Saya tidak suka politik, karena dalam pemikiran sederhana saya politik itu kotor, jahat dan lain sebagainya. Â Namun karena politik ini dibutuhkan untuk bisa mempercepat para petinggi kita menengok berbagai permasalahan di negeri ini, utamanya terkait dengan kualitas manusia Indonesia maka ketika melihat debat perdana pasangan calon (paslon) gubernur Provinsi DKI Jakarta pada malam ini, Jumat 13 Januari 2017 membuat saya menjadi berpikir, apakah semudah para komentator debat paslon ini berbicara mengenai program unggulan para paslon yang terkadang (tanpa menyebut nomor paslon) tidak masuk akal, ada yang mengunggulkan logika serta kemampuan berhitungnya dan ada juga yang sangat akademis dengan berbagai argumen mengenai upaya peningkatan kualitas manusia DKI Jakarta nantinya ketika mereka terpilih menjabat sebagai DKI 1 dan DKI 2.Â
Mampukah mereka mengatasi tantangan yang ada, salah satunya yang menjadi momok terbesar yaitu kemiskinan karena berdasarkan data BPS yang menyebutkan bahwa jumlah  penduduk miskin  di DKI  Jakarta  pada  bulan  September 2016  sebesar  385,84  ribu  orang  (3,75 persen). Dibandingkan data pada bulan Maret 2016 (384,30  ribu orang atau  3,75  persen), jumlah penduduk miskin  naik sebanyak  1,54  ribu  orang (BPS, 2016).  Sungguh menarik dua hal yang disampaikan mengenai peningkatan kualitas penduduk DKI Jakarta yang selama ini menjadi poros pembangunan Indonesia, karena ibaratnya seorang perempuan, semakin ranum dan merekah berbagai fasilitas di DKI Jakarta sebagai ibukota negara RI maka akan semakin banyak orang yang akan tertarik masuk ke kota ini, tidak hanya dari dalam negeri juga dari luar negeri.  Ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi DKI Jakarta karena seperti halnya bom waktu, apabila tidak mengelola kuantitas penduduk DKI Jakarta yang jumlah penduduknya pada siang hari meningkat menjadi 11,5 juta jiwa, bertambah 1,7 juta jiwa dari  jumlah penduduk Jakarta yang hanya 9,7 juta jiwa pada malam hari.  Dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yang sebesar  661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²) maka bisa dibayangkan himpitan kesesakan dalam kehidupan penduduk Jakarta selama ini. Melihat data-data yang disajikan oleh para paslon (cek artikel Rappler.com dibawah) yang saya salut adalah berbagai program tersebut sudah melampaui pembangunan infrastruktur yang masih dominan di berbagai lini (dari provinsi sampai dengan penggunaan dana desa) di Indonesia.  Tidak berarti infrastruktur tidak penting, tentu mengurai kemacetan dan isu banjir yang menjadi ciri khas permasalahan Jakarta ini.  Permasalahan moral juga diangkat dengan tentunya mengingat bahwa bisnis yang terkait dengan "hiburan" moral ini sangatlah subur tumbuh di Jakarta, sebutlah hiburan malam dan narkoba yang menjadi keresahan namun juga menjadi ladang pundi-pundi uang bagi banyak pihak.  Â
Pastinya, selayaknya orang berjualan, program kerja para paslon pilkada DKI Jakarta yang ditawarkan sungguh menarik dengan adanya aneka pemikiran dan argumen yang perlu diuji kesahihannya serta ketulusan motivasi kerja para paslon ini. Akan lebih menarik lagi apabila para paslon ini tidak melupakan bahwa dengan kekuatan pengendalian kuantitas penduduk Jakarta dan bersedia membagi  inovasi dan kemajuan program-programnya dengan daerah di sekitar DKI Jakarta. Penataan isu kependudukan perlu lebih diangkat karena seperti dua sisi mata uang tidak akan bisa lepas isu kualitas manusia jikalau tidak disentuh penanganan permasalahan kependudukan yang ada di DKI Jakarta.  Oleh karena itu, perlu adanya penataan administrasi sipil kependudukan serta program pendidikan etika kepemimpinan serta kesadaran kependudukan yang lebih baik agar masyarakat Jakarta tidak hanya menadahkan tangan menunggu realisasi program kerja para birokrat serta dapat berpolitik dengan lebih cerdas dan beretika.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H