industri Makanan Kemasan Halal

Industri halal selama beberapa dekade terakhir terus berkembang pesat. Berdasarkan laporan dari The International Trade Centre, peluang sektor makanan dan minuman halal diperkirakan senilai USD 1 triliun dan diperkirakan akan terus meningkat pertumbuhannya. Hal ini didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan preferensi penduduk muslim dunia. Namun demikian, sebagai penduduk dengan muslim terbesar, Indonesia belum menjadi market leader produsen dan pengekspor produk halal. Hal ini menunjukkan masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan ekspor produk halal, yaitu:

  • Kurang fokus dalam pengembangan produk halal

Komoditas unggulan ekspor Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh komoditas yang berbasis pertambangan, dan perkebunan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, komoditas utama ekspor nonmigas Indonesia adalah lemak dan minyak hewan/nabati; bahan bakar mineral; serta besi dan baja. Pada periode Triwulan III-2021, ekspor non migas Indonesia mencapai USD 58 miliar, yang terdiri dari sektor industri pengolahan (USD 46,6 miliar), pertambangan (USD 10,7 miliar) dan pertanian (USD 1 miliar). Saat ini produk halal Indonesia yang telah diekspor ke mancanegara adalah produk makanan seperti saus olahan, pasta, ikan olahan, kopi dan makanan olahan; produk kosmetika seperti shampoo, produk perawatan rambut, produk perawatan kulit, bedak dan deodoran; serta produk obat-obatan yaitu produk yang mengandung vitamin A dan antibiotik. Negara tujuan ekspor untuk produk makanan dan kosmetik adalah Malaysia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, sedangkan untuk produk obat-obatan terbanyak diekspor ke Nigeria, Malaysia dan Arab Saudi. Di sisi lain, Indonesia masih memiliki potensi untuk mengembangkan produk halal serta peluangnya masih terus meningkat. Berdasarkan data The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, pengeluaran konsumen muslim untuk makanan halal meningkat 3,1% di tahun 2019, dari sebelumnya USD 1,13 triliun di 2018 menjadi USD 1,17 triliun dan diperkirakan akan meningkat menjadi USD 1,38 triliun pada tahun 2024. Potensi pengembangan industri halal di Indonesia sebenarnya sangatlah besar, hal ini karena beberapa faktor pendukung antara lain besarnya jumlah penduduk Indonesia, pertumbuhan industri halal lainya seperti sektor keuangan, dan pariwisata. Selain itu, Menteri Keuangan juga menyampaikan bahwa total nilai potensi ekspor makanan halal Indonesia baru mencapai US$229 juta dan jumlah ini dapat ditingkatkan lagi seiring meningkatnya kebutuhan makanan masyarakat muslim dunia. Hal ini karena banyak produk makanan Indonesia seperti margarine, wafer, biskuit, nanas olahan, kopi kemasan, ekstrak kopi, ekstrak malt, saus, makanan bayi, roti dan kue merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh negara OKI yang mayoritas memiliki penduduk muslim. Oleh sebab itu, Indonesia perlu fokus dalam pengembangan produk halal untuk memenuhi kebutuhan konsumen global.

  • Adanya pesaing dari negara non-muslim yang mengembangkan industri halal

Produk halal yang menjadi konsumsi masyarakat muslim, tidak hanya diproduksi oleh negara muslim. Fathoni dan Syahputri menyampaikan bahwa terdapat 2 tantangan dalam mengembangkan industri halal Indonesia yaitu dari sisi eksternal dan internal, dimana salah satu faktor eksternalnya adalah adanya beberapa negara Islam lainnya yang menjadi pesaing seperti Malaysia. Bahkan banyak produk muslim yang justru diproduksi dan dieskpor oleh negara yang mayoritas penduduknya non-muslim. Sebagai contoh, eksportir terbesar makanan halal masih dipegang oleh Brazil, Thailand dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 10,51%, 8,15 % dan 4,97% [21]. Produk halal yang diekspor ke negara OKI banyak diproduksi oleh negara yang minoritasnya Muslim, seperti Brazil, Amerika Serikat, dan Australia. Hal ini mempengaruhi perspektif masyarakat global bahwa halal merupakan isu internasional dan bukan hanya untuk masyarakat muslim saja. Selain itu, beberapa negara non-OKI juga bermitra dengan negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Brazil dan Uni Emirat Arab guna memasarkan produknya ke pasar halal yang sedang berkembang. Beberapa perusahaan multinasional juga berinvestasi untuk pengembangan produk halal. Salah satu contohnya adalah Ajinomoto, perusahaan penyedap rasa dari Jepang, dilaporkan menanamkan modalnya ke perusahaan Malaysia untuk memproduksi makanan halal. Menurut data The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 Indonesia, Malaysia, dan Uni Emirat Arab merupakan negara yang mendapat investasi tertinggi dalam ekonomi Islam, dan makanan halal merupakan salah satu sektor yang mendapatkan investasi tertinggi. Potensi peningkatan permintaan makanan halal yang semakin besar telah mendorong banyak negara untuk memproduksi dan mengekspor makanan halal. Oleh karena itu, persaingan antar negara pengekspor produk halal menjadi semakin ketat, sehingga diperlukan strategi dalam memenangkan persaingan.

  • Kurangnya pemahaman pelaku UMKM tentang pentingnya sertifikasi halal

Beberapa pelaku UMKM masih belum menyadari pentingnya sertifikasi halal, padahal sertifikasi halal dapat meningkatkan nilai jual produk dan daya saing produknya di pasar global. KADIN  menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam pengembangan produk halal di pasar global adalah kurangnya pemahaman dari pelaku UMKM tentang potensi produk halal serta perlunya sertifikasi halal yang dapat meningkatkan pertumbuhan bisnisnya. Padahal sertifikasi halal telah diterima oleh masyarakat dunia sebagai suatu standar produk yang perlu dipenuhi untuk memastikan jaminan kehalalannya. Selain itu, sebagian masyarakat juga kurang memiliki awareness tentang konsep halal sehingga hal ini berpengaruh pada pengembangan industri halal. Menteri Perdagangan juga menyampaikan bahwa 90% makanan dan produk yang beredar di Indonesia sudah halal, namun demikian banyak yang belum memiliki sertifikat halal atau bahkan belum mengurusnya. Oleh karena itu, pengurusan sertifikasi halal perlu dipermudah agar semakin banyak pelaku usaha yang mengurusnya.

  • Solusi Masalah Ekspor pada Industri Makanan Kemasan Halal

Dengan potensi dan peluang peningkatan permintaan produk halal yang terus berkembang seiring meningkatnya populasi muslim dunia, maka beberapa solusi yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor produk halal Indonesia adalah:

  • Peningkatan daya saing produk halal Indonesia

Untuk dapat memenangkan persaingan di industri halal global, produk yang dihasilkan harus memiliki daya saing yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A'yun, produk ekspor Indonesia masih memiliki daya saing untuk bisa berkompetisi dengan produk negara ASEAN lainnya. Salah satu produk unggulan berdaya saing Indonesia adalah kopi, sedangkan produk yang paling kurang berdaya saing adalah buah-buahan dan kacang. Saat ini komoditas kopi merupakan barang bebas ekspor, seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 19 Tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang menghapus ketentuan tentang Eksportir Terdaftar (ET) Kopi, sehingga pelaku usaha dapat langsung mengekspor kopi ke mancanegara. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor kopi di tahun 2020 sebesar USD 809 juta atau turun sekitar 7% dibandingkan tahun lalu yang mencapai USD 872juta. Namun demikian, secara volume ekspor kopi mengalami kenaikan dari sebelumnya sebanyak 355.766ton menjadi 375.555 ton di tahun 2020. Salah satu upaya dalam meningkatkan daya saing produk adalah dengan mengembangkan penelitian agar tercipta produk halal berkualitas. Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin  menyampaikan bahwa beberapa langkah strategis dalam upaya meningkatkan ekspor produk halal adalah: memperkuat riset bahan dan material halal untuk menghasilkan produk halal berkualitas, membangun Kawasan Industri Halal (KIH) dengan menyediakan insentif dan regulasi pendukungnya, dan membangun Sistem Informasi Manajemen Perdagangan Produk Halal yang memuat data dan informasi produk yang telah teregistrasi halal. Pembangunan halal center sebagai pusat penelitian dan pengembangan produk halal dapat menjadi salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk pengembangan industri produk halal. Selain itu, prinsip ketertelusuran dalam rantai pasok halal dapat membuat produk indonesia lebih berdaya saing dan dapat diterima oleh negara lain, terutama negara anggota OKI . Penerapan sertifikasi halal juga dapat meningkatkan daya saing produk halal. Komite Nasional Keuangan Syariah  juga tengah mendorong strategi nasional yaitu peningkatan halal awareness kepada masyarakat luas agar masyarakat selaku konsumen maupun produsen makanan dan minuman, dapat lebih memperhatikan sertifikasi halal. Selain itu, penerapan sertifikasi halal tidak hanya akan meningkatkan ekspor Indonesia namun juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya penduduk muslim dunia. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat mendukung peningkatan ekspor produk halal Indonesia dengan pemberian literasi kepada pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tentang sertifikasi halal. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan bantuan dan pendampingan kepada pelaku UMKM untuk dapat meningkatkan kualitas produk, desain dan pengemasan produk halal, agar produk yang dihasilkan menjadi lebih menarik.

  • Memaksimalkan akses pasar ekspor produk halal

Potensi pasar industri halal dunia diperkirakan akan terus meningkat. Menurut data dari The State of the Global Islamic Economy Report 2020-2021, total pengeluaran umat muslim dunia di tahun 2019 mencapai sekitar USD 2,02 milyar, yang dibelanjakan untuk kebutuhan di sector makanan, farmasi, kosmetik, fashion, pariwisata, dan sektor-sektor syariah lainnya, dan diperkirakan jumlahnya akan mencapai USD 2,3 triliun di tahun 2024. Hal ini didorong oleh kebutuhan masyarakat dunia akan produk halal, tidak hanya masyarakat muslim, namun telah menjadi tren gaya hidup dan berpengaruh terhadap perdagangan global. Namun demikian, sebagian pelaku UMKM masih kesulitan untuk mendapatkan informarsi tren permintaan pasar, dan peluang pasar di luar negeri, sehingga mencari-cari calon pembeli dari luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah dapat membantu dengan menyediakan informasi peluang pasar ekspor dengan mengoptimalkan peran dari perwakilan pemerintah di luar negeri, yaitu Atase Perdagangan, Indonesian Trade Promotion Center, Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Perwakilan negara juga dapat mengatur pertemuan (business meeting dan business matching) dengan mengundang calon pembeli dari negara setempat dan pelaku UMKM, sehingga dapat terjadi transaksi perdagangan. Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya dengan mengikutsertakan UMKM pada pameran perdagangan di luar negeri untuk dapat lebih memperkenalkan produk halal Indonesia di pasar internasional. Salah satunya adalah World Dubai Expo 2021 yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2021 hingga Maret 2022. Untuk dapat meningkatkan akses pasar produk halalnya di pasar global, pelaku usaha juga dapat memanfaatkan perjanjian perdagangan internasional yang telah disepakati, seperti ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) dan ASEAN-China Free Trade Agreement, untuk mendapatkan preferensi tarif, sehingga produk halal Indonesia dapat mengajukan pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk di negara tujuan ekspor. Preferensi tarif tersebut dapat diajukan dengan menyerahkan dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) yang menyatakan bahwa produk tersebut merupakan barang yang berasal, dihasilkan dan atau diolah dari Indonesia [6].

  • Mendukung UMKM ekspor dalam rantai pasok global

Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2924 disebutkan bahwa salah satu strategi utama untuk mendorong ekspor produk halal Indonesia semakin berkembang adalah dengan meningkatkan kapasitas UMKM agar menjadi bagian dari global value chain atau rantai pasok global industri halal. Penguatan UMKM ini dapat dilakukan melalui 4 (empat) program utama antara lain: (i) pemberian edukasi kepada pemilik usaha mikro, (ii) pemberian fasilitas pembiayaan, (iii) pembangunan database UMKM, dan pemberian literasi kepada UMKM [34]. Hal ini penting untuk memacu pertumbuhan usaha UMKM tersebut dan meningkatkan ketahanan ekonomi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, perlu dibangun pusat inkubasi bisnis di beberapa daerah sebagai tempat pembinaan dan pelatihan, yang dapat membantu UMKM untuk dapat menjadi bagian dari rantai nilai industri halal. The International Trade Center juga menekankan bahwa pelaku UMKM dapat berpartisipasi dalam rantai pasok global di sektor halal, karena potensi pertumbuhan makanan halal yang semakin besar. Selain itu, beberapa strategi lainnya yang dapat dilakukan untuk pengembangan industri produk halal adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang sertifikasi dan produksi produk halal, meningkatkan edukasi dan komunikasi kepada masyarakat, dan mengembangkan keterlibatan pelaku usaha dalam jaringan perdagangan produk halal di pasar global atau global value chain. Oleh sebab itu, keterlibatan UMKM dalam rantai pasok global perlu didorong dengan melakukan sinergi dengan perusahaan besar, dan memberikan pelatihan dan pendampingan untuk mendapatkan informasi terkait tren produk yang sedang digemari, akses pasar dan prosedur ekspor dan impor di negara tujuan ekspor produk halal.

  • Optimalisasi penggunaan e-Commerce

Salah satu strategi untuk dapat memaksimalkan peluang ekspor produk halal adalah dengan mengoptimalkan penggunaan e-commerce. Hal ini karena kemajuan digitalisasi telah mampu menembuh batas perdagangan antar negara. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwa e-commerce dapat menjadi sarana promosi dan berdagang bagi pelaku UMKM karena adanya kemudahan transaksi dan menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi dampak pembatasan ekonomi di masa pandemi. Penggunaan e-commerce juga dapat memotong rantai distribusi sehingga dapat mengurangi biaya dan menjadikan harga produk lebih terjangkau. Namun demikian, pemanfaatan e-commerce masih minim di kalangan pelaku UMKM.

Kementerian Koperasi dan UKM menyampaikan bahwa hanya 13,7 juta atau 21% dari total 64 juta UMKM yang memanfaatkan teknologi digital, oleh karena itu Kemenkop UKM menargetkan 30 juta pelaku usaha dapat terhubung dengan teknologi digital di tahun 2024. Selain itu, digitalisasi UMKM di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lainnya.

 Hal ini karena jumlahnya kurang dari 15% dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah dapat mendorong pemanfaatan e-commerce dengan memberikan pelatihan, dan pendampingan kepada pelaku UMKM yang memproduksi produk halal agar dapat mengakses pasar digital. Hal ini penting agar produk halal buatan Indonesia dapat diekspor ke pasar global.

  • Data Ekspor Bahan Makanan Halal Dunia

Pertumbuhan industri produk halal selama masa pandemi Covid-19 terus memberikan nilai positif. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mencatat ekspor bahan makanan halal Indonesia mencapai US$ 34 miliar atau Rp 483 triliun pada 2020. Jumlah ini setara dengan 17% dari total ekspor bahan makanan halal global yang mencapai US$ 200 miliar. "Permintaan pasar atas komoditas pangan terus membaik terutama aktivitas sektor usaha makanan halal dan pertanian," ucap Ma'ruf di acara Sharia Summit 2021, Rabu (22/9). Ma'ruf menyebut, nilai tersebut juga meningkat dari tahun sebelumnya. Tercatat, nilai ekspor bahan makanan halal Indonesia naik 13,33% dari US$ 30 miliar pada 2019. Realisasi nilai ekspor bahan makanan halal tanah air cukup baik karena didukung permintaan dari pasar global. Bahkan, permintaan tetap tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Permintaan ekspor bahan makanan halal ini didominasi oleh produk pertanian dan makanan halal jadi. Bahkan, sumbangan ekspor bahan makanan halal ini berkontribusi 24% dari total aktivitas usaha nasional. Berdasarkan pencapaian tersebut, Ma'ruf mengatakan bahwa produk halal Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Untuk itu, perlu ada berbagai dukungan kebijakan pada sektor halal ke depan. Adapun upaya yang sudah dilakukan pemerintah di antaranya, dengan membuat kebijakan sertifikasi halal gratis kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Lalu, membangun kawasan industri halal (KIH) di tiga lokasi, yaitu Bintan, Banten, dan Jawa Timur. Selain itu, tengah dipersiapkan pengembangan dua KIH di Nusa Tenggara Barat.

Peningkatan kapasitas pelaku usaha syariah di Indonesia juga terus didorong melalui pengembangan ekosistem halal value chain (HVC) pertanian terintegrasi, halal food, serta fashion muslim. Kemudian, dengan implementasi smart farming berbasis kelompok pesantren, pelaksanaan industri kreatif syariah, pelaksanaan Indonesia Industrial Muslim Exhibition, serta pemberdayaan unit usaha pesantren bersama seluruh stakeholder industri keuangan syariah. "Kita harapkan ekonomi keuangan syariah akan mampu membangkitkan ekonomi rakyat dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional," katanya. Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pengusaha lokal semakin berani menggarap industri halal untuk menguatkan posisi Indonesia di kancah industri halal dunia. Pasalnya, posisi Indonesia sebagai produsen industri halal masih kalah jauh dari Malaysia. Agus mengatakan, saat ini Indonesia berada pada urutan ke-empat sebagai produsen produk halal terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Malaysia, Arab Saudi (UEA) dan Turki. "Ini menjadi catatan kita untuk lebih meningkatkan produksi produk-produk halal, karena konsumennya shifting.

Jadi bukan hanya yang beragama muslim, tapi juga penduduk dunia yang non muslim sudah mulai mencari produk-produk halal," kata Agus Gumiwang dalam acara 'Kick Off Indonesia Industry Halal Awards 2021' secara virtual, Rabu (22/9).

Peringkat Indikator Ekonomi Islam Indonesia (Global Islamic Economy Indicator/GIEI) meningkat dari 5 menjadi 4 dunia. Salah satu yang mendorong kenaikan adalah dari makanan halal yang menempati posisi keempat dunia dengan skor 71,5. Faktor pendorongnya adalah adanya Jaminan Produk Halal dalam UU Nomor 33 tahun 2014 yang mewajibkan sertifikasi halal untuk semua produk halal. Sebagai informasi, secara umum skor GIEI Indonesia adalah 91,2. Peringkat teratas dunia masih ditempati oleh Malaysia dengan skor 290,2 dan Arab Saudi dengan skor 155,1. Uni Emirat Arab satu tingkat di atas Indonesia dengan skor 133.

  • Proses Internasionalisasi PT. Indofood Sukses Makmur 

PT. Indofood Sukses Makmur Tbk pertama kali melakukan ekspor pada tahun 1992. Produk yang mereka ekspor pertama kali adalah Indomie. Alasan utama mereka mengekspor Indomie pada masa itu ialah untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermukim di luar negeri dan merindukan cita rasa Indomie itu sendiri. Sasaran utama dalam kegiatan ekspor ini sebenarnya adalah negara yang memiliki banyak WNI yang menetap, seperti Hong Kong, Arab Saudi, Taiwan, Malaysia dan juga Singapura. Seiring waktu berjalan, Indomie semakin terkenal karena sering dibawa oleh para pelajar Indonesia yang di luar negeri. Maka dari itu, sasaran ekspornya semakin meluas dan hampir ke seluruh negara di dunia. Salah satunya adalah Nigeria (Mada, 2020). Hingga saat ini, PT. Indofood telah berhasil melakukan ekspansi produk Indomie ke lebih dari 80 negara. Sudah ada beberapa pabrik yang dibangun oleh PT. Indofood Sukses Makmur memiliki hasil penjualan secara signifikan. Salah satunya adalah Pabrik Indomie yang telah menyebar di beberapa negara seperti Turki, Maroko, Mesir, Suriah, Nigeria, Serbia. Dalam proses internasionalisasinya, PT. Indofood memiliki beberapa strategi. Diantaranya adalah availability, affordability, acceptability. Availibility merupakan cara bagaimana agar suatu produk dapat dijangkau dan mudah ditemukan oleh masyarakat dinegara pengimpor dan mudah ditemui oleh WNI. Dalam proses ini biasanya melibatkan duta besar Indonesia yang sedang bertugas di negara tersebut. Affordability merupakan proses marketing dengan cara memberikan harga terjangkau dan ekonomis sehingga mudah dikenal oleh masyarakat dinegara pengimpor. Yang terakhir adalah Acceptability yaitu cita rasa yang disesuaikan oleh selera masyarakat dimana produk tersebut diimpor (Uzo Uchenna, Nzegwu Louis, 2018). Seluruh proses yang dijalani oleh PT. Indofood Sukses Makmur tidak terlepas oleh bantuan dari beberapa pihak. Entah dari pemerintah maupun dari perusahaan asing. Presiden Joko Widodo dalam pembangunakan perekonomian Indonesia sangat mendukung peningkatan perusahaan perusahaan lokal agar dapat berinvestasi diluar negeri. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pembuatan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid pertama yang menyebutkan bahwa pemerintah akan mendorong daya saing industri nasional melalui debirokratisasi, deregulasi, penegakan hukum, meningkatkan kepastian hukum serta peran Indonesia yang merupakan negara industri (CNN, 2018). Hal tersebutlah yang membantu PT. Indofood Sukses Makmur dalam mengembangkan produksi Indomienya. Disisi lain, Joko Widodo juga memberikan surat mandate kepada setiap Duta Besar Indonesia untuk memperkenalkan produk asli atupun makanan khas dimana dubes tersebut ditempatkan.

  • Pendapat Para Ahli Ekonomi Modern dan Ahli Ekonomi Islam terkait Industri Makanan Kemasan Halal

Mastuki HS (Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)) dalam Ekosistem Halal dan Kepentingan Multi Pihak. Sertifikasi halal tak bisa hanya diartikan selembar sertifikat yang menandai produk telah ditetapkan halal. terdapat tiga konteks sertifikasi halal yang menjadi konsen BPJPH.

  • Pertama, sertifikasi halal menjadi pilar penting membangun ekosistem halal Indonesia. Sertifikasi halal berada pada posisi tengah (intermediate position) di antara mata rantai produk halal yang sangat penting dalam penentuan kepastian dan jaminan produk halal yang beredar dan dikonsumsi masyarakat. Karena posisinya "di tengah" itu, pelaksanaan sertifikasi halal sangat tergantung dan interdependensi dengan faktor-faktor lain.
  • Poin kedua, membangun ekosistem halal memerlukan kolaborasi dan sinergi besar antar pemangku kepentingan halal. Pelaksanaan sertifikasi halal (sebagai bagian dari jaminan produk halal) meliputi mata rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain sertifikasi halal juga berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI) dan pemeriksa atau pengujian produk (LPH). Fungsi pengawasan produk dilakukan oleh BPOM, peredaran barang/produk menjadi kewenangan kementerian perindustrian, perdagangan, pertanian, dan bea cukai. Kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri menjadi otoritas kementerian luar negeri. Belum lagi jenis usaha yang terdiri atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi dan pembinaan kementerian/lembaga lain (Kemenkes, Kemenkop UKM, Pemda, dan Kemendag).
  • Ketiga, kerjasama internasional jaminan produk halal. Salah satu isu penting kehalalan produk adalah masuknya produk dari luar negeri ke Indonesia. Selama ini, sertifikasi halal produk luar negeri dilakukan B to B (business to business cooperation). Namun dengan UU 33 tahun 2014 dan UU Cipta Kerja 11 tahun 2020, serta PP no 39 tahun 2021, kerjasama internasional dibangun atas dasar saling pengakuan dan keberterimaan sertifikat halal (mutual recognition and agreement, MRA). Pada level hubungan bilateral dan multilateral antar negara, keberadaan halal certification body memainkan peran penting untuk memastikan produk luar negeri yang masuk Indonesia sesuai standar kehalalan. Atau sebaliknya, dengan keberterimaan timbal balik, produk halal dalam negeri (ekspor) dapat diterima di berbagai negara karena sudah ada kesamaan standar halal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun