Suara itu seolah menghipnotis ku. Hanya dengan suara dia membuat ku mengangguk. Lemahnya aku.
"Saya Haidar Darmawan. Dua hari saya disini, saya belum tau namamu." Tangan itu terjulur.
Aku mencoba membiasakan diri. Aku tau resikonya nanti. Tapi, ini fenomena langkah. Untuk pertama kalinya ada yang mengajakku berkomunikasi di ruangan ini.
"Arini Rahma." Ku balas uluran tangan itu. Tangan yang tak pernah sedikitpun terbesit untuk ku sentuh, secara tiba-tiba datang dan menyerahkan dirinya secara percuma.
Aku tidak tau ini hanya sebuah imajinasi atau nyata. Jika ini hanya imajinasi, tak apa. Biar ku nikmati.
***
Ini dua hari setelah kejadian di mana secara tiba-tiba Haidar duduk di sebelah ku. Hari itu aku menghadapi resiko yang ada. Pulang sekolah, aku selalu mampir ke perpustakaan. Entah meminjam atau hanya sekedar membaca buku cerita. Itu selalu ku lakukan setiap pulang sekolah.
Sore itu sekolah sudah sepi. Hanya ada aku yang berjalan di koridor sekolah. Juga comulonimbus yang mengatapi hari sore ini. Namun, tepat saat aku melangkah berbelok mengikuti alur koridor, sebuah tangan mendorongku dengan kasar. Membuatku terjerembab ke lantai. Sakit. Buku cerita yang sedari tadi ku dekap pun entah kemana. Terlempar tak tau kemana.
Ku lihat Dara berdiri dengan wajah tak sabaran. Tangan kirinya juga ikut berdecak pinggang menambah ekspresinya kali ini. Belum lagi dua dayangnya yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Aku sudah menyadari resiko itu sejak pagi. Dan sorenya aku akan di eksekusi.
"Sepertinya, gue gak perlu jelasin lagi kesalahan lo apa."
Tangan kanan yang Dara sembunyikan di balik tubuhnya mulai nampak. Ada bulatan bercangkang di sana. Siap untuk mendarat di tubuh ku. Bisa ku tebak pulang nanti aku berbau amis.