Mohon tunggu...
Anindita Dyah Sekarpuri
Anindita Dyah Sekarpuri Mohon Tunggu... Dosen - Perempuan Pembelajar

Widyaiswara dan Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Debat Perdana Paslon DKI, Pengendalian Kuantitas untuk Kualitas Manusia Jakarta

13 Januari 2017   23:36 Diperbarui: 13 Januari 2017   23:49 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Debat perdana Paslon Pilkada DKI Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

Saya tidak suka politik, karena dalam pemikiran sederhana saya politik itu kotor, jahat dan lain sebagainya.  Namun karena politik ini dibutuhkan untuk bisa mempercepat para petinggi kita menengok berbagai permasalahan di negeri ini, utamanya terkait dengan kualitas manusia Indonesia maka ketika melihat debat perdana pasangan calon (paslon) gubernur Provinsi DKI Jakarta pada malam ini, Jumat 13 Januari 2017 membuat saya menjadi berpikir, apakah semudah para komentator debat paslon ini berbicara mengenai program unggulan para paslon yang terkadang (tanpa menyebut nomor paslon) tidak masuk akal, ada yang mengunggulkan logika serta kemampuan berhitungnya dan ada juga yang sangat akademis dengan berbagai argumen mengenai upaya peningkatan kualitas manusia DKI Jakarta nantinya ketika mereka terpilih menjabat sebagai DKI 1 dan DKI 2. 

Mampukah mereka mengatasi tantangan yang ada, salah satunya yang menjadi momok terbesar yaitu kemiskinan karena berdasarkan data BPS yang menyebutkan bahwa jumlah  penduduk miskin  di DKI  Jakarta  pada  bulan  September 2016  sebesar  385,84  ribu  orang  (3,75 persen). Dibandingkan data pada bulan Maret 2016 (384,30  ribu orang atau  3,75  persen), jumlah penduduk miskin  naik sebanyak  1,54  ribu  orang (BPS, 2016).   Sungguh menarik dua hal yang disampaikan mengenai peningkatan kualitas penduduk DKI Jakarta yang selama ini menjadi poros pembangunan Indonesia, karena ibaratnya seorang perempuan, semakin ranum dan merekah berbagai fasilitas di DKI Jakarta sebagai ibukota negara RI maka akan semakin banyak orang yang akan tertarik masuk ke kota ini, tidak hanya dari dalam negeri juga dari luar negeri.  Ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi DKI Jakarta karena seperti halnya bom waktu, apabila tidak mengelola kuantitas penduduk DKI Jakarta yang jumlah penduduknya pada siang hari meningkat menjadi 11,5 juta jiwa, bertambah 1,7 juta jiwa dari  jumlah penduduk Jakarta yang hanya 9,7 juta jiwa pada malam hari.  Dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yang sebesar  661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²) maka bisa dibayangkan himpitan kesesakan dalam kehidupan penduduk Jakarta selama ini. Melihat data-data yang disajikan oleh para paslon (cek artikel Rappler.com dibawah) yang saya salut adalah berbagai program tersebut sudah melampaui pembangunan infrastruktur yang masih dominan di berbagai lini (dari provinsi sampai dengan penggunaan dana desa) di Indonesia.  Tidak berarti infrastruktur tidak penting, tentu mengurai kemacetan dan isu banjir yang menjadi ciri khas permasalahan Jakarta ini.  Permasalahan moral juga diangkat dengan tentunya mengingat bahwa bisnis yang terkait dengan "hiburan" moral ini sangatlah subur tumbuh di Jakarta, sebutlah hiburan malam dan narkoba yang menjadi keresahan namun juga menjadi ladang pundi-pundi uang bagi banyak pihak.   

Tim Sukses Paslon Pilkada DKI Jakarta 2017 (Dokumentasi Pribadi)
Tim Sukses Paslon Pilkada DKI Jakarta 2017 (Dokumentasi Pribadi)
Terlepas dari pertunjukan analisis debat yang marak setelah debat pertama ini dan akan semakin marak nantinya dengan debat-debat lanjutan lainnya, saya angkat jempol pada paslon yang mengangkat dua isu utama yaitu mengenai IPM dan indeks Gini yang disebut berkali-kali dalam debat perdana paslon gubernur DKI Jakarta ini.  Hal ini membuat kita perlu melihat bahwa yang dilakukan di DKI Jakarta akan menjadi acuan bagi pembangunan provinsi lainnya dan bisa mempengaruhi IPM Indonesia. Kita tidak boleh terlena meskipun Laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2015 oleh  UNDP  menyatakan Indonesia terus mengalami kemajuan dan menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684. IPM Indonesia mengalami kenaikan 44,3 persen dari sejak tahun 1980 hingga 2014 dan hal ini tergambar dengan  angka harapan hidup sebesar 68,9, harapan tahun bersekolah 13,0, rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas sebesar 7,6 dan pendapatan nasional bruto per kapita 9,788.  Itu angka nasional, apakah berlaku secara keseluruhan mewakili semua provinsi di Indonesia? Tentu tidak, masih tingginya kesenjangan pembangunan di Indonesia dengan hanya provinsi-provinsi yang beruntung mendapatkan pembangunan terlebih dahulu dan bisa memanajemen dengan baik pembangunannya tentu akan bisa minimal mencapai angka rata-rata nasional tersebut, dan tentunya salah satunya adalah Provinsi DKI Jakarta. IPM DKI Jakarta telah mencapai 78,99, angka ini meningkat 0,60 poin dibandingkan dengan IPM DKI Jakarta 2014 sebesar 78,39 (BPS, 2016).  Data yang disajikan oleh BPS yang meski sampai sekarang dipertanyakan kesahihannya, namun sepertinya menjadi data rujukan utama para paslon ini.  Ternyata kuantitas (angka-angka) yang disajikan menjadi salah satu indikator untuk dapat memunculkan kepercayaan para calon pemilih di DKI Jakarta dalam melihat upaya para paslon ini untuk dapat meningkatkan kualitas manusia Jakarta.  

Pastinya, selayaknya orang berjualan, program kerja para paslon pilkada DKI Jakarta yang ditawarkan sungguh menarik dengan adanya aneka pemikiran dan argumen yang perlu diuji kesahihannya serta ketulusan motivasi kerja para paslon ini. Akan lebih menarik lagi apabila para paslon ini tidak melupakan bahwa dengan kekuatan pengendalian kuantitas penduduk Jakarta dan bersedia membagi  inovasi dan kemajuan program-programnya dengan daerah di sekitar DKI Jakarta. Penataan isu kependudukan perlu lebih diangkat karena seperti dua sisi mata uang tidak akan bisa lepas isu kualitas manusia jikalau tidak disentuh penanganan permasalahan kependudukan yang ada di DKI Jakarta.  Oleh karena itu, perlu adanya penataan administrasi sipil kependudukan serta program pendidikan etika kepemimpinan serta kesadaran kependudukan yang lebih baik agar masyarakat Jakarta tidak hanya menadahkan tangan menunggu realisasi program kerja para birokrat serta dapat berpolitik dengan lebih cerdas dan beretika. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun