BIOGRAFI SINGKAT PENDIDIKAN WAHID HASYIM
Wahid Hasyim di lahirkan di Jombang 1 Juni 1914 putra pertama dari pasangan KH Hasyim Asyari dan Nyai Nafiqah. Ayahnya di kenal sebagai founding father organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Masa kecilnya di habiskan dengan menempuh pendidikan di Madrasah Salafiyah di Ponpes Tebuireng, Jombang. Wahid Hasyim muda sempat juga mencicipi ilmu di beberapa pesantren di Pondok Siwalan yang merupakan pondok tua di Panji, Sidoarjo. Setahun kemudian dia pindah ke Pondok Lirboyo Kediri. Menjelang remaja di usia 15 tahun, di tahun 1929 dia kembali ke Tebuireng. Dia tidak hanya mendalami ilmu agama, tapi juga tertarik belajar Bahasa Inggris, Belanda yang di perolehnya dari sang ayah KH Hasyim Asyari, serta pemikirannya mulai kritis tentang pergolakan dari kelompok masyarakat golongan luas. Terlihat dari beberapa bacaannya seperti majalah “Penyebar Semangat, Pandji Pustaka, Daulat Rakyat, Ummul Qurra dan lainnya terutama majalah terbitan dari Timur Tengah”. Wahid Hasyim menunaikan haji di usia 18 tahun sekaligus mendalami ilmu agama di Mekkah dan saat kembali ke tanah air, Wahid Hasyim mulai menyalurkan ilmunya dengan mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng atas persetujuan Ayahnya. Setelah mengajar, sepak terjang Wahid Hasyim semakin meluas. Pada tahun 1938 dia mulai aktif di organisasi NU sebagai anggota pengurus ranting desa Cukir bidang Tanfidhiyah atau bidang politik dan keagamaan. Tak berselang lama, setahun selanjutnya Wahid Hasyim di percaya menjadi sekretaris Nahdlatul Ulama di Jombang. Karirnya naik secara berjenjang seiring waktu sesuai mekanisme yang ada di tubuh organisasi dengan di rekomendasikannya Wahid Hasyim di tahun berikutnya sebagai anggota pengurus besar NU Surabaya di bidang ma’arif atau pengajaran dan pendidikan.
PERAN PENTING WAHID HASYIM DALAM PERUMUSAN DASAR NEGARA
Berdasarkan sumber literasi yang tersirat sebelumnya, sebelum Kemerdekaan, Wahid muda aktif dan terlibat dalam organisasi NU, juga di MIAI ( Majelis Islam A’la Indonesia ) dan di Masyumi. Selanjutnya Wahid Hasyim tergabung dalam BPUPKI, yang bertujuan untuk merumuskan dasar Negara Indonesia. Dalam pembahasan ini ada pertentangan kuat antara kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan islam dan kelompok yang menginginkan Indonesia sebagai negara sekuler tanpa intervensi agama. Dengan adanya perdebatan seputar ini, yang sering berlanjut di setiap sidang akhirnya pada tahun 1945 Presiden Soekarno, memutuskan untuk mengambil tindakan membentuk Panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang yaitu : Wahid Hasyim [sebagai anggota termuda saat itu ], H. Agus Salim, Abikoesno Tjkrosoejoso dan Abdul Kahar Muzakir yang merupakan 4 tokoh perwakilan dari kelompok islam. Sedangkan 5 tokoh yang dari kelompok Nasionalis ada Soekarno, Mohammad Hatta, Mr A.A Maramis, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin. 9 orang yang tergabung dalam kepanitiaan tersebut akhirnya berhasil meruuskan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”. Namun ketika proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, ada salah satu pihak yang merasa keberatan dengan isi dari sila pertama yaitu salah satu perwira Angkatan Laut dari Jepang, dengan alasan penduduk Indonesia Timur mayoritas bukanlah pemeluk islam. Setelah melalui perdebatan, pertimbangan serta persetujuan dari beragam kalangan, akhirnya disepakati bahwa sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya” di penggal menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” berdasarkan usul dari Wahid Hasyim yang sudah di nilai sesuai dengan Tauhid Islam,juga pada titik inilah dapat di implementasikan Pancasila sama artinya mengamalkan Syariat Islam dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini memiliki makna bahwasannya Indonesia Negara Indonesia bukanlah negara sekuler atau negara islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan. Oleh karenanya dapat di simpulkan bahwa peran Wahid Hasyim sangat penting sebagai fasilitator antara keinginan kelompok islam untuk menjalankan syariat agamanya dan prinsip demokrasi yang menjadi dasar Pancasila. Kesepakatan tersebut di tekan agar tidak ada perpecahan lagi antar umat beragama.
KIPRAH WAHID HASYIM SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA
Pasca Indonesia merdeka di tahun 1945, Wahid Hayim di angkat menjadi Menteri Negara Urusan Agama dari tahun 1945 – 1949. Selanjutnya di tahun 1949-1950 sebagai Menteri Agama RIS ( Republik Indonesia Serikat ). Setahun setelahnya Wahid Hayim di angkat sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama pada tahun 1951. Di tahun 1950-1953 Wahid Hasyim di angkat kembali menjadi Menteri Agama Indonesia di Kabinet Natsir. Saat menjabat sebagai Menteri Agama, Wahid Hasyim mengadakan beberapa kebijakan diantaranya merombak susunan kementrian Agama yang awalnya bergabung dengan kementerian lain, di ganti menjadi kementerian yang berdiri sendiri. Selain itu Wahid Hasyim juga memperbaiki badan urusan Haji Indonesia, serta mendirikan lembaga Pendidikan seperti (PGAN) Pendidikan Guru Agama Negeri di setiap karesidenan, mendirikan (SGHN) Sekolah Guru Hakim Agama Negeri di Yogyakarta, Bukittinggi, Bandung dan Malang, juga PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama islam Negeri di Yogyakarta. Kebijakan-kebijakan tersebut tertuang dalam surat Keputusan yang di sahkan oleh Kementerian Agama dan Presiden. Adapun dampak dari kebijaknnya itu menjadikan sesuatu yang positif dalam urusan pendidikan agama islam Indonesia yang lebih berkembang. Atas kontribusinya yang sangat besar memajukan dunia Pendidikan di Indonesia, beliau di anugerahi Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No 206 tanggal 28 April 1964.
Wahid Hasyim menikah di usia 25 tahun dengan Nyai Hj Solichah, putri KH Bisri Syansuri dan di karuniai enam anak, yaitu : Adurrahman Wahid, (Presiden RI ke empat), Aisyah Hamid, Sholahudin Wahid, Umar Wahid, Lily Wahid, dan Hasyim Wahid. Wahid Hasyim . Di akhir perjalanan hidupnya, Wahid Hasyim meninggal pada usia muda 39 tahun di Cimahi saat perjalanan hendak menghadiri rapat NU pada tanggal 19 April 1953. Wahid Hayim di makamkan di Pesantren Tebuireng Jombang.
Refrensi :
Wahid Hasyim menikah di usia 25 tahun dengan Nyai Hj Solichah, putri KH Bisri Syansuri dan di karuniai enam anak, yaitu : Adurrahman Wahid, (Presiden RI ke empat), Aisyah Hamid, Sholahudin Wahid, Umar Wahid, Lily Wahid, dan Hasyim Wahid. Diakses pada tanggal 30 September 2024 dari kemenag.go.id
PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama islam Negeri di Yogyakarta. Diakses pada tanggal 30 September 2024 dari www.repository.uinjkt.ac.id