Mohon tunggu...
Juwita Anindya
Juwita Anindya Mohon Tunggu... -

love dancing, writing, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merah Itu Sempurna

24 Juni 2014   18:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di dalam kelas penulisan aku melihat sebuah halaman berisi iklan. Aku melihat sebuah iklan apartemen dengan gambar dapur yang indah serba mewah dan merah. Aku jadi teringat seseorang. Bukan, bukan satu orang melainkan dua orang. Dua sejoli yang berbahagia, tapi.. Tunggu dulu, aku harus mulai dari mana?

Aku kenal dengan seorang wanita. Sebut saja dia Mawar. Hidupnya sempurna, punya segalanya. Kecantikan, kekayaan, kecerdasan, semua ia punya. Semua teman-temannya sangat iri padanya.  Hidupnya terlalu sempurna untuk dibayangkan, apalagi setelah ia menikahi seorang pria yang juga nyaris sama sempurnanya seperti dia. Sungguh sempurna. Mawar adalah pribadi yang kuat, mandiri, percaya diri, dan sangat menjunjung tinggi kesempurnaan. Bisa juga disebut perfeksionis. Sedangkan suaminya adalah pribadi yang lebih lembut, pendiam, dan tertutup. Tapi satu yang sangat terlihat di mata pria itu bahwa ia sangat mengagungi Mawar. Semua yang Mawar minta pasti akan dikabulkan oleh sang suami tercinta. Entah mencintai atau mengagumi atau mengidolakan yang pasti mereka sudah menikah dan hidup bahagia.

Tapi tunggu dulu, seorang Mawar bukanlah seorang yang mudah. Ia bahkan masih mempertanyakan untuk apa ia menikah. Sangat sulit baginya untuk menerima kehadiran orang lain di dalam hidupnya. Pikiran-pikiran buruk mulai merasukinya. Mawar mulai takut jika suaminya kelak akan memintanya untuk memiliki anak, menjadi ibu rumah tangga, dan sebagainya. Pikiran-pikiran itu mulai mengganggunya.

Suatu ketika sang suami berkata pada Mawar “Aku ingin mencoba masakanmu, sayang.” Sayangnya, kata-kata itu bagai petir siang bolong bagi Mawar.  Mawar tidak bisa memasak. Ia tidak ingin ada satu kekurangan yang terlihat di mata suaminya. Mawar berusaha diam dan menjawab “Kali ini aku ingin dapur yang bagus untuk memasak. Lengkap dengan semua warna merah, warna kesukaanku.” “Kamu tidak suka dapur yang sekarang?” Tanya sang suami. “Tidak nyaman untuk memasak. Aku ingin semua serba merah.” Kali ini suaminya berusaha menurutinya lagi.  Tak terlalu lama setelahnya, dapur mereka sudah berubah, cantik, mewah, berwarna serba merah. Mawar masih mencari alasan untuk tidak memasak.

“Aku ingin kompor dan oven yang berwarna merah juga. Kamu harus carikan.” Kata Mawar. Sang suami menatap mata Mawar dalam, “akan aku carikan.” Kemudian ia pergi meninggalkan Mawar di dapur baru itu.

Tak lama, sang suami mendapatkan kompor dan oven berwarna merah yang entah darimana asalnya.

Sang suami berbicara lagi kepada Mawar “Dapur ini sudah sesuai dengan keinginanmu, aku ingin sekali mencoba masakanmu.”

Mawar ingin kembali berdalih untuk menutupi kekurangannya dalam hal memasak. Tapi ia tak mendapatkan ide. Dengan terpaksa ia menjawab “Akan aku masakkan untukmu nanti malam, ya.”

Ketika sore mulai tiba, Mawar masih tidak dapat menemukan ide apa yang akan ia masak untuk suaminya malam itu. Ia tak mau kesempurnaannya hilang sesaat hanya karena ia tidak bisa memasak. Ia segera mencari cara untuk berdalih. Ia melihat sebuah pisau berwarna oranye di dapur. Kemudian terlukis senyum kecil di wajahnya.

“Kamu lupa satu hal, pisau ini warnanya oranye, bukan merah. Aku tidak suka dan tidak mau menggunakannya untuk memasak. Kamu carikan dulu yang berwarna merah, ya.”

Sang suami terdiam terpaku menatap mata Mawar. Ada hal yang sulit diartikan. Bukan, bukan dari Mawar. Tapi dari mata itu, mata sang suami. Rasa kagum dan mengagungkan Mawar kini bagai tergores pisau. Kecewa yang luar biasa. Tak ada kata dapat mengungkapkan kekecewaan itu.

“Kamu ingin yang berwarna merah?” tanyanya hambar.

“Iya, kamu tahu kan aku suka semuanya sempurna. Merah sempurna.”

Bagaikan kilat menyambar, pisau itupun berubah menjadi merah. Sempurna. Sang suami menjatuhkan sebilah pisau yang ia pegang. Merah. Ia kemudian jatuh terduduk. Lemas. Mawar itu sudah layu, kemudian mati.

“Kamu ingin pisau merah, kan? Bagaimana sekarang? Sudah bisa masakkan untukku?” Tanya sang suami sambil menatap istrinya. Mawar terdiam, tak menjawab. Darah mengalir dari tubuhnya. Sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun