Pada 8 Agustus 1967, lima Menteri Luar Negeri asal Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand mencetak sejarah pendirian Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) melalui Deklarasi Bangkok. Lima puluh lima tahun berselang, tepatnya pada 14 November 2022, Bank Sentral dari kelima negara pendiri ASEAN kembali mencatatkan sejarah. Kelimanya menandatangani kesepakatan konektivitas sistem pembayaran digital di kawasan ASEAN, ketika Indonesia memegang Presidensi G20 2022.Â
Mengapa kesepakatan ini disebut sebagai sejarah? Bagaimana tidak, warga negara dari lima negara tersebut dapat melakukan pembayaran intra-negara dengan mudah, cepat, dan aman. Contoh paling sederhana dan sangat eye-catching yaitu kita kini bisa berbelanja di Thailand via QR code menggunakan uang elektronik yang kita punya.Â
Dalam waktu tak lama lagi akan disusul juga dengan kemudahan yang sama di Malaysia, Singapura dan Filipina. Kita tidak lagi perlu repot menukar uang Rupiah dengan mata uang negara tujuan kita sebelum bepergian. Cukup siapkan saldo di uang elektronik, pindai QR code di penjual thai tea di Chatuchak misalnya, voila, kita langsung bisa melepas dahaga. Kata anak zaman sekarang, semudah itu!
Bahkan, konektivitas sistem pembayaran ini telah diadopsi secara resmi sebagai salah satu dokumen dalam KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Mei 2023 lalu. Bertajuk ASEAN Leaders’ Declaration on Advancing Regional Payment Connectivity and Promoting Local Currency Transactions, tidak hanya kelima negara ASEAN di atas, namun seluruh negara anggota ASEAN telah memiliki komitmen bersama untuk memfasilitasi dan bergabung dalam konektivitas sistem pembayaran di kawasan ini. Dalam dokumen tersebut juga dinyatakan bahwa negara anggota ASEAN mendukung penurunan biaya yang timbul dari adanya cross-border payments. Â
Kini, di bawah kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023, para petinggi Bank Sentral semakin mengeratkan upaya untuk mengintegrasikan sistem pembayaran di kawasan Asia Tenggara. Tentu saja, cita-citanya bukan sekadar mendorong pariwisata seperti dicontohkan di atas, tetapi lebih dari itu, ada harapan besar untuk membantu mendongkrak penghasilan UMKM dan pelaku bisnis lainnya. Berdasarkan data dari laman resmi ASEAN, mitra dagang terbesar ASEAN adalah China, Amerika Serikat, dan Eropa. Sementara, perdagangan intra-kawasan mengalami stagnansi sejak 2008, sebagaimana dikatakan oleh Zamroni Salim, Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN. Dengan adanya konektivitas sistem pembayaran ini, perdagangan di dalam kawasan dapat meningkat dan menjangkau para vulnerable parties, misalnya pemuda dan perempuan. Nilai perdagangan intra-kawasan tentu bukan angka yang main-main, mengingat populasi di ASEAN mencapai lebih dari 600 juta jiwa.
Di samping itu, ada hal menarik yang patut digarisbawahi. Konektivitas sistem pembayaran ini, baik dalam bentuk QR dan transaksi mata uang lokal (local currency transaction), membuktikan adanya integrasi tanpa mengorbankan independensi. Mengapa demikian? Karena ASEAN memegang prinsip non-intervensi. Sejak awal pendiriannya, ASEAN menghormati kedaulatan tiap negara anggotanya. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mencontoh kawasan lain, misalnya Eropa, yang selama ini dijadikan tolak ukur kesuksesan regionalisme. Kita tidak perlu menerapkan mata uang tunggal (single currency). ASEAN tetap dapat berintegrasi, memajukan kawasan secara bersama, tanpa mengorbankan identitas masing-masing negara. Alih-alih, ASEAN justru memanfaatkan digitalisasi untuk memperkuat sistem pembayarannya. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN mampu mengambil peluang kemajuan zaman.
Seperti yang telah banyak ditulis dan didiskusikan sejak puluhan tahun silam, ada wacana untuk menyatukan mata uang dunia (single global currency). Namun tentu saja wacana ini tetap bertahan sebagai wacana mengingat berbagai faktor yang membuatnya mustahil untuk dilakukan. Sama halnya jika diterapkan di kawasan ASEAN. Salah satu faktor tersebut antara lain, mata uang tunggal membutuhkan kebijakan moneter yang tunggal, dengan suku bunga yang tunggal juga. Padahal, kondisi ekonomi tiap negara tentu bervariasi.Â
Kedua, transisi penerapan mata uang tunggal memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi tingkat infrastruktur keuangan dan sistem pembayaran tiap negara yang berbeda-beda. Hal ini akan memperlambat kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Sehingga, keputusan ASEAN untuk tetap berintegrasi tanpa mengorbankan independensi sudah tepat. Kita memang perlu mewaspadai berbagai gejolak ekonomi global, termasuk dampak dari isu-isu geopolitik yang tidak terduga. Dengan lepasnya ketergantungan ASEAN terhadap mata uang dominan tertentu, ekonomi kita akan semakin resilient dalam berbagai kondisi.
Dalam hal ini, Bank Indonesia sebagai penggagas konektivitas sistem pembayaran di ASEAN harus terus mampu memimpin dan memantau proses integrasi ini. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh Bank Indonesia, yaitu: (a) bekerja sama dengan bank sentral lain di kawasan untuk memperlancar konektivitas sistem pembayaran, termasuk dalam hal peningkatan infrastruktur, pendalaman keuangan inklusif, penguatan SDM, dan peningkatan keamanan siber; (b) berperan aktif dalam Task Force to explore the development of an ASEAN Local Currency Transaction Framework yang disepakati pada KTT ASEAN lalu; serta (c) mendorong sinergi Pemerintah, otoritas terkait, dan pelaku industri pembayaran di kawasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H