Beberapa waktu lalu, ramai di media sosial seorang pelaku pelecehan seksual yang dihakimi mahasiswa Universitas Gunadarma. Dilansir situs Kompas.kom, peristiwa bermula dari postingan di media sosial twitter mengadukan tindak pelechan seksual yang dialami mahasiswi Universitas Gunadarma, lalu potingan tersebut direpost oleh akun anakgundardotco. yang kemudian menjadi sorotan dan mahasiswa Gunadarma ramai-ramai mencari pelaku kemudian dihakimi didepan umum.
Video main hakim sendiri yang dilakukan mahasiswa Gunadarma kembali naik di media sosial, didalam video tersebut terlihat pelaku yang diikat, dipukuli, ditelanjangi hingga diberi minum urin. Tak lantas Tindakan tersebut mendapatkan pujian, warganet cukup mengecam dan mengatakan tindakan tersebut tidak pantas dilakukan oleh mahasiswa yang terpelajar terlebih dilingkungan kampus.Â
Dalam video tersebut memang tidak bermoral dilakukan oleh mahasiswa, bukannya terlihat menjadi pahlawan justru terlihat seperti kriminal. Namun, tidak sedikit yang mendukung main hakim tersebut agar memberikan efek jera terhadap pelaku pelecehan karena memang sulit mendapatkan barang bukti yang dapat menguatkan posisi dimata hukum.
Diketahui ternyata ada tiga korban pelecehan seksual, salah satunya berawal dari mengajak korban mengerjakan tugas di kamar kos pelaku kemudian mencium paksa dan meraba payudaranya, kemudian korban menepis dan menolak. Ada pula yang mendapat pelecehan verbal namun sudah terjadi sangat lama sehingga tidak mendapat bukti yang kongrit. Korban lain mendapatkan pelecehan dilingkungan kampus, sempat hampir dicium namun korban menepis.
Pelecehan kini menjadi tindak pidana yang dapat diproses secara hukum, kini sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Â didalam undang-undang tersebut secara terperinci memberikan ancaman pada tindak pelecehan seksual baik fisik hingga pemaksaan perkawinan.Â
Pelecehan yang dilakukan pelaku sudah tertuang dalam Pasal 5 UU TPKS yang berbunyi, "Setiap orang yamg melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan kepada tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 10. 000.000,-- (sepuluh juta rupiah."
Selain itu ada Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi NO. 30 Tahun 2021 sudah mengatur tindak pelecahan dan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dengan undang-undang yang ada korban dapat melaporkan pelaku kepada pihak yang berwajib. Sebuah tindakan yang telah melanggar hukum harus ditindak sesuai dengan perataturan yang sudah tertulis.
Pelaku kekerasan seksual maupun pelecehan harus di tindak secara tegas melalui pihak-pihak berwajib, namun tindakan main hakim sendiri juga tidak bisa dibenarkan. Terlebih lagi pelaku sampai ditelanjangi didepan umum hingga direcoki urin merupakan tindak pelecehan juga tindak perundungan. Hal tersebut juga telah melanggar HAM yang mana semua pengingkaran aturan juga perlu diusut secara hukum dan mendapatkan ganjaran sesuai tindak pelanggarannya.
Dengan adanya undang-undang perlindungan terhadap kekerasan serta pelecehan seksual semoga memberikan semangat serta memberikan keberanian kepada korban-korban pelecehan untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Menjadi korban pelecehan bukannyalah aib, justru korban harus medapatkan perlindungan serta dukungan dari lingkungan agar bisa mendapatkan keadilan atas dirinya sendiri sebagai makhluk hidup, namun tidak serta merta memberikan kesempatkan untuk main hakim sendiri karena tindakan terseebut juga tindakan kriminal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H