Mohon tunggu...
Anindita Syifa Nur Pratiwi
Anindita Syifa Nur Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rusaknya Mental Generasi Z karena Pengaruh Media Sosial

6 Januari 2024   13:56 Diperbarui: 6 Januari 2024   14:07 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Generasi Z / Gen Z adalah istilah yang digunakan generasi yang lahir pada era digital, diantara tahun 1996 hingga tahun 2012. Dimana teknologi dan media social menjadi makanan sehari-hari bagi kehidupan Gen Z. Hampir selama 24 jam Gen Z menjelajahi dunia virtual, yang pastinya akan memberikan dampak buruk pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan kehidupan mereka yang dihadapkan pada teknologi dan perkembangan zaman, menjadikan Gen Z sebagai masyarakat tontonan. Menurut Guy Debord masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dikehidupannya disajikan oleh berbagai tontonan dan membuat tontonan tersebut menjadi nilai dan untuk mencapai tujuan hidup (Mubarok, 2020). Sebagai pengguna media social yang aktif dan sebagai masyarakat tontonan, Gen Z menjadi pribadi yang terlalu berambisi, suka membandingkan, dan tidak peduli terhadap sesamanya, karena lebih focus kepada diri sendiri dari pada harus bersosialisasi dalam lingkungan bermasyarakat.

Media social yang menjadi alat yang digunakan Gen Z untuk mencurahkan segala pendapat, pikiran, hingga perasaan. Hal ini diharapkan dapat menarik perhatian, simpati dan dapat memunculkan persetujuan dari orang lain untuk membenarkan segala pendapatnya. Selain itu, dengan menonton social media secara berlebihan dapat menghilangkan jati diri dan rasa percaya diri seseorang. Hal tersebut dapat terjadi karena terlalu banyak melihat kehidupan orang lain yang indah dan menyenangkan, sehingga memunculkan rasa tidak mau kalah dan ingin menjadi seperti orang lain.

Menurut We Are Social 2023 mayoritas pengguna media sosial pada Januari 2023 berusia antara 18 hingga 24 tahun dan ini dapat dikategorikan sebagai Gen Z. (S & Oktaviani, 2023). Media social terdiri dari berbagai jenis platform yang berbeda-beda dan mimiliki peranan yang tidak sama. Dari sekian banyak platform media social yang ada, Instagram menjadi aplikasi yang paling banyak digunakan dan hampir dimiliki oleh Gen Z. Menurut We are Social pengguna Instagram di Indonesia berada pada urutan ke 3 terbanyak. Dengan presentase 79% dan mencapai 63 juta pengguna pada tahun 2020, namun pada awal pandemic Covid-19 pengguna Instagram meningkat sebanyak 40% (Junawan & Laugu, 2020).

Instagram merupakan platform media sosial yang mengutamakan konten visual, yang membuat penggunanya harus menampilkan citra dirinya yang sempurna dengan memposting sesuatu yang terkesan indah. Hal ini menyebabkan Gen Z menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mencapai kepuasan dalam hidupnya. 

Selain itu, Gen Z juga menjadi lebih fokus dalam mengejar segala ekspetasinya untuk mendapatkan sebuah popularitas. Kondisi ini dapat merusak kesehatan mental Gen Z dan dapat mendorong pada tindakan bunuh diri. Menurut WHO kasus bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua tertinggi dikalangan remaja. Seperti kasus Molly Russel, seorang remaja 14 tahun yang berasal dari Inggris yang menghabisi dirinya sendiri pada tahun 2017, setelah menonton konten di media social. Molly sering menonton konten berisi orang-orang yang melakukan bunuh diri dan melukai diri sendiri melalui media social Instagram dan Pinterest. Hal ini dapat terjadi karena saat Molly menonton konten-konten terlarang di social media ia sedang dalam keadaan depresi, Molly menonton sebanyak 2.100 konten dari 16.000 konten yang ia simpan, selama enam bulan terakhir, dikutip dari tribunnews.com. 

Kemudahan dalam mengakses social media ini membuat Gen Z sulit untuk berpikir secara kritis, karena hanya dihadapkan dengan tontonan dan cenderung hanya bisa meniru semua informasi yang telah diterimanya. Selain itu, tontonan yang disajikan media social seperti kecantikan, belanja, film, flexing, dan kekerasan dapat memicu munculnya rasa tertekan bahkan depresi. Banyak Gen Z yang merasa minder atau tidak percaya diri karena membandingkan dirinya dengan seseorang yang ada di media sosial, sedangkan apa yang dilihat di media sosial belum tentu di kehidupan nyatanya tidak memiliki masalah. Terkadang Gen Z juga memamerkan segala hartanya untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain.

Hal yang dapat dilakukan oleh Gen Z agar tidak terjerumus ke dalam pusaran arus media social yang toxic adalah dengan menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan yang benar atau salah. Selain itu, Gen Z harus lebih bijak dalam menggunakan dan memilih konten yang ditonton dalam media social, karena dengan memilih tontonan yang positif dan informatif akan memberikan dampak yang baik untuk kedepannya. Gen Z terkadang juga harus acuh terhadap penilaian buruk orang lain dan menjadi diri sendiri. 

Dalam memposting sesuatu tidak perlu bergantung pada omongan atau pujian orang lain. Berhentilah dalam mencari validasi dari orang lain, apalagi hanya untuk membenarkan seluruh pikiran yang itu belum tentu benar. Gen Z juga perlu beristirahat dalam bermedia social dan focus pada dunia nyata. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalani hobby yang disenangi, bermasyarakat, atau bisa menghabiskan waktu bersama teman dan sanak saudara, karena dengan ini dapat menambahkan rasa peduli terhadap sesama. 

Teori yang dapat digunakan dalam kasus ini adalah teori dari Jrgen Habermas yaitu teori tindakan komunikatif. Teori tindakan komunikatif adalah teori yang mengartikan bahwa suatu tindakan atau interaksi kelompok yang terdiri dari beberapa orang, dan bertujuan untuk mengarahkan diri kepada persetujuan, kesepemahaman dan rasa saling mengerti antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. 

Tindakan ini dilakukan untuk mencari validasi dari lawan dan dilakukan untuk kepentingan pribadi. Menurut Habermas, tindakan komunikatif diperlukan sebagai media atau bahasa untuk saling mencapai pemahaman bersama, selama komunikator dan komunikan masih terus berkomunikasi satu sama lain maka, akan memunculkan suatu validitas yang hasilnya akan ditentang atau diterima (Tobing, 2017).

Teori ini menekankan akan pentingnya komunikasi dalam bermasyarakat apa lagi pada era modern seperti sekarang ini, komunikasi menjadi sangat mudah untuk dilakukan. Hal ini dimaknai dalam penggunaan media sosial Gen Z juga perlu terbuka kepada orang lain jangan menjadi pribadi yang tertutup. Diharapkan Gen Z dapat mendengarkan pandangan-pandangan yang berbeda, bukan dari orang-orang terdekatnya saja tetapi juga dari orang lain. Namun Gen Z juga harus bisa menfilter antara penilaian baik dan buruk dari orang lain agar kesehatan mental juga dapat terjaga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun