Mohon tunggu...
Anindya WindawatiC
Anindya WindawatiC Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Have a nice day

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Analisis Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Film "The Social Dilemma"

15 Juli 2021   22:41 Diperbarui: 22 Juli 2021   10:18 4119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film The Social Dilemma adalah sebuah film dokumenter yang bercerita tentang pentingnya sosial media dan membeberkan sisi gelap teknologi internet, ditenagai oleh algoritme hingga akhirnya membawa pada sebuah ke-dilema-an. Film ini mengupas beberapa hal yang mengerikan sebagai dampak dari penggunaan sosial media, mulai dari pengawasan secara diam-diam terhadap aktivitas penggunanya serta perekaman dengan hati-hati hingga memanipulasi tampilan feed supaya individu tak bisa lepas dari media sosial.

Film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski ini memberikan kesadaran dalam menggunakan sosial Menariknya, film dokumenter ini menampilkan wawancara dengan berbagai sosok di balik layar kesuksesan media sosial ternama seperti Google, Firefox, Mozila Labs, Facebook, Twitter, Instagram, dan platform media sosial lainnya. Tak hanya itu, film ini juga memberikan cuplikan beberapa ilustrasi adegan. Hal ini tentunya mempermudah penonton untuk semakin memahami pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Namun ironinya tanpa disadari, film ini menjadikan kekhawatiran banyak pihak dengan dampak berkepanjangan yang akan terjadi di kemudian hari.

 Secara umum, film dokumenter The Social Dilemma menceritakan tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan media sosial di masyarakat. Narasumber yang memberikan gambaran mengenai dampak[1]dampak negatif tersebut adalah para mantan pegawai dan eksekutif di perusahaan yang bergerak dalam bidang media sosial, diantaranya Facebook, Twitter, Instagram, Google, YouTube, dan Pinterest. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Metode tersebut sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh peneliti, yakni dengan menelaah tanda[1]tanda yang terkandung dalam film The Social Dilemma. Unsur-unsur yang menjadi data pada penelitian ini diantaranya adalah gabungan gambar[1]gambar bergerak, visual, audio, maupun bahasa tubuh pemeran dalam film tersebut. Pengamatan dilakukan dengan tujuan mendapatkan hasil penelitian deskriptif mengenai makna semiotika dalam film dokumenter The Social Dilemma. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menonton, mengamati, dan mendokumentasikan beberapa scene film yang mengandung pemikiran terhadap fenomena akibat media sosial. Selanjutnya, peneliti menganalisis data tersebut dengan menggunakan teori semiotika Charles Sanders Pierce. Berikut hasil analisis penulis mengenai tanda-tanda yang mengarah pada dampak negatif dari penggunaan media sosial. Ilustrasi tangan, notifikasi, dan pengguna media sosial Dalam scene tersebut, digambarkan beberapa tangan berwarna biru yang melambangkan pekerja di perusahaan media sosial bekerja. Pekerjaan tersebut meliputi pembuatan algoritma yang menyesuaikan karakteristik pengguna media sosial. Misalnya dengan memberikan notifikasi tentang aplikasi, impresi orang lain, pesan yang masuk, iklan yang ditampilkan, dan lain-lain. Sehingga secara tidak langsung, perhatian pengguna diarahkan pada aktivitas bermedia sosial terus menerus. Ilustrasi pengguna media sosial  menunjukkan scene ketika Tristan Harris, seorang mantan Pakar Etika Desain Google, mulai bergerak untuk mengurangi penggunaan media sosial sehari-hari oleh pengguna, mengajak para pengguna untuk saling mengedukasi, dan menumbuhkan kesadaran antar pengguna melalui kiriman surat elektronik (Gmail). terdapat tanda seru kecil berwarna biru yang menandakan pengguna mulai menyadari maksud dari Tristan, dan mendukung upayanya. Namun, tak lama setelah perusahaan Google bergerak untuk menyudahi gerakan dari Tristan, kesadaran masyarakat pun menghilang seiring hasil dari kerja keras Tristan yang dihilangkan. Pengguna mengakses media sosial dimana saja dan kapan saja, ditunjukan scene saat Ben aktif menggunakan media sosial, seakan tidak bisa terlepas dari media yang tengah diakses tersebut. Scene menggunakan ponsel di beberapa tempat yang berbeda menandakan bahwa Ben menggunakan media sosial untuk berinteraksi hingga mencari informasi dimanapun ia berada. Ilustrasi algoritma pengguna memuat scene ketika perusahaan media sosial bergerak untuk memutakhirkan algortima yang dimiliki mereka sehingga benar-benar cocok merepresentasikan karakteristik penggunanya. Terdapat 3 figur yang berperan sebagai algoritma yang memproses data dan informasi yang akan diperlihatkan pada pengguna untuk menciptakan sebuah model yang akurat mengenai penggunanya. Adapun figur berbentuk manusia berwarna biru terang, menggambarkan proses penciptaan model pengguna media sosial (model dari pengguna sosial bernama Ben). Sosial media sebagai salah satu faktor berkurangnya interaksi interpersonal Keadaan yang digambarkan  adalah berkurangnya interaksi interpersonal dari Ben dengan temannya. Hal tersebut dikarenakan adanya notifikasi pada media sosial mereka masing-masing, sehingga fokus interaksi secara langsung dialihkan pada aktivitas bermedia sosial. Gestur yang menunjukkan tidak adanya ketertarikan untuk berinteraksi interpersonal secara langsung, ditandai dengan pandangan pemeran yang terfokus pada ponsel mereka masing-masing. : Interaksi pada media sosial berpengaruh terhadap kepercayaan diri pengguna Kondisi yang digambarkan adalah interaksi yang terjadi di media sosial mempengaruhi kepercayaan diri pengguna. Hal ini ditandai dengan ekspresi gembira dari Isla ketika mendapatkan komentar yang baik pada media sosialnya  Namun, ketika mendapatkan komentar yang tidak baik, senyumannya menghilang seketika dan ia pun bermaksud menyentuh telinganya karena ia mulai meragukan kepercayaan dirinya akibat telinganya dikomentari oleh pengguna media sosial yang lain. Scene grafik, symbol melonjaknya angka bunuh diri pada remaja perempuan Pada film The Social Dilemma, disajikan grafik peningkatan angka kematian remaja perempuan akibat bunuh diri. Hal ini ditujukan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi pada salah satu pengguna media sosial, yakni Isla sebagai remaja perempuan yang masih rentan dalam berinteraksi melalui sosial media dengan orang lain. Grafik tersebut juga merupakan symbol bahwa angka kematian pada remaja perempuan akibat bunuh diri pun meningkat sejak hadirnya media sosial. Isla memperhatikan telinganya dan menangis Sebelumnya, Isla mendapatkan komentar yang tidak baik mengenai telinganya. Hal itu menyebabkan Isla tidak percaya diri, dan berpikir bahwa telinganya memang tidak bagus.  digambarkan Isla bercermin, memperhatikan telinganya dan menangis karena tidak percaya diri. Fenomena yang dialami Isla mewakilkan remaja perempuan pengguna media sosial yang masih rawan dan belum pandai menyaring komentar dan perkataan orang lain dari media sosial. Inilah yang disampaika oleh film The Social Dilemma, bahwa media sosial memiliki dampak negatif yang meluas di masyarakat. Misalnya, komentar yang tidak pantas dapat menyebabkan seseorang tersakiti atau bahkan depresi. Lebih jauh lagi digambarkan, bahwa media sosial adalah salah satu faktor pendorong meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri. Pemilihan symbol Kera yang melambangkan era primitif Terdapat sebuah fenomena yang berkaitan dengan era primitif pada film The Social Dilemma. Yakni ketika ponsel Ben rusak. Ibunya pun berjanji akan membelikan ponsel baru apabila Ben tidak menyentuh ponsel lamanya selama 7 hari. Ben pun menyetujui permintaan ibunya. Disisi lain, ketika Ben tidak memegang ponselnya, ia merasa bahwa dirinya tidak mendapat informasi terkini mengenai isu[1]isu di masyarakat saat ini maupun kabar dari teman-temannya di media sosial. Oleh karena itu, digunakan symbol Kera (era primitif) sebagai penanda ketidaktahuan dan ketertinggalan yang dirasakan oleh Ben ketika tidak memegang ponsel.  Ilustrasi algoritma model penggunan menunjukkan proses penciptaan model dari pengguna media sosial yang bernama Ben. Pada awal film, model ini digambarkan dengan model manusia berwarna biru terang. Ikon tersebut mengarah pada data yang belum mumpuni yang dimiliki oleh algoritma media sosial. Beranjak ke scene-scene selanjutnya, model tersebut mulai memiliki warna pada pakaiannya . Hal ini menggambarkan bahwa data yang diproses oleh algoritma dalam mendapatkan model pengguna media sosial Ben sudah lebih sesuai. Seiring dengan aktivitas bermedia sosial Ben yang intens, data yang diperoleh perusahaan media sosial mengenai Ben pun semakin sempurna. Sehingga di akhir film, model dari pengguna media sosial Ben sudah akurat. Dengan telah sempurnanya model dari Ben, maka diartikan bahwa perusahaan media sosial telah mendapatkan gambaran seutuhnya mengenai Ben, mulai dari konten yang ia sukai, informasi yang ia butuhkan, hingga iklan yang harus dilihat oleh Ben. Polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat penggunaan media sosial dan dijelaskan dalam film The Social Dilemma adalah polarisasi masyarakat. Diakhir film tersebut, dijelaskan bagaimana fenomena polarisasi masyarakat terjadi ketika algoritma media sosial sudah berhasil membentuk model penggunanya dengan sempurna. Fenomena polarisasi juga digambarkan melalui scene ketika Ben banyak mengakses informasi dari media sosial. Kakak perempuan Ben, Cassandra, telah menegurnya dan memberitahu bahwa ia tidak seharusnya menelan mentah[1]mentah informasi yang beredar di media sosial. Namun, Ben tidak terlalu menanggapi teguran kakak perempuannya dan bertindak sesuai informasi yang dianggap benar olehnya. Film The Social Dilemma banyak mengandung tanda-tanda didalamnya. Setiap scene dalam film tersebut berhasil menjelaskan bagaimana media sosial saat ini bukan sekedar media pemenuhan kebutuhan informasi dan sarana berkomunikasi saja. Media sosial dapat memberikan dampak ke arah negatif jika digunakan secara berlebihan. Dengan analisis yang telah dilakukan dengan teori semiotika Charles Sanders Pierce, maka film The Social Dilemma dinilai telah dikemas dengan baik. Maksud dari sutradara film tersebut juga tersampaikan melalui tanda-tanda yang dibuat dan disampaikan oleh setiap unsur dalam film tersebut. Sisi positif dari teknologi informasi dan komunikasi adalah Kemajuan teknologi komunikasi yang cepat dapat mempermudah komunikasi antar manusia dari suatu tempat ke tempat yang lainSosialisasi kebijakan pemerintah dapat lebih cepat disampaikan kepada masyarakat Informasi yang ada di masyarakat dapat langsung dipublikasikan dan diterima oleh masyarakat Mempermudah seseorang di suatu Negara mengetahui berbagai macam budaya yang ada di belahan bumi yang lainMempermudah adanya pertukaran pelajar antar Negara. Mempermudah pendistribusian karya-karya anak bangsa seperti musik, film, fashion maupun furnitureke Negara-negara tetangga maupun Negara-negara berbeda benua yang mana akan memperkuat identitas Negara serta membuat Negara semakin dikenal oleh dunia

Dampak negative dari teknologi informasi dan komunikasi, Perubahan dalam komunikasi,Perubahan yang paling terlihat dari perkembangan internet ini adalah orang -orang cenderung memilih berkomunikasi melalui ponsel ketimbang datang langsung untuk bertemu secara tatap muka. Hal tersebut dapat mengurangi kualitas dari komunikasi tersebut. Selain itu, orang yang sudah kecanduan dengan internet cenderung lebih individualis.Penjajahan budaya,Memang bagus dalam mempelajari budaya asing. Akan tetapi, akibat yang ditimbulkan adalah orang -orang akan lebih mencintai budaya asing ketimbang budayanya sendiri. Jika seperti itu, secara tidak langsung budaya lokal akan terjajah oleh budaya asing. Akibatnya nilai-nilai budaya yang sudah turun temurun akan hilang dan identitas budaya negara setempat juga akan hilang. Menurunnya moral,Selain budaya positif, budaya negatif juga dapat diakses dengan mudah dari internet. Contohnya saja, pornografi, kekerasan, dan juga budaya buruk lainnya. Jika yang ditiru adalah budaya negatifnya, maka moral suatu bangsa akan menurun, terutama untuk remaja dan juga anak-anak. Maka dari itu, perlu adanya filter ketika suatu buday masuk ke tanah air. Terciptanya anti sosial, Kemajuan teknologi juga dapat membuat seseorang akan lebih menikmati waktunya dengan komputer dan di rumah ketimbang bersosialisasi dengan orang lain. Salah satu bahaya kecanduan internet adalah dapat menciptakan anti sosial di dalam dirinya. Padahal manusia adalah makhluk yang sosial yang artinya sangat membutuhkan manusia yang lain.Munculnya budaya instan,Kemajuan internet memang benar-benar memanjakan siapapun. Sekarang kita bisa membeli sesuatu tanpa harus keluar dari rumah. Manfaat online shope antara lain jika ingin membeli barang dimudahkan dan barangnya pun akan diantarkan. Begitu juga dengan makanan yang kita pesan. Cukup beberapa klik, makanan sudah bisa diantarkan oleh aplikasi ojek online. Budaya-budaya instan ini dapat memunculkan sikap malas pada seseorang dan itu tentu saja tidak baik untuk tubuh. Komunikasi keluarga menjadi berkurang, Efek dari internet pun juga berpengaruh terhadap komunikasi di dalam keluarga. Cobalah lihat, saat anak pulang dari sekolah, lalu ayah atau ibu juga baru pulang dari kerja. Kira-kira apa yang mereka lakukan setelah pulang ke rumah? mereka lebih banyak memainkan gadget dibandingkan mengobrol sau sama lain mengenai apa yang terjadi hari ini. Hal tersebut juga akan membentuk budaya baru di dalam keluarga. Budaya tolong-menolong menjadi hilang,Pernahkah kamu melihat ketika ada kecelakaan apa yang akan dilakukan oleh orang sekitar? Sebagian ada yang menolong, namu tidak sedikit juga lebih banyak yang melakukan foto-foto atau sekadar menonton saja. Hal tersebut tentu saja mulai mengikis salah satu budaya leluhur Indonesia yaitu gotong royong. Foto-foto tersebut mereka lakukan agar mendapatkan viral dunia maya ketimbang menolong orang yang tengah kesusahan. Bukan tidak mungkin budaya gotong royong benar-benar lenyap dari bumi pertiwi.. Gaya pakaian yang mulai berubah,Dulu, gaya pakaian yang dikenakan lebih sopan dan terjaga sikapnya. Sekarang, semenjak era internet mulai masuk, terdapat perubahan yang signifikan. Baju ala kebarat-baratan mulai merajalela. Jika baju yang dikenakan masih sopan itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi faktanya baju yang terlihat kurang bahan justru disukai oleh anak muda. Sebab, pakaian semacam itu nampak gaul dan keren di kalangan mereka. Jika seperti itu terus, generasi selanjutnya mungkin tidak akan mengenal kembali pakaian tardisional daerah setempat.Kesenian tradisional mulai ditinggalkan,Sama dengan poin ke delapan, Kesenian tradisional pun juga terancam akan punah. Sebab generasi penerus beranggapan bahwa budaya tradisional adalah budaya yang kuno, tua, dan tidak menarik sama sekali. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh internet yang dapat mudah mengetahui kesenian -- kesenian dari berbagai manacnegara. Sudah seharusnya kita tumbuhkan rasa kebanggaan dan kelestarian seni tradisional tersebut kepada generasi ke generasi. Sebab, Seni tradisional termasuk salah satu identitas negara. Individualis,Dengan dimudahkannya teknologi informasi, sesorang pun akan merasa "bahagia" hanya dengan berbekal smartphone atau komputer. Padahal manusia itu adalah makhluk sosial. Artinya manusia itu membutuhkan manusia yang lain. Jika seperi ini, dapat mengancam kejiwaannya dan juga jiwa sosialnya..Saya mengenal dunia teknologi informasi dan komunikasi dari teman-teman dan keluarga saya kemudian saya mempelajari cara menggunakan sosial media, media yang pertamakali saya pelajari adalah facebook, kaka saya membuatkan facebook untuk saya. Dimasa itu menilbulkan dampak baik begitu juga dampak buruk. Dampak positifnya seseorang bisa berkabar meskipun jarak jauh dan saling tidak kenal, memiliki banyak relasi baru dan mengungkapkan isi hati dengan membuat postingan pada beranda status facebook. Namun dibalik itu ada dampak negative yang dihasilkan seperti banyaknya pemerkosaan karena berkenalan dengan orang yang tidak dikenal melalui facebook kemudian ketika bertemu diculik dan diperkosa.Kekurangan teknologi informasi dan komunikasi dimasa sekarang adalah isi konten yang berada dimedia sosial yang kurang berbobot dan mengedukasi. Seperti layaknya konten yang terdapat dalam aplikasi tiktok, lebih mudah viral video yang tidak mendidik atau bahkan hal hal yang berbau seks. Kurang ada batasan umur bagi yang menonton, yang dikhawatirkan adalah ketika anak usia dibawah umur melihat konten yang tidak seharusnya akan mengkontaminasi pikirannya sehingga akan mencari hal tidak seharusnya diketui diusia yang belia itu. Saya berharap teknologi informasi dan komunikasi diberi batasan umur sesuai fungsinya sehingga anak anak tidak bisa terbawa arus teknologi yang membuat malas seperti game akan memepengaruhi minat belajar seorang anak jika sudah kecanduan dan konten dewasa sangat mudah dijangkau anak anak. Jadi saya menginginkan teknologi informasi dan komunikasi bisa membuat sebuah platform yang sesuai dengan usia dan fungsinya masing masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun