Mohon tunggu...
Juwita Anindya
Juwita Anindya Mohon Tunggu... -

love dancing, writing, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Anin

20 Juni 2014   22:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:58 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanya ingin menari. Menari dan mendapatkan apa yang aku inginkan dalam tarian itu. Salahkah aku? Bukankah setiap orang inginkan hal itu? Ingin mendapatkan apa yang diharapkannya adalah satu hal yang wajar. Ah, lebih baik aku menikmati setiap gerakan yang mengalir dalam jiwaku. Aku berusaha meresapi dan menghayati tiap gerak. Yang aku pikirkan saat itu adalah aku menari dan aku mendapatkan suatu hal yang aku inginkan.

*

Entah apa yang ada di pikiranku saat ini, aku ingin sekali menghabiskan liburanku yang cukup lama ini di rumah nenekku, di sebuah desa di Jawa Tengah. Apalagi saat mengetahui kalau orang tuaku sibuk bekerja. Menurutku, daripada harus menghabiskan waktu sendirian di rumah, lebih baik aku menginap di rumah nenek selama satu bulan sambil menemani beliau. Semenjak kakek meninggal, nenek hidup sendiri di rumahnya. Untunglah ada salah seorang anaknya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Om Hadi, putra ketiga nenek sengaja tinggal tidak jauh dari rumah nenek agar dapat menjaga nenek. Kini aku yang akan menemani nenek agar nenek tidak sendiri di rumahnya. Aku pun segera bergegas ke rumah nenek. Aku ingin sekali mendapatkan pengalaman baru di tempat nenek.

Sesampainya aku di rumah nenek, aku langsung mencium tangannya dan memeluknya erat. Aku memang merindukannya. Selama ini aku mengunjungi nenek hanya setahun sekali, pada saat hari Lebaran. Kini, aku akan tinggal bersamanya selama satu bulan penuh. Sepertinya nenek senang sekali. Aku pun ikut senang jika melihat nenek bahagia. Saat aku tiba di rumahnya, nenek sudah  menyiapkan makanan lezat untuk kusantap. Nenek pun sudah menyiapkan kamar untuk aku beristirahat. Sebuah kamar sederhana namun bersih dan rapi. Semoga aku kerasan tinggal di sini untuk waktu satu bulan.

Keesokan harinya, nenek mengajakku ke rumah seseorang. Rumahnya sederhana namun memiliki halaman yang cukup luas. Di halam rumah itu, aku melihat ada beberapa remaja seusiaku sedang belajar menari. Ah, mereka terlihat gemulai sekali, pasti mereka penari profesional pikirku.

“Nin, lihat itu sedang menari tari Jawa. Anin tertarik, ndak?” tanya nenek padaku.

“Wah, aku tertarik sih, Yang. Tapi aku ngga bisa nari itu, kayaknya susah, Yang.” Jawabku pada nenek yang biasa kupanggil ‘Eyang’.

“Sini, Eyang perkenalkan kamu ya ke Bu Sri.” Kata nenek sambil mengajakku  masuk. Bahkan aku tidak tahu siapa itu Bu Sri.

Setelah memperkenalkan aku  pada Bu Sri, nenek sepertinya asik berbincang-bincang. Karena merasa bosan, aku pergi saja ke halaman dan melihat gadis-gadis menari. Di situlah aku bertemu dengan Wening, penari sekaligus putri pertama Bu Sri. Wening gadis yang baik, sopan, dan ramah. Ia mengajakku berlatih menari di rumahnya mulai besok. Setelah aku berbincang-bincang dengannya ternyata usia Wening lebih tua satu tahun dariku. Kata nenek, aku harus memanggil yang lebih tua dengan kata ‘Mbak’.  Saat aku panggil Wening dengan sebutan ‘Mbak’, ternyata dia menolak. “Panggil Wening aja, ndak apa.” katanya.

“Anin, pulang ke rumah dulu, yuk!” ajak nenek sambil menghampiriku yang sedang duduk melihat Wening dan teman-temannya menari.

“Eyang, besok aku mau deh latihan nari sama Wening.” kataku.

“Ya bagus kalau begitu. Besok Eyang bawakan selendang, kain, dan stagen untuk kamu menari.”

“Stagen?”

“Iya, stagen. Dipakai dengan cara dililitkan ke pinggang untuk mengencangkan kain. Besok Eyang siapkan.”

Pagi kedua di rumah nenek telah tiba. Nenek membangunkan aku pukul lima pagi dan menyuruhku untuk Salat Subuh. Berat sekali rasanya bangun sepagi ini di hari libur. Setelah Salat Subuh, aku bergegas untuk tidur kembali, namun nenek melarangku. Aku harus membantu nenek menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Ah, ini kan liburan! Tapi apa daya, aku tidak mungkin membangkang pada nenek.

Saatnya latihan menari telah tiba. Nenek sudah membawakan aku satu tas berisi kain, selendang, dan stagen untuk aku pakai saat latihan. Aku langsung bergegas ke rumah Wening. Aku memang tertarik untuk belajar menari tari Jawa, hanya saja selama ini aku belum menyempatkan diri untuk belajar tarian tersebut. Sesampainya di sana, ternyata Wening dan teman-temannya sudah berkumpul dan bersiap untuk berlatih.

“Wening!” panggilku sambil menghampirinya.

“Anin, ayo sini! Siap-siap dulu ya kita pemanasan. Setelah pemanasan nanti aku bantu kamu memakai kain dan stagennya.” Sambut Wening dengan senyum manisnya. “Kenalan dulu sama teman-teman yang lain.”

“Halo, aku Anin.” Sapaku sambil mengajak salaman.

“Aku Asti.”

“Halo aku Dewi.”

“Aku Ratna.”

“Aku Sekar.”

“Yuk, kita mulai pemanasan.” Ajak Wening. Tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari dalam rumah Wening dan menghampiri kami yang sedang pemanasan.

“Wening, aku pulang dulu, ya.” ujarnya datar.

“Kamu jadi kan memerankan Arjuna di pentas tari bulan depan?” tanya Wening.

“Itu penari baru?” tanya laki-laki itu sambil melihat ke arahku lalu tersenyum. Aku pun segera membalas senyumannya. Kupasang senyum semanis mungkin.

“Itu Anin, cucunya Bu Hartini.”

Yauwes, aku tak pulang dulu.” Kata laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Wening. Kemudian wening menghampiri kami dan mulai latihan  menari.

*

Tiga minggu lagi akan ada pertunjukkan sederhana di balai desa. Wening mengajakku untuk ikut tampil dalam pertunjukkan tersebut. Aku semakin giat berlatih. Akupun mulai bisa menggerakkan badanku dengan lebih gemulai. Bu Sri, Ibunya Wening sebagai koreografer sangat baik dan handal dalam mengajari murid-muridnya menari.

Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bagi para penari. Tetapi, nanti seminggu menjelang pementasan, tiap hari adalah hari latihan menari. Aku memang merasa lelah, tetapi aku merasa senang dan tidak sabar untuk mengikuti pertunjukkan tersebut. Sabtu ini aku berencana meminjam sepeda tua milik nenek untuk berkeliling desa.

Sembari mengendarai sepeda nenek, aku melihat-lihat pemandangan desa ini. Di kanan  kiriku banyak sawah terhampar luas bagai permadani. Benar-benar pemandangan khas desa-desa di Indonesia. Sambil asik kukayuh sepeda tua nenek, aku bertemu dengan laki-laki yang waktu itu melempar senyum ke arahku. Ya, dialah laki-laki di rumah Wening. Laki-laki itu menyapaku. Aku segera memberhentikan sepedaku di dekatnya.

“Hai!” sapaku.

“Kamu Anin, kan? Cucunya bu Hartini?”

“Iya. Lo?”

“Aku Banyu.”

“Ooooh, Banyu.” Kamipun berbincang-bincang sesaat lalu Banyu mengajakku makan bakso enak di desa ini. Kini aku hanya duduk manis di belakang, biar Banyu yang mengayuh sepeda nenek ini. Entah mengapa aku merasa senang.

“Baksonya enak juga.”

“Yaaa tadi kan aku sudah bilang kalau baksonya enak, Nin.” Ujarnya sambil tertawa kecil. Kamipun larut dalam perbincangan yang semakin akrab di warung bakso Pak Djono.

Setelah puas ngebakso dan berbincang-bincang, Banyupun segera mengantarku kembali ke rumah nenek. Entah mengapa aku merasa senang berada di dekat Banyu. Ia baik dan menyenangkan. Bicara tentang Banyu, aku ingin menjelaskan sedikit tentang ada yang tadi ia ceritakan padaku. Usia Banyu dua tahun lebih tua dariku. Kini ia duduk di bangku kuliah semester enam. Ia kuliah di sebuah universitas di Jogja. Sama sepertiku, saat ini kami sedang libur kuliah.

Banyu juga aktif dalam kegiatan seni desa ini. Saat pertunjukkan seni nanti, ia  ditunjuk oleh Bu Sri sebagai Arjuna, sedangkan aku, Wening, dan gadi lainnya menari seolah-olah sedang memperebutkan Arjuna. Siapa yang mendapatkan Arjuna? Pastilah Wening.

Wening, gadis Jawa yang pintar menari  pastilah menjadi kembang desa ini.  Apalagi ia adalah anak dari Bu Sri, penari senior yang sudah cukup terkenal. Bu Sri cukup terpandang di desa ini. Siapa yang tak mengenal Wening. Dia cantik, gemulai, tetapi aku tidak terlalu mudah untuk mengenali dia. Wening seperti seseorang yang tertutup dan tak banyak bicara. Sebagai penari yang handal, Bu Sri dan Wening sangat menjaga penampilan mereka. Yang tidak habis pikir adalah, mereka selalu melilitkan stagen di pinggangnya sebelum berpakaian. Aku saja sudah tidak betah memakai stagen saat menari, rasanya sesak. Tetapi rasanya Bu Sri dan Wening sudah terbiasa dengan hal itu.

*

Hari demi hari berlalu terasa begitu cepat, tidak terasa sudah dua minggu lebih aku tinggal bersama nenek. Awalnya memang terasa membosankan, tetapi kini aku merasa nyaman tinggal di sini. Aku semakin dekat dengan nenek, om Hadi, Wening, dan juga Banyu.  Hari-hari yang kulewati bersama mereka sangatlah berharga. Aku merasa mulai berubah menjadi lebih baik dan disiplin. Nenek selalu mengajarkan aku hidup disiplin. Nenek juga memberikanku banyak nasihat yang berguna di kehidupanku kini dan nanti.

Hari ini hari Minggu, Banyu mengajakku pergi ke Jogja berdua dengannya. Aku dengan senang hati menerima ajakannya. Setelah izin pada nenek, aku dan Banyu melewati hari yang menyenangkan di kota pelajar itu. Banyu mengajakku jalan-jalan di Malioboro, jalan yang terkenal di Jogja. Kami membeli beberapa pakaian, menonton film di bioskop di sebuah mal yang terkenal di sana, serta makan malam bersama. Kami makan di angkringan khas kota Jogja. Hari ini adalah  hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku rasa perasaanku mulai ‘bermain’ di sini.

Setelah menghabiskan nasi kucing yang kami pesan, kamipun segera pulang kembali ke desa. Desa kami tidak terlalu jauh dari Jogja, kira-kira satu jam. Hari ini sungguh melelahkan namun menyenangkan. Banyu pun mengantarku sampai depan rumah nenek.

“Makasih ya, seru banget jalan-jalannya. Lo ati-ati ya pulangnya.” Kataku.

“Iya, aku seneng bisa jalan-jalan sama kamu. Kapan-kapan jalan bareng lagi ya. Sekarang aku pulang dulu, salam buat Eyangmu maaf aku ngga bisa mampir udah malam, ngga enak.”

“Ok.” Aku tersenyum manis. Ingin rasanya mendengar Banyu bicara kalau ia memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi rasanya tidak mungkin malam ini, terlalu cepat.

Keesokan harinya, sehabis aku mandi aku melihat ada om Hadi duduk di ruang tamu. Kata nenek ia ingin bicara denganku. Aku langsung menghampirinya.

“Ada apa, om?” tanyaku penasaran.

“Ada yang mau om bicarakan sama kamu.” jawabnya. Om Hadi langsung menjelaskan sesuatu hal yang membuatku kaget.

“Itu bener, om?” tanyaku sedih.

Ndak mungkin om mau bohong dan buat kamu sedih. Om ndak mau kamu melangkah terlalu jauh, Nin.”

Aku hanya terdiam. Aku tidak ingin pergi menari hari ini. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Aku takut bertemu Wening.

Sore harinya, Wening datang ke rumah nenekku. Ia mencariku. Aku kebingungan, serba salah. Setelah mendengar cerita om Hadi, aku menjadi tidak enak pada Wening. Tetapi aku sedih dan sakit hati karena aku terlanjur suka pada Banyu. Tak lama aku beranikan diriku menemui Wening yang sudah menunggu.

“Hai, Wening. Ada apa?” tanyaku pelan.

“Kenapa kamu kok tadi ndak latihan?”

“Oh, maaf ya tadi aku ngga enak badan.” Jawabku menghindar. Aku melihat nenek mengamatiku dari ruang tengah. Sepertinya nenek merasa tidak enak karena telah mengizinkanku pergi dengan Banyu kemarin.

“Mungkin kamu kecapekan habis pergi kemarin ya, Nin?” tanya Wening. Pertanyaan itu membuatku semakin tidak enak. Aku terdiam. “Yaudah, kamu istirahat aja. Besok latihan ya. Pertunjukkan semakin dekat.”

“Iya.”

“Oh, iya. Kemarin kamu pergi berdua sama Banyu ya?” Aku merasa seperti disambar petir.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Oh, begitu. Yaudah aku ndak maksud apa-apa, kok. Aku pulang dulu ya, Nin.”

Kini hatiku rasanya menjadi bercampur aduk. Jujur aku sedih mendengar kalo Banyu dan Wening sebenarnya sudah dijodohkan. Lalu untuk apa semua yang Banyu lakukan untukku selama ini? Aku juga merasa kesal, aku sudah terlanjur mencintai Banyu. Walau aku tahu perasaanku ini masih sangat mungkin dihilangkan, hati kecilku rasanya tidak ingin mundur dari perasaan ini. Aku masih ingin Banyu jadi milikku sepenuhnya. Aku harus membicarakan ini pada Banyu. Harus.

“Aku ngga dijodohin! Tapi Bu Sri, Ibunya Wening yang ingin aku menikahi anaknya!”

“Banyu, jujur aja.”

“Aku udah jujur, Nin. Harus bilang apa lagi. Aku juga sampai sekarang ngga bisa cinta sama Wening. Aku juga ingin kuliah dulu, lalu fokus pada karir dan membahagiakan keluargaku. Lagipula, kalaupun harus menikah secepat ini, aku akan menikahi orang yang aku pilih sendiri.”

“Kenapa ngga milih Wening?”

“Ya karena aku ngga cinta sama dia. Kamu ngerti kan maksudku? Perasaanku ke dia itu beda sama perasaan aku ke kamu.”

“Ke aku?”

“Maaf, Nin.”

Aku hanya manusia biasa. Salahkah aku saat tahu kalau aku dan Banyu sama-sama memiliki perasaan yang sama, kami menjadi ingin saling memiliki satu sama lain? Mungkin ini hanyalah cinta sesaat untuk aku, tetapi di saat seperti ini, aku justru semakin ingin mendapatkan Banyu.

“Aku sayang sama kamu deh.” Kataku untuk meyakinkan hati Banyu agar tetap menjaga perasaannya untukku.

“Anin?”

“Iya..”

Semenjak perbincangan itu, aku dan Banyu justru semakin dekat. Aku memang sengaja membuat Banyu yakin kalau aku dalah gadis yang layak dipilih. Lagipula, Wening juga belum tentu mencintai Banyu karena yang ingin ia bersama Banyu adalah Ibunya.

Hari demi hari berlalu, pertunjukkan seni tinggal menghitung hari. Hubunganku dengan Banyu mulai diketahui oleh orang-orang desa ini. Orang-orang di desa ini tidak terlalu mempermasalahkan hubunganku dengan Banyu, kecuali Bu Sri. Semenjak ia mulai mencium hubunganku dengan Banyu, perilakunya sedikit berubah padaku, bahkan pada nenekku. Tetapi ia tidak pernah membicarakannya secara langsung padaku. Bagaimana dengan Wening?

Sehari menjelang pertunjukkan, ada gladibersih di panggung balai desa. Seperti biasa, kami gadis-gadis menari tarian ciptaan Bu Sri tentang Arjuna yang diperebutkan gadis-gadis. Namun hanya ada satu pemenang yang mendapatkan hati Arjuna, yaitu Wening. Sebenarnya aku sangat iri pada Wening saat ia menari berdua dengan Banyu. Seharusnya gadis itu adalah aku. Rasa cemburu semakin datang kepadaku tiap kali aku melihat mereka menari berpasangan.

Setelah gladibersih selesai diadakan, aku langsung menghampiri Wening yang sedang merapikan kain. Aku melihat ia tetap memakai stagen gulung di pinggangnya meskipun sedang tidak menari.

“Wening, apa kamu cinta sama Banyu?” tanyaku tanpa pikir panjang. “Kamu ngga cinta kan? Tetapi Ibu kamu yang jodohin kalian?” lanjutku. Wening melihat mataku dalam. Aku melihat raut mukanya berubah. Sendu.

“Ibuku ingin Banyu menikahi aku..” jawabnya lirih. “tetapi itu semua sebenarnya karena permintaan aku..” lanjutnya.

“Hah??” aku tersentak. “Jadi kamu sebenarnya suka sama Banyu?”  Wening menundukkan kepalanya. Sepertinya ia malu untuk mengakuinya. Perasaanku kembali kalut. Wening adalah teman yang baik. Asumsiku salah selama ini.

Malam harinya, desa nenekku gempar. Seorang gadis ditemukan sudah tidak bernyawa di kamarnya. Gadis itu menggantung diri dengan stagen gulung miliknya. Gadis itu, tidak lain adalah Wening. Aku tidak tahu mengapa Wening mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Aku tidak pernah tahu kehidupan Wening, mungkin memang tidak pernah tahu. Kini aku tidak ingin berasumsi apapun lagi. Aku merasa bersalah, tetapi aku juga merasa bukan penyebab semua ini. Banyu menenangkanku, ia meyakinkanku kalau ada masalah lain yang lebih berat yang membuat Wening mengakhiri hidupnya. Nenek memelukku sambil berlinang air mata. Kini halaman tempat kami menari ramai oleh warga desa. Aku melihat Bu Sri dan suaminya menangis. Wening akan segera dimakamkan esok hari.

Aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku bukanlah penyebab semua ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Nenek, om Hadi, serta Banyu menenangkanku. Aku tahu sebenarnya mereka bertiga mungkin menilai kalau kematian Wening ada hubungannya denganku tetapi mereka tidak punya bukti untuk menuduhku. Aku berusaha sabar dan tenang. Aku meyakini diriku kalau kematian Wening disebabkan sesuatu yang lebih berat, bukan karena hubunganku dengan Banyu. Seandainya nenek dan om tahu tentang pembicaraanku dengan Wening tadi...

Keesokan harinya, kami semua ikut ke pemakaman Wening. Aku dan tim tari sangat sedih melepas kepergian Wening. Aku tulus dari dalam hati, Wening adalah teman yang baik. Anggap saja ia tidak pernah membunuh dirinya sendiri. Itu membuatku lebih tenang. Semoga Wening telah tenang di sana.

Ah iya, ada satu hal yang hampir kulupakan. Malam ini pertunjukkan akan segera berlangsung. Bagaimanapun, pementasan harus dilakukan karena kami mewakili desa ini. Kami menari tanpa Wening. Aku dipercaya untuk menggantikan peran Wening. The show must go on, baby. Kini aku menari berpasangan dengan Banyu. Walaupun gerakanku tidak sama dengan gerakan yang telah diajarkan pada Wening, aku lah si pemenang. Aku yang kini memenangkan hati Arjuna. Aku dan Banyu menari bersama. Aku melihat matanya, aku memang mencintainya. Entah mengapa, aku merasa bahagia.

Tiba saatnya liburanku hampir usai. Aku harus segera kembali ke Jakarta dan bersiap untuk kuliah. Banyupun begitu, sebentar lagi ia akan kembali ke Jogja. Kami tetap berhubungan dan berjanji akan terus menjaga hubungan ini. Entah sampai kapan hubungan jarak jauh ini akan bertahan, itu urusan nanti.

Sebelum pulang, aku harus berpamitan pada teman-temanku serta pada Bu Sri. Aku memang takut untuk menghampiri Bu Sri. Aku takut ia sebenarnya marah padaku dan menyalahkanku atas kematian anaknya.  Tapi aku harus beranikan diri, rasanya tidak sopan jika aku kembali ke Jakarta namun tidak berpamitan dengannya. Ternyata dugaanku salah. Bu Sri tetap menyambutku dengan cukup hangat. Ia memberiku sebuah surat tertutup bertuliskan ‘untuk Anin’.

Sambil berjalan kaki kembali ke rumah nenek, aku membuka surat itu.

Anin,

Banyu kini udah memilih, dia pintar ya. Dia memilih kamu, yang jelas sederajat sama dia, berpendidikan, tidak seperti aku.

Selamat untuk kalian. Aku tidak berhak ganggu kalian.

Tolong jangan bilang siapapun tentang pembicaraan hari ini, aku malu kalau ada orang lain tau kalau aku yang minta dinikahi sama Banyu.Aku benar-benar malu.Aku terpaksa jujur sama kamu tentang perasaan aku.

Wening.

Hatiku hancur membaca surat itu. Aku benar-benar terkejut. Kini semuanya jelas, semua benar-benar jelas. Ya, sudah jelas akulah penyebab kematian Wening. Inilah yang kudapat dari liburan panjangku. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun