Di sisi lain, anggapan yang menyudutkan perempuan berpendidikan tinggi yang ‘hanya’ mengurus rumah tangga mengisyaratkan bahwa kita memandang pekerjaan domestik terlalu remeh untuk dikerjakan oleh orang yang berpendidikan.
Menurut saya, sudah sepantasnya pekerjaan rumah tangga ini mendapatkan penghargaan yang lebih karena rumah adalah fondasi utama dan membangun fondasi bukanlah hal yang mudah. Jika seorang pengusaha mencari karyawan dengan Pendidikan yang baik untuk membesarkan perusahaannya, kenapa hal ini tidak diaplikasikan dalam membangun rumah dan segala isinya? Mungkin memang karena kita mengamini bahwa pekerjaan domestik adalah urusan yang kecil.
Jika kita mau mengubah paradigma berpikir tentang pekerjaan ‘mengurus rumah dan segala isinya’ ini dengan memberikan penghargaan yang setara dengan pekerjaan lainnya di luar rumah, menurut saya hal itu akan cukup membantu dalam memeperbaiki cara pandang dan perlakuan kepada perempuan, yang kemudian akan memberikan kesetaraan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.Â
Saya percaya bahwa pendidikan dalam makna yang lebih luas (bukan  pragmatis) berpengaruh besar dalam berbagai hal, termasuk urusan domestik. Sebab, rumah adalah fase awal dalam terbentuknya generasi baru dan itu bukan pekerjaan yang mudah.Â
Jika kita benar-benar memberikan penghargaan yang lebih pada pekerjaan domestik, sudah sepantasnya kita mendudukung perempuan untuk maju, berdaya dan mandiri, sehingga pada akhirnya kita dapat mengurangi ketimpangan gender yang ada dengan menjadikan peran laki-laki dan perempuan bukan sebagai susunan hierarchy, dimana peran laki-laki dianggap lebih tinggi, tetapi sebagai sebuah peran yang setara.
Di dalam tulisan ini, saya tidak bertujuan untuk menyatakan bahwa pekerjaan domestik hanya dan harus dilakukan oleh perempuan. Tetapi, saya coba memahami bagaimana ketimpangan gender hadir dari cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, yang secara tradisional dipandang sebagai pekerjaan perempuan.Â
Saya percaya bahwa peran perempuan di ranah publik sangat dibutuhkan, sebab perempuan memiliki sudut pandang dan pengalaman hidup yang unik yang sangat perlu untuk dipertimbangkan dan diakomodasi oleh wacana publik, dan hal itu hanya bisa disampaikan secara tepat oleh perempuan.Â
Tetapi, saya juga percaya bahwa perempuan berhak memilih peran dan kontribusinya sendiri, baik itu di dalam ataupun di luar rumah, tanpa harus merasa terintimidasi karena pilihannya. Dan, terlepas dimanapun ranah kontribusi yang dipilih oleh perempuan, perempuan berhak untuk maju dan berdaya, baik secara ekonomi, pendidikan dan aspek sosial lainnya.
Jika kita kembali kepada salah satu target kesteraan gender dalam SDGs yaitu ‘Recognize and value unpaid care and domestic work’, indicator keberhasilannya adalah proporsi waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan domestik berdasarkan jenis kelamin, usia dan lokasi. Dimana, semakin kecil perbedaan proporsi waktu perempuan dan laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan domestik, maka dinilai semakin baik. Oleh karenanya, perempuan dan laki-laki sudah seharusnya memiliki peran yang setara dalam pekerjaan rumah tangga.
Last, If we really think that doing housework and rising child are important, should we disregard these works and disempower women?
Source: