Tidak bisa dipungkiri, semenjak adanya pandemi COVID-19 sektor ekonomi, sosial—atau bisa kita anggap semua sektor--mengalami kemunduran. Kita terpaksa harus tetap berada di rumah untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Karena hal tersebut, untuk terus dapat menjalankan fungsi-fungsi pada berbagai sektor kehidupan mulailah digunakan aplikasi video conference. Aplikasi video conference ada berbagai macam, seperti Zoom, Google Meet, Skype, dan lain-lain. Diantara berbagai aplikasi tersebut, aplikasi video conference yang paling banyak digunakan adalah ‘Zoom’.
Pada awalnya, banyak orang yang setuju bahwa Zoom merupakan aplikasi yang efektif untuk belajar, meeting, dan lain-lain. Tapi, lama-kelamaan banyak sekali protes yang timbul dari masyarakat terkait penggunaan Zoom. Contohnya dosen di tempat saya kuliah, yaitu Universitas Airlangga, terkadang mengungkapkan kekesalannya terhadap kegiatan belajar yang dilakukan secara online ini. Mulai dari mahasiswa yang tidak menjawab saat ditanya, mahasiswa yang selalu offcam, sampai kesal pada istrinya karena beliau tetap menyuruh dosen saya melakukan pekerjaan rumah saat sedang melakukan online meeting.
Ibu saya juga sering mengeluh karena semenjak maraknya penggunaan Zoom (atau aplikasi video conference lainnya), sering dilakukan meeting mendadak bahkan di hari libur sekalipun, karena atasannya menganggap “Kan meeting nya online, jadi bisa dilakukan dimana saja dan bisa lebih santai,” sampai muncullah istilah ‘video call fatigue’ dan ‘Zoom burnout’.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak orang yang menganggap remeh aktivitas yang dilakukan secara online. Padahal, pertemuan secara online tidak kalah menguras tenaga jika dibandingkan dengan pertemuan secara offline. Mengapa bisa demikian? Mari kita bahas!
Online meeting memerlukan banyak konsentrasi karena saat kita hadir dalam online meeting, sulit bagi kita untuk menangkap gestur maupun ekspresi yang diberikan oleh lawan bicara. Pun jika kita berhasil menangkap gestur atau ekspresi yang diberikan, terkadang ada beberapa hambatan lagi, contohnya, delay, dan layar yang nge-freeze. Oleh karena itu, menggunakan aplikasi video conference membutuhkan banyak konsentrasi untuk terus terhubung dengan pembicara, maupun untuk menangkap informasi yang disampaikan dengan baik.
Lalu, saat kita melakukan online meeting, pergerakan kita menjadi terbatas. Kita harus terus duduk diam dan fokus pada layar agar bisa menangkap informasi yang disampaikan dengan baik. Hal ini membuat kita cepat bosan dan merasa lelah karena keterbatasan gerakan. Sedangkan bagi pembicara, terkadang dibutuhkan gerakan atau gesture kecil agar audiens cepat mengerti hal yang ingin disampaikan, dan juga agar audiens tidak cepat bosan dengan materi yang disampaikan.
Yang ketiga, dibutuhkan sambungan internet yang baik untuk terhubung dengan Zoom atau aplikasi media conference lainnya. Terkadang hal ini dapat menjadi masalah, terutama bagi orang yang berada di daerah yang belum memiliki akses internet baik, juga bagi orang yang tidak memiliki Wi-Fi dan tidak punya uang untuk membeli kuota.
Dan yang terakhir, karena banyak sekali orang yang menganggap remeh online meeting, akhirnya banyak online meeting yang diadakan secara mendadak, dan sering juga dilakukan pada saat jam istirahat. Seakan-akan kita tidak diberi waktu untuk istirahat, karena banyak yang menganggap ‘hanya’ online meeting.
Kejadian - kejadian yang sudah saya cantumkan di atas seharusnya bisa dihindari atau diminimalisir jika semua orang menyadari dan paham akan dampak dari online meeting itu sendiri. Sayangnya, masih banyak orang yang belum mengerti dampak penggunaan aplikasi video conference ini.
Sumber:
Jones and Hafner, (2021), Understanding Digital Literacies a Practical Introduction (2nd ed). New york, Routledge, 127-129