Kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia. Hal tersebut terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk memenuhi hak asasi tersebut, masyarakat sudah seharusnya menerima pelayanan kesehatan yang baik. Pelayanan kesehatan memiliki tenaga kesehatan sebagai tulang punggung, karena tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan di Indonesia sangat banyak jenisnya. Dalam Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan tahun 2011-2025, tenaga kesehatan ada 13 jenis tenaga, yaitu dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, perawat gigi, apoteker, asisten apoteker, sanitarian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis.
Tenaga kesehatan tersebut membutuhkan pelatihan untuk mendapatkan cukup pengetahuan dan keterampilan dalam melayani masyarakat sehingga kesehatan sebagai hak asasi manusia dapat terpenuhi. Sayangnya, tenaga kesehatan di Indonesia hingga saat ini masih belum merata. Sehingga pelayanan di kota dan desa sangat berbeda. Selain itu, belum meratanya tenaga kesehatan dikarenakan masih kurangnya tenaga yang tersedia.
World Health Organization menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan masalah kekurangan tenaga kesehatan paling serius baik jumlahnya yang kurang maupun distribusinya. Padahal, pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh rakyat perlu tenaga kesehatan yang kompeten.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, Indonesia masuk enam negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang kekurangan jumlah tenaga kesehatan terlatih baik di level dokter, perawat, maupun bidan. Keenam negara itu adalah Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Nepal, dan Myanmar. WHO mengidentifikasi keenam Negara tersebut sebagai negara-negara yang memiliki kurang dari 23 tenaga kesehatan termasuk dokter, bidan dan perawat, per 10.000 penduduk. Rasio 23 tenaga kesehatan per 10.000 perduduk dianggap sebagai batas minimal untuk mencapai cakupan 80 persen intervensi kesehatan yang paling esensial.
Mengutip data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai 20 Maret 2014, terdapat 95.976 dokter yang teregistrasi dan bekerja pada sektor kesehatan di Indonesia – baik di jajaran Pemerintah maupun swasta. Rasio jumlah dokter terhadap penduduk di Indonesia yang saat ini berjumlah 243,6 juta jiwa adalah 1 dokter untuk 2.538 penduduk. Rasio ini lebih tinggi dari rasio dokter ideal menurut WHO, yaitu 1 dokter untuk 2.500 penduduk. Berdasarkan jumlah tersebut, 17.507 dokter bekerja di Puskesmas, sehingga diperkirakan setiap Puskesmas rata-rata memiliki sekitar 1,8 dokter. Akan tetapi, data Kementerian Kesehatan menunjukkan 938 Puskesmas atau 9,8% dari 9.599 Puskesmas yang ada masih kekurangan atau bahkan tidak memiliki dokter yang diakibatkan oleh distribusi tenaga dokter di Indonesia yang belum merata. Sebab, ternyata masih ada beberapa daerah yang mempunyai kelebihan tenaga dokter, sedangkan daerah lainnya kekurangan tenaga.Â
Masalah distribusi tenaga kesehatan yang belum merata juga terjadi pada tenaga kesehatan lain seperti perawat dan bidan. Saat ini, ada 2,958 Puskesmas (30,8%) yang belum mempunyai sanitarian, 2,898 Puskesmas (30,2%) yang belum mempunyai tenaga gizi, dan ada 5.274 Puskesmas (54,9%) yang mempunyai tenaga analis laboratorium.
Kurang meratanya tenaga kesehatan masih menjadi problema bagi Indonesia. Kurangnya tenaga kesehatan membuat tidak semua sarana kesehatan bisa melayani masyarakat. Karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dan belum meratanya tenaga kesehatan, terkadang Rumah Sakit membatasi jumlah pasien. Oleh karena pembatasan tersebut, pasien pun rela antri, bahkan menginap di pelataran rumah sakit. Bahkan karena pihak rumah sakit membatasi kuota dalam satu hari, sampai ada pasien yang terpaksa harus kembali pulang karena datang saat kuota dalam hari tersebut sudah habis.
Yang diharapkan dari kondisi tersebut adalah tersedianya tenaga kesehatan secara merata yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitas, serta bermanfaat sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Kebutuhan tenaga kesehatan guna mendukung pembangunan kesehatan harus diperhatikan secara menyeluruh.
Dalam menangani tantangan tersebut, pemerintah bisa meninjau kembali kebijakan dan strategi kesehatan masing-masing serta menilai kembali pelatihan dan pendidikan yang telah ada untuk dapat meningkatkan produksi dan mutu penyelenggara layanan kesehatan, baik untuk pelayanan preventif maupun kuratif. Pemerintah dapat melakukan upaya untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, baik jumlah maupun jenisnya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi rakyat serta menempatkan tenaga kesehatan secara merata di seluruh Indonesia.
Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi sebagai tenaga kesehatan sudah semestinya bersedia untuk ditempatkan di daerah-daerah demi memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi, sama dengan masyarakat yang memiliki hak mendapatkan kesehatan, tenaga kesehatan pun memiliki hak-hak yang sekiranya dapat dipenuhi juga antara lain meliputi kesejahteraan dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan karirnya.